DPRD Kota Probolinggo Soroti Naiknya NJOP Lebih dari 100 Persen

Ika Nurjanah (kiri) ditemui wakil Ketua DPRD Haris Nasution dan perwakilan BPN.[wiwit agus pribadi/bhirawa]

Keluhkan Biaya Lihat Buku Induk saat Urus Pertanahan
Kota Probolinggo, Bhirawa
Naiknya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di Kota Probolinggo, menjadi perhatian banyak pihak. Bahkan, sejumlah warga kaget. Sebab, kenaikannya lebih dari 100 persen. Selain itu warga keluhkan biaya lihat buku induk saat urus pertanahan, sehingga mau tidak mau wadul ke dewan.

Salah seorang warga Kelurahan/Kecamatan Kanigaran, Wahyudi mengaku kaget ketika membayar pajak lahan atas nama ibunya di Kelurahan Kebonsari Wetan. Sebab, naik di atas 100 persen.

“Biasanya setiap tahun saya membayar Rp 60 ribu. Sekarang sampai Rp 135 ribu. Sudah lebih dari 100 persen,” ujarnya, Rabu (7/4).

Wahyudi mengaku bersyukur masih bisa membayar. Namun, ia mengaku prihatian dengan warga yang usahanya terdampak pandemi Covid-19.

“Kalau orang yang sekarang usahanya terdampak pandemi, apa punya uang untuk bayar setinggi ini,” ujarnya.

Permasalahan ini sempat menjadi pertanyaan Fraksi Gerindra DPRD Kota Probolinggo. Pertanyaan ini disampaikan dalam Pandangan Umum Fraksi terhadap 4 raperda. Salah satunya raperda perubahan kedua atas Perda Nomor 2/2011 tantang Pajak Daerah.

Dalam kesempatan itu, Fraksi Gerindra menanyakan langkah-langkah pemkot untuk mengurangi beban masyarakat dengan adanya kenaikan PBB. Serta, solusi yang akan diberikan kepada masyarakat yang menunggak.

Pertanyaan itu dijawab melalui Jawaban Wali Kota yang dibacakan Sekda Kota Probolinggo Ninik Ira Wibawati. Menurutnya, sebenarnya dalam Raperda Perubahan Perda Nomor 2/2011 tentang Pajak Daerah, tidak ada perubahan ketentuan tentang kenaikan jenis pajak bumi dan bangunan. Tetapi, perubahan kenaikannya ada pada Perwali Nomor 14/2021 tentang Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.

“Solusi bagi warga yang menunggak pembayaran PBB, dapat mengajukan permohonan keringanan pajak bumi dan bangunan ke wali kota,” ujarnya.

Terpisah, Kabid Pendapatan Badan Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset (BPPKA) Kota Probolinggo Slamet Swandoro membenarkan ada kenaikan NJOP. Menurutnya, pada 2019, hanya Kecamatan Mayangan yang NJOP-nya dinaikkan. Tahun kemarin, empat kecamatan sisanya menyusul. Yakni, Kecamatan Kanigaran, Kedopok, Wonoasih, dan Kademangan.

“Untuk meringankan warga, pada 2020 mendapat subsidi PBB 30 persen. Pada 2021 tetap ada subsidi, namun berkurang daripada tahun 2020,” jelasnya.

Selain itu warga lelah karena tak kunjung selesai mengurus tanah miliknya, Ika Nurjanah, mengadu ke DPRD Kota Probolinggo. Sebab, bukan hanya tak kunjung selesai. Dia mengaku diminta uang Rp 7,5 juta hanya untuk membuka buku induk.

Ika mendatangi DPRD dengan didampingi tetangganya, Rukin. Dia ditemui Wakil Ketua I DPRD Kota Probolinggo Haris Nasution. Dalam pertemuan tersebut, Cak Yon –sapaan Haris Nasution- juga menghadirkan perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Probolinggo. Yaitu, Sutrisno.

Warga Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran, itu bercerita, dia berencana memecah tanah yang dibeli oleh orang tuanya, beberapa tahun lalu. Tanah itu akan dipecah menjadi enam bagian. Lalu, masing-masing bagian akan diatasnamakan dia dan lima saudaranya. “Untuk memecah tanah itu, syaratnya harus melihat buku induk. Dan buku induk itu adanya di Pertanahan,” ujar Ika, Rabu (7/4).

Maka, Ika pun mendatangi BPN Kota Probolinggo. Di BPN, dia ditemui seorang lelaki bernama Bambang. Namun, Ika tidak tahu apa jabatannya dan siapa nama lengkapnya. “Saat di Pertanahan itu saya ditemui Pak Bambang. Lalu, Pak Bambang menunjuk Pak Budi sebagai pihak ketiga untuk melihat buku induk,” katanya.

Ika pun menemui Budi. Saat itulah, Budi menyampaikan bahwa perlu biaya Rp 7,5 juta untuk melihat buku induk itu. Dan biaya itu di luar biaya sertifikat. “Ada enam orang yang akan memecah tanah itu. Jadi, ya dikalikan saja Rp 7,5 juta. Biaya itu belum termasuk biaya sertifikatnya,” tandasnya.

Karena merasa terlalu mahal, Ika pun keberatan dengan biaya yang dipersyaratkan. Menurutnya, tidak wajar hanya untuk melihat buku induk pertanahan sampai harus membayar Rp 7,5 juta.

“Makanya saya datang ke sini untuk mengadukan masalah tersebut. Biar segera tuntas dan tanah bisa segera dipecah. Kasihan orang tua saya sudah tua,” tuturnya.

Ika menyebut, orang tuanya sebenarnya sudah menyiapkan biaya untuk proses memecah tanah itu. Namun, biaya yang disiapkan tidak sampai Rp 7,5 juta. “Tadi juga disebutkan bahwa akta jual beli saya bodong karena tidak ada nomor register,” lanjutnya.

Wakil Ketua DPRD Sementara Haris Nasution usai pertemuan itu menjelaskan, Ika mengadu karena proses pecah tanah yang dilakukannya tak segera selesai. Bahkan, Ika dimintai biaya Rp 7,5 juta.

“Jadi Ika ini diminta biaya Rp 7,5 juta saat mengurus pecah tanah. Tapi itu biaya nonteknis, belum termasuk biaya lain-lainnya. Karena itu, harus diperjelas untuk apa biaya nonteknis tersebut,” lanjutnya.

Agar peruntukan biaya itu jelas, Cak Yon lantas mempertemukan Ika dengan perwakilan dari BPN Kota Probolinggo untuk mediasi. “Saya mediasi Ika dengan pihak BPN supaya jelas permasalahannya dan ada solusi yang pasti,” paparnya.

Namun, mediasi itu tidak membuahkan hasil apapun. Sutrisno yang datang mewakili BPN Kota Probolinggo malah meminta Ika datang ke BPN untuk dimediasi. (Wap)

Tags: