Fanatisme Politik

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam sebuah teka-teki humor yang beredar di WhatsApp, ada pertanyaan yang berbunyi siapa orang yang tidak bisa dinasehati? Jawabnya ada dua. Pertama orang yang lagi jatuh cinta, dan kedua pendukung fanatik capres. Humor ini ada benarnya. Coba lihat di masa kampanye politik saat ini, fanatisme para pendukung capres sangat militan. Fanatisme politik bahkan tidak jarang membawa sang pendukung tak dapat berfikir obyektif. Apapun yang dilakukan capres idolannya adalah yang terbaik, sementara lawan politiknya dinilai selalu pada pihak yang salah.
Dalam debat capres cawapres misalnya. Masing-masing pendukung fanatik selalu mengatakan bahwa hanya capres cawapres pilihannya yang terbaik. Demikian sebaliknya, pendukung pasangan yang lain juga menilai hanya pasangan kandidat yang didukungnya yang terbaik. Sikap fanatik yang ditunjukkan oleh masing-masing pendukung pasangan calon sering memicu perseteruan, terutama di media sosial. Perang antara pendukung fanatik capres cawapres sangat seru di lini massa.
Munculnya fanatisme politik merupakan fenomena yang wajar dalam sebuah kontestasi politik. Hampir dalam setiap ajang kontestasi politik dan dalam kontestasi bidang yang lain, selalu memunculkan fanatisme dari masyarakat. Yang penting bagaimana sikap fanatik itu bukan fanatisme buta. Fanatisme buta cenderung akan melahirkan pandangan yang sempit dan tidak mampu melihat secara obyektif terhadap kelebihan lawan. Hal inilah yang menjadikan fanatisme politik buta justru berdampak negatif bagi demokrasi dan politik tanah air.
Memicu Maraknya Hoax
Para simpatisan pendukung masing masing capres cawapres sangat gaduh di media sosial. Diantara mereka tidak jarang saling serang dengan membicarakan sisi-sisi negatif dan kelemahan lawan. Dalam pandangan masing-masing pendukung fanatik hanya calonnya yang layak menang. Keyakinan bahwa calon yang didukung yang akan menang inilah yang menjadikan mereka fanatik. Bisa juga para pendukung calon tertentu ini ketakutan kalau pasangan yang didukungnya kalah, hingga mereka perlu mendukungnya mati-matian.
Dalam upaya saling menyerang di media sosial, beberapa simpatisan fanatik tidak jarang membela mati-matian pasangan idolannya. Dalam beberapa kasus, fanatisme para pendukung berkorelasi dengan munculnya berita bohong (hoax). Hal ini terjadi karena beberapa simpatisan fanatik sengaja membuat hoax untuk menyerang lawan politik. Hoax sengaja diciptakan untuk membangun opini buruk tentang lawan politik. Munculnya isu-isu negatif, rumor, desas-desus sering berasal dari para simpatisan fanatik.
Apa yang banyak dilakukan oleh para simpatisan yang fanatik merupakan cara mereka dalam menunjukkan kecintaan dan loyalitas mereka pada idolanya. Diantara para pendukung fanatik sangat mendambakan calonnya memang. Mereka sulit menerima kenyataan bahwa dalam kompetisi bisa saja calon yang didukungnya kalah. Kelompok fanatik ini biasanya mengandalkan kata “pokoknya”. Pokoknya capres dan cawapres pilihannya yang harus menang. Bahkan bisa saja apapun cara yang ditempuh yang penting calonnya menang.
Tak mudah memang mengendalikan pendukung yang fanatik. Tim kemenangan masing-masing pasangan capres dan cawapres sering dibikin kalang kabut gara-gara ulah para simpatisan yang aksinya sangat berlebihan. Militansi para relawan sering menunjukkan loyalitas kelewat batas. Tidak jarang pendukung fanatik, terutama anak-anak muda yang lebih menonjolkan emosi. Tidak semua pendukung fanatik mempunyai pemahaman yang utuh mengenai calon yang didukungnya. Fanatisme politik yang didemonstrasikan para pendukung sering tidak didasari pada literasi, kecerdasan, informasi, dan pengetahuan politik yang memadai.
Tidak sedikit pendukung fanatik capres cawapres yang menganggap calon yang didukung adalah orang sempurna tanpa cacat. Para pendukung fanatik menempatkan kandidat idolanya layaknya superman. Karena cara berfikirnya sudah demikian, maka tidak jarang pembelaan dilakukan dengan membabi buta, termasuk dengan membuat dan menyebarkan hoax untuk menyerang lawan yang mencoba menggoyang sang superman idolanya. Beberapa pendukung fanatik bukannya mengampanyekan kelebihan kandidat yang didukung, namun lebih mengekspos sisi negatif pesaingnya.
Bukan Fanatisme Buta
Pilpres itu kegiatan rutin lima tahunan. Para pendukung fanatik melihat kompetisi pilpres layaknya perang. Karena berfikirnya seperti menghadapi perang, maka segala amunisi mereka siapkan untuk mengalahkan lawan. Munculnya semangat perang total saat kampanye pada bulan terakhir ini menunjukkan bahwa kontestasi pilpres menjadi ajang kompetisi berebut posisi yang super sengit. Bisa saja pada level atas situasinya tidak segenting itu, tapi pada tingkat bawah, para pendukung fanatik sering memaknai pilpres sebagai perang.
Melalui media sosial perang terbuka saling serang lewat narasi-narasi saling menjelekkan terjadi. Pada situasi seperti ini tidak jarang media sosial telah menjadi sarana menebar ketakutan. Hampir setiap hari media sosial diramaikan dengan postingan pasukan cyber yang menebar rasa takut. Banyak diantara pendukung fanatik tidak mampu melihat lawan politiknya dengan obyektif. Mereka seperti sengaja membutakan diri terhadap sisi baik pada lawan politiknya. Pilpres cenderung dimaknai sebagai sarana meraih menang kalah semata.
Disadari atau tidak, kontestasi pilpres telah melahirkan fanatisme buta dari para pendukung. Kuatirnya sikap fanatisme ini terbawa hingga kontestasi usai. Untuk itu para pendukung pasangan capres cawapres hendaknya memandang kontestasi politik ini dengan lebih santai. Kacamata gelap para pendukung hendaknya dilepas hingga mampu melihat dengan lebih obyektif dan mampu introspeksi diri dan bisa saling menghargai lawan. Disinilah pentingnya kedewasaan politik para aktor dan pendukung politik.
Pemilu itu esensinya kontestasi mencari pemimpin negeri dan wakil rakyat yang mumpuni. Maka dalam kontestasi mencari pemimpin negeri ini jangan ada yang hendak mengorbankan persatuan dan harmoni Indonesia tercinta ini. Hindari pertengkaran dan pecah belah hanya gara-gara pilpres dan pileg. Semua pihak harus siap menang dan siap kalah. Siapapun yang memang dalam kontestasi ini sejatinya adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia.
Pikir sederhana saja, bahwa memilih Jokowi atau Prabowo serta menentukan caleg idola kita itu serupa memilih makan mie. Mau mie goreng atau mie kuah, semua terggantung selera. Tidak perlu orang lain dipaksa mengikuti selera kita. Untuk itu tidak usah dibikin pusing. Bagi yang fanatik mie kuah, selamat menikmati, gak perlu mengejek pada yang suka mie goreng. Yang paling enak adalah makan mie bersama sambil ngopi dan berdiskusi bareng, demi kemajuan Indonesia tercinta. Santai sajalah!.

——— *** ———-

Rate this article!
Fanatisme Politik,5 / 5 ( 1votes )
Tags: