Dulu untuk Membangun Nasionalisme, Kini untuk Mempertahankan Budaya dan Seni Jawa

Staf redaksi majalah Panjebar Semangat, M  Wijotohardjo menunjukkan majalah mingguan Panjebar Semangat yang tetap eksis sampai sekarang.

Staf redaksi majalah Panjebar Semangat, M Wijotohardjo menunjukkan majalah mingguan Panjebar Semangat yang tetap eksis sampai sekarang.

Kota Surabaya, Bhirawa
Tentu jadi pertanyaan besar dalam benak, bagaimana sebuah majalah dengan menggunakan Bahasa Jawa masih bertahan di zaman yang bergerak cepat seperti saat ini. Majalah ini adalah Panjebar Semangat, sebuah penerbitan yang memiliki kantor redaksi dan percetakan di Jl Bubutan No 87 Surabaya. Tak jauh dari Gedung Nasional Indonesia dan Makam dr Soetomo.
Kantor majalah Panjebar Semangat  tidak terlalu besar seperti kantor media-media lainnya, namun majalah ini memiliki sejarah panjang Indonesia. Terbit kali pertama pada Sabtu Wage, 2 September 1933, Panjebar Semangat membawa semangat untuk membangun nasionalisme. Majalah ini lahir atas prakarsa Dr Soetomo, pendiri organisasi Boedi Oetomo.
Meskipun bukan media pertama di Indonesia, Panjebar Semangat disebut-sebut sebagai salah satu media tertua di Indonesia yang masih eksis sampai sekarang ini. Dan sejak awal terbit hingga sekarang, majalah mingguan ini tetap kukuh menggunakan Bahasa Jawa sebagai ciri khasnya.
Staf redaksi majalah Panjebar Semangat, M  Wijotohardjo mengatakan pemakaian Bahasa Jawa yang sampai sekarang tetap eksis tanpa terpengaruh media-media lainnya. Karena pada waktu itu Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia belum terlalu memasyarakat, walaupun dalam Sumpah Pemuda sudah dinyatakan menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
“Pada waktu itu masyarakat lebih mengenal Bahasa Melayu, oleh sebab itu terkait bahasa Pak Tomo (Dr Soetomo) menjadi dilema. Akhirnya kesepakatan pakai bahasa ngoko alus, karena bahasa ini mudah dikenal masyarakat apalagi masyarakat Surabaya, dan itu kita lestarikan sampai sekarang,” terangnya ketika ditemui Bhirawa di kantornya belum lama ini.
Sesuai namanya, Panjebar Semangat terbit untuk mengobarkan semangat kemerdekaan dari belenggu penindasan pemerintah Belanda. Agar tidak terlihat mencolok, beberapa konten diisi dengan rubrik budaya, mengingat pemerintah Belanda saat itu sangat ketat terhadap media-media yang kental akan unsur propaganda di dalamnya.
Saat agresi Belanda I dan II, majalah Panjebar Semangat sempat berhenti terbit. Karena situasi saat itu memang sangat tidak memungkinkan. Ditambah kenyataan, banyak warga Surabaya memilih untuk mengungsi keluar kota. “Misi kita pada waktu itu yang didirikan langsung oleh Pak Tomo adalah menyebarkan semangat merebut kemerdekaan. Beda dengan misi saat ini, sekarang ini adalah mengisi kemerdekaan. Kehadiran majalah ini menjadi benteng terakhir untuk mempertahankan seni dan kebudayaan Jawa,” paparnya sambil menunjukkan terbitan pertama Panjebar Semangat yang dipajang di dinding kantor.
Di masa kemerdekaan, Panjebar Semangat beberapa kali dijadikan tempat belajar menulis oleh tokoh-tokoh penting di Indonesia. Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mantan Menteri Penerangan Harmoko. Sebelumnya, mantan Presiden Soekarno juga pernah mengungkapkan harapannya dalam sebuah tulisan untuk media ini pada ulang tahun yang ke-20. “Kabeh madjalah kang mbijantu marang perdjoangan nasional gedhe gunane. Ta’dongakake muga-muga Panjebar Semangat lestari mbijantu perdjoangan kita iki,” tulis Soekarno. Artinya kurang lebih, “Semua majalah yang membantu perjuangan nasional besar manfaatnya. Saya doakan semoga Panjebar Semangat lestari membantu perjuangan kita”.
” Kita pernah mengirimkan hasil tulisan Pak SBY semasa beliau SMP ya waktu beliau telah menjabat sebagai Presiden RI,” tambahnya.
Diterangkan Wijotohardjo, hingga saat ini  masih aktif mendatangi dimana ada orang yang masih mau mempelajari Bahasa Jawa. Oleh karena itu, majalah ini tersebar di seluruh nusantara, bukan hanya di Jawa Timur tapi di Jawa Tengah, Jawa Barat yang berbahasa Sunda pun didatangi.
” Selain itu juga  di daerah transmigran. Bahkan majalah ini sampai keluar negeri, seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Suriname. Di luar negeri itu memang ada yang berlangganan. Dan kita mengirimnya tiap 2-3 bulan sekali dikarenakan biaya pengirimannya mahal. Bahkan ketika ada rekan waktu di kantor menceritakan kalau di luar negeri itu majalah kita banyak yang meminjam dan waktu dikembalikan sudah dalam keadaan lecet,” paparnya. [geh]

Tags: