Dilema Santri Era Milenial

Oleh:
Diah Inarotul Ulya
Penerima Beasiswa Tahfidz Monash Institute Semarang dan Mahasiswa Tafsir Hadist UIN Walisongo Semarang 

Setiap memasuki bulan Oktober, terlihat wajah bahagia pada setiap santri di negeri ini. Hal ini bukan lain adalah diakibatkan oleh kenangan Tanggal 22 0ktober telah ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan ini adalah sebagai bentuk penghargaan pemerintah terhadap para santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Presiden Jokowi mengatakan : ” Sejarah telah mencatat bahwa para santri telah mewariskan hidupnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Menteri Agama Lukman Hakim menegaskan bahwa : “Peran yang ada dalam diri santri saat ini adalah sebagai motor penggerak pembangunan, dan bukan sebagai komoditas politik.
Selain sebagai penghargaan, peringatan Hari Santri ini juga untuk mengenang jasa para ulama’ zaman dahulu, yang sudah berjuang menyebar luaskan ilmu. Demi terwujudnya generasi-generasi yang berpendidikan dan bermoral. Tak mudah memang menjadi seorang santri yang benar-benar bisa diharapkan oleh bangsa dan negara. Namun layaknya sebagai manusia biasa, seorang santri hanyalah bisa terus berusaha dan berdo’a. Sebenarnya apa yang melatar belakangi pemerintah menetapkan hari ini sebagai Hari Santri Nasional? Penetapan Hari Santri ini dilakukan agar seseorang selalu ingat dan meneladani semangat perjuangan, semangat cinta tanah air, semangat rela berkorban demi bangsa dan negara, yang telah diperjuangkan para pejuang bangsa Indonesia. Dengan mewarisi semangat itulah para santri kini dan masa depan dapat memperkuat jiwa religious, keislaman, serta jiwa nasionalisme kebangsaan.
Menilik kembali sejarah yang ada, kata Nurcholis Majid dalam bukunya yang berjudul “Bilik-bilik Pesantren”, ia menjelaskan kata santri berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu”sastri”, yang berarti orang yang melek huruf. Dan ia juga mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, yaitu, “cantrik”, yang berarti seseorang yang mengikuti kyai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri.
Ketika membahas tentang “santri” pasti tidak akan lepas dari yang namanya pesantren, kyai, dan bu nyai. Tiga hal tersebut pastilah sangat berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan. Pesantren adalah sebuah tempat pemondokan tempat tinggal para santri. Seiring berjalannya waktu, pesantren terbagi menjadi dua, yaitu pesantren salaf dan pesantren modern. Kyai dan Bu Nyai adalah guru bagi santri. Guru, santri, dan pesantren adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Guru adalah orang yang mendampingi santri, kalau orang Jawa mengatakan, “Guru” digugu dan ditiru, baik dari segi keilmuan dan kehidupannya. Sisi kehidupan seorang guru sangat berpengaruh bagi santrinya. Ketika kehidupan guru baik ada kemungkinan kehidupan santrinya pun baik, begitupun sebaliknya. Karena hampir setiap hari santri bertemu dan melihat kehidupan gurunya.
Di era modern ini, guru tidak hanya ditemui ketika di pondok. Namun, juga di perguruan tinggi. Karena, saat ini banyak santri yang juga menyandang status mahasiswa, bukan hanya santri. Mereka sama-sama berproses dalam menunjang pendidikan. Akan tetapi terdapat perbedaan di antara pondok dan perguruan tinggi. Pendidikan di pondok pesantren lebih cenderung bersifat tradisional dan menekankan sikap konservatif yang bersandar karena berpusat pada figur sang kiai. Sedangkan pendidikan di perguruan tinggi lebih bersifat modern dan hampir bisa dikatakan Liberal.
Tentunya perbedaan kedua hal tersebut juga memunculkan masalah. Di antara masalah yang terjadi di zaman yang terus berkembang ini adalah dilema mahasantri (mahasiswa yang nyantri), mereka dilema dengan berbagai jenis pondok yang berada di sekitar kampus. Mulai dari kampus yang ber kiai, pondok yang tanpa kiai dan pondok yang kadang-kadang ada kiai kadang-kadang tidak. Takut, ketika memilih pondok yang salah. Padahal, tidak sepenuhnya benar apa yang mereka asumsikan. Sebenarnya hampir semua pndok memiliki kesamaan. Yaitu sama-sama mempunyai pemimpin atau yang biasa disebut kiai. Tidak mungkin ada pondok yang berdiri tanpa adanya kiai. Namun, itu yang sering disalah fahami oleh kebanyakan orang.
Alangkah lebih baiknya ketika kita mampu memahami keadaan yang ada. Bukan selalu mendebatkan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan. Yang terpenting untuk kita, yang menyandang sebagai santri dan mahasantri haruslah berfikir ke depan. Apa yang akan dilakukan, apa yang akan diberikan untuk negeri tercinta ini? Apakah hanya cukup duduk dan diam, atau cukup dengan pulang pergi kampus? Tidak, sebagai seorang mahasiswa yang juga sebagai santri seharusnya bisa memadukan antara spiritual dan intelektualnya.
Bukan hanya mahir dalam diskusi dan berdebat. Namun, nol dalam hal perwujudan dan penerapan. Kedua hal tersebut harus dipadukan agar kita bisa menjadi generasi harapan bangsa. Karena santri adalah salah faktor yang menjadikan negeri ini bisa merdeka, jadi kita sebagai seorang santri apalagi yang juga sebagai mahasiswa, kita harus mampu melakukan sesuatu yang besar. Yang sesuatu itu menjadi perwujudan kita terhadap Negara Indonesia ini. Semoga Allah selalu menunjukkan jalan yang lurus bagi kita untuk memiliki semangat perjuangan yang mampu memabangun peradaban umat dan bangsa mnjadi lebih baik. . Wallaahu a’lam bi al-showaabi.

———— *** —————-

Rate this article!
Tags: