Garam (makin) Langka

foto ilustrasi

Menu masakan tanpa garam, niscaya bagai kurang rasa. Tetapi telah sebulan ini, garam bagai menghilang dari lapang pedagang. Menyebabkan harga garam melonjak sampai 300% di pasar tradisional. Seluruh grosir garam mengaku kehabisan stok, tak terkecuali di sentra garam, di Kalianget, Sumenep (Madura). Harga garam di pasar tradisional mencapai Rp 3.000,- kemasan 250 gram. Lebih mahal dibanding gula.
Dahulu (dekade tahun 1960-an) harga garam biasa hampir setara gula. Tetapi sejak tahun 2012, harga garam semakin anjlok, jauh tertinggal dengan harga gula. Harga garam pernah anjlok sampai Rp 300,- per-kilogram. Merosotnya nilai ke-ekonomi-an garam, menjadi faktor utama ke-enggan-an petani merawat buih air laut. Lebih lagi perubahan cuaca, musim hujan lebih panjang, menyebabkan produksi garam tidak mencapai target.
Saat ini, harga garam brosok (kristal besar) telah mencapai Rp 4.000,- per-kilogram di tingkat petani. Harga tinggi cukup “menggoda” petambak giat membuka saluran masuk air laut ke tambak. Tetapi hujan masih turun pada bulan (Juli) ini. Buih potensi garam gagal mengkristal. Realita itu pula yang ditemukan oleh Ditjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hujan dan mendung menutupi terik matahari.
Kelangkaan garam saat ini, merupakan puncak paceklik selama dua tahun berturut-turut. Tahun (2016) lalu, musim lebih panjang, menyebabkan produksi garam tidak mencukupi. Bulan panen garam nasional (Agustus – Oktober) hanya menghasilkan 144 ribu ton. Atau hanya 4,5% dari target produksi 3,1 juta ton. Menjadi periode panen paling buruk sepanjang satu dekade terakhir.
Karena realita itu pula, pemerintah tetap meng-impor garam. Konon selama dua tahun terakhir (2015 dan 2016) produksi lokal tidak mencukupi. Walau sebenarnya, masih tersimpan ribuan ton stok lama yang tidak terserap pasar. Konon, garam lokal tidak layak konsumsi karena kandungan yodium yang rendah. Karena itu dihargai sangat murah, sehingga petani garam selalu merugi.
Maka problem garam, sebenarnya bukan hanya terhadap musim hujan yang lebih panjang. Tetapi pada transparansi antara stok lokal yang tersedia, dengan pertambahan kebutuhan. Juga prakiraan kebutuhan khusus garam industri. Garam merupakan bahan pangan strategis, untuk konsumsi maupun industri. Sehingga pemerintah wajib ber-perhatian. Kenyataannya, data stok garam antara petambak dengan catatan pemerintah selalu beda.
Petambak garam menuding terdapat laporan palsu yang dibuat oleh sindikat pedagang. Termasuk dengan alibi cuaca ekstrem yang mempengaruhi produksi. Yang paling tidak diketahui petani, adalah kebutuhan garam industri. Selain kebutuhannya cukup besar (sekitar 2 juta ton per-tahun), juga kualitas. Konon, garam lokal tergolong salinitas rendah (kurang asin). Walau sebenarnya memiliki kandungan mineral lebih banyak dibanding garam impor.
Produk garam, sebenarnya memiliki “payung” perlindungan yang kokoh. Yakni, UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Budidaya Ikan dan Petani Garam. Namun petani UU tersebut belum memiliki regulasi (peraturan) turunan tentang impor garam. Dus, terjadi persaingan bebas (tidak sebanding) antara petambak garam dengan importir (pemodal besar).
Bahkan daerah sentra garam, termasuk petambak garam Jawa Timur menolak Permendag Nomor 125 tahun 2015 tentang impor garam. Kini saatnya dilakukan fasilitasi usaha garam rakyat, lebih sistemik. Agar kebutuhan garam tidak bergantung pada impor. Sebagai “jagoan” garam peringkat tiga di dunia, seyogianya telah memiliki program intensifikasi dan proses perbaikan mutu.
Perlu pula melibatkan perguruan tinggi untuk meningkatkan kadar Na-Cl, serta finning (pembersihan). Kalangan perguruan tinggi juga pernah merekomendasikan penggunaan geo-membran (bahan terpal plastik), terbukti bisa meningkatkan produksi sampai 200%.

                                                                                                                 ————– 000 —————

Rate this article!
Garam (makin) Langka,5 / 5 ( 1votes )
Tags: