Gerakan Bersama Mencegah Korupsi

Oleh
Maswan
Penulis, adalah Dosen Unisnu Jepara, Kandidat Doktor Unnes, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah

Kita sebenarnya sudah sangat muak membaca dan mendengar kata korupsi, karena setiap hari bahkan tiap menit diberitakan tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh pemimpin bangsa ini. Tindak kejahatan korupsi, memang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masyarakat awam tidak pernah bersentuhan dengan tindak korupsi, karena mreka tidak pernah mendapat kedudukan strategis dan tidak berkesempatan untuk itu. Pasalnya, masyarakat awam bukannya tidak mau, tetapi memang tidak ada yang dikorupsi.
Kejahatan korupsi, sebenarnya bisa dilakukan oleh semua orang karena sifat dan naluri manusia itu memang ingin memiliki sesuatu yang bukan haknya. Yang membatasi orang tidak korupsi adalah karena mereka mempunyai kendali keimanan dan mempunyai sifat kejujuran. Jika orang yang mempunyai kedudukan, ada harta benda dan ada kesempatan yang mereka tidak ada kendali iman serta mereka tidak jujur pada diri sendiri, maka kalau melakukan korupsi itu tidaklah sesuatu yang aneh.
Dalam tulisan editorial, (Wawasan, 21/2) dijelaskan bahwa “Korupsi di Indonesia sudah benar-benar sempurna atau paripurna. Mengapa begitu, karena sudah tidak ada lembaga lagi yang terbebas dari korupsi yang dilakukan pemimpin atau pejabatnya. Betapa sulit dipahami bahwa lembaga seperti MK, DPD dan DPR terjerat juga kasus korupsi yang dilakukan oleh pucuk pimpinannya. Untuk kepala daerah saja, secara keseluruhan kini sudah lebih dari 60 bupati dan walikota, di seluruh Indonesia yang tersandung korupsi sejak KPK didirikan. Selain itu ada sekitar 126 anggota DPR/DPRD dan 17 gubernur yang berurusan dengan lembaga antirasywah itu. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa praktik korupsi yang dilakukan pejabat publik dan politisi memang tidak ada matinya.”
Dalam hal ini secara tidak langsung menjunjukkan perilaku korup masih sulit dihilangkan dari para pejabat publik dan politisi yang telah dipilih oleh rakyat dan diberi amanah raakyat dari proses politik. Dalam arti luas bisa dimaknai bahwa selain merupakan kegagalan partai politik dalam membina kader-kadernya, politik di Indonesia belum bisa dipisahkan dengan faktor uang. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika praktik politik uang (money politics) sangat sulit diberantas dalam setiap kontestasi politik. Politik uang seolah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses politik apapun dan di tingkat mana pun. Di sinilah urgensi dan relevansi slogan Revolusi mental yang diusung Jokowi-Jusuf Kalla digaungkan dan diwujudkan (Wawasan, 21/2/2018)
Patologi Sosial Korupsi
Patologi sosial adalah sebuah istilah yang digunakan dalam memberi julukan berbagai penyakit dalam kehidupan sosial. Jenis penyakit sosial yang sering muncul di hadapan kita seperti korupsi, adalah persoalan laten yang sangat sulit disembuhkan secara total.
Penyakit sosial dalam bentuk korupsi seperti itu, bersumber dari penyakit kejiwaan dan mental individu yang akut, seperti lemah iman, bohong/ketidakjujuran, serakah dan sejenisya kemudian menjalar dan berinteraksi dengan individu lain yang sama-sama mengidap penyakit tersebut. Ibarat ada virus atau bakteri penyakit yang diderita dari masing-masing individu, karena berinteraksi dalam komunitas yang sama, maka pertumbuhan penyakit tersebut menjadi berkembang sangat pesat.
Setidaknya terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sesorang masuk dalam lingkaran setan (korupsi-red), di antaranya yaitu, lemahnya hukum (hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah), gaya hidup hedon atau gaya hidup glamor dan bermewah-mewahan, minimnya spiritual keagamaan yang berakibat lemahnya hukum dan sikap hedonis tadi.
Tindak kejahatan korupsi adalah berkait erat dengan mental pejabat dan para politisi yang lemah iman keagamaan dan ketidakjuuran. Seorang koruptor, di dalam dirinya tidak terpatri keimanan, sehingga mudah terjangkit penyakit lain yaitu ketidakjujuran. Mental ketidakjujuran atau penipu, jika dilakukan oleh kerumunan para pejabat dan penguasa pemerintahan akan berakibat pada kerugian negara yang tidak terhitung jumlahnya, yang mestinya itu hak orang banyak.
Korupsi dianggap sebagai lingkaran setan, karena faktor yang menjadikan para koruptor terus bergentayangan, karena rantai lingkaran setan saling terkait. Lingkaran setan korupsi sama dan sebangun dengan lingkaran setan kemiskinan. Korupsi hanya dapat dihentikan oleh mereka sendiri yang melakukan korupsi, bertobat kepada Tuhannya, lalu memaafkan diri sendiri, karena telah merampas hak hidup orang miskin.
Jikalau secara pribadi-pribadi tidak mempunyai kesadaran untuk berhenti korupsi, ya harus dilakukan penggerebekan kepada mereka yang berindikasi korupsi. Gerakan anti korupsi harus dilakukan oleh masyarakat dengan membentuk lembaga anti korupsi.
Penulis sependapat, gerakan pemuda Sumenep yang mengatasnamakan Komunitas Pemuda Anti Korupsi (KOMPAK), yang mempunyai keberanian untuk menanyakan dasar hukum sebuah aturan yang dianggap menyimpang, dan diindikasikan ada kong kalikong yang mengundang prasangka negatif, karena tidak transparan dalam pengangkatan sebuah jabatan. (Bhirawa, 19/02/2018).
Gerakan masa anti korupsi seperti yang dilakukan oleh komunitas pemuda Sumenep dan kelompok-kelompok antikorupsi di beberapa daerah di Indonesia harus terus digalakkan. Upaya gerakan antikorupsi oleh masyarakat seperti itu akan mempunyai dampak positif dalam memberantas korupsi, karena akan membantuk pemerintah dalam penegakan hukum dalam mengatasi korupsi.
Setidaknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akan terbantu dengan adanya komunitas pemuda atau masyarakat anti korupsi yang dilembagakan. Setidaknya, ini merupakan pembelajaran bagi bangsa untuk berbuat nahi mungkar.

———— *** ————–

Rate this article!
Tags: