Halalbihalal dan Move On Kebangsaan

Oleh :
Hamidulloh Ibda
Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) dan Dosen STAINU Temanggung

Halalbihalal (HBH) yang digelar Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla di istana merdeka di awal Lebaran Idul Fitri 1438 H kemarin harus menjadi momentum “move on” kebangsaan. Sebab, sebelum, saat, dan sesudah Pilkada DKI Jakarta kemarin, bangsa ini sudah lelah disibukkan dengan prahara politik. HBH dengan konsep “open house” di istana tersebut dihadiri berbagai tokoh dan dedengkot yang berlawanan menjadi sinyal positif. Baik dari kubu pro Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 maupun pihak yang disinyalir menentang dasar negara.
HBH yang menjadi tradisi khas Islam di Nusantara ini dari dulu memang unik. Secara historis, pada kurun 1946-1948, Indonesia digegerkan berbagai konflik politik dan juga keberagaman ideologi kebangsaan. Kala itu, banyak pertentangan cukup keras di kalangan elite politik.
Presiden Sukarno pun takut dan kemudian menggelar HBH atas usul KH. Wahab Chasbullah dedengkot Nahdlatul Ulama (NU) kala itu. Tujuannya, untuk “mendamaikan” berbagai pihak yang sedang konflik. Awalnya, Bung Karno hanya menginginkan silaturahmi. Namun karena dianggap biasa, maka atas usul KH. Wahab Chasbullah kala itu menjadi “halalbihalal” yang sampai sekarang masih lestari.
HBH hanya ada di Nusantara, bahkan dalam nomenklatur Bahasa Arab pun tak ditemukan.  Namun HBH lestari karena menjadi “ibadah muamalah” dan mampu meredam konflik, baik dalam konsep pengajian, reuni, open house, temu kangen dan lainnya.
Presiden Gus Dur juga pernah menggelar open house dengan konsep “Lebaran Rakyat” pada tahun 2000 silam. Gus Dur mengajak rakyat dari berbagai kalangan menikmati istana yang dari dulu dikenal elitis. Uniknya, Gus Dur kala itu justru mengajak rakyat open house di ruang utama istana merdeka yang biasanya hanya untuk tamu khusus.
Pesan itu tampaknya ditangkap Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla. Sebab, sebelumnya Jokowi dan JK menggelar open house sendiri-sendiri. Namun tahun ini berbeda karena mereka sepakat menggelar secara berjemaah dengan mengundang berbagai tokoh beragam.
Move On Kebangsaan
Terlepas dari pencitraan, safari politik dan juga kepentingan Pilkada serentak 2018, Pileg dan Pilpres 2019, open house di istana merdeka menjadi momentum kebangkitan. Ibarat orang patah hati, “move on” akan sulit ditemukan jika tak ada gerakan revolusioner untuk meredam konflik dan merajut benih kemesraan. Di antara kedua pihak, rumus “move on” harus ada yang “mengalah” agar menemukan titik temu bernama kemesraan.
Tidak hanya spirit persatuan, namun perilaku petinggi dan dedengkot politik lewat HBH di istana merdeka itu mengedukasi masyarakat untuk memperlebar toleransi. Tak hanya pihak “penguasa”, namun tokoh politik seperti Anies Baswedan-Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono dan Ibas juga turut hadir dalam momen itu.
Bahkan, dedengkot Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) Bachtiar Nasir dan jemaahnya yang belakangan disinyalir berseberangan dengan pemerintah juga turut hadir dan duduk manis bersama Jokowi-JK di momen yang fitri itu. Fenomana itu harus menjadi corong perdamaian dan memperlebar “move on kebangsaan” dari berbagai luka jasmani dan rohani yang mendera bangsa ini.
Belakangan ini kita disibukkan dengan adanya isu SARA, polemik penistaan agama dan kasus Ahok, pembubaran HTI hinggi kriminalisasi pimpinan FPI. Lewat open house di istana dan bertemunya dedengkot-dedengkot itu, harus menghentikan pertikaian di tingkat elit politik dan kaum bawah.
Langkah legowo para tokoh di atas tentu menjadi catatan penting dalam meredam konflik dan perjalanan bangsa ini. Banyak petinggi politik selama ini “gengsi” dan enggan menjalin silaturahmi. Sudah seharusnya hal itu dilestarikan dalam kondisi apa pun.
Pendidikan Memaafkan
Memaafkan di era milenial menjadi “barang langka”. Gempuran globalisasi mendorong masyarakat menjadi “pemarah”. Sedikit-dikit masyarakat mudah marah dan merasa paling benar. Adanya medsos juga mempertebal “rasa paling benar sendiri”. Padahal, rumus kebenaran itu bertingkat, mulai benar dari sudut pandang sendiri, kebenaran publik dan kebenaran Tuhan. Sedangkan kebenaran sejati hanyalah milik Tuhan.
Dalam keluarga, pendidikan memaafkan seharusnya dimulai dan diajarkan pada anak-anak. Mereka harus diajarkan keluasan hati untuk memaafkan. Dalam pergaulan, anak-anak ketika mainannya direbut teman, misalnya, seharusnya diajarkan “mudah memaafkan”. Pasalnya, memaafkan menjadi piranti persaudaraan dan kemesraan dalam konteks apa pun.
Di sekolah dan kampus juga harus ditekankan pentingnya memaafkan. Guru, dosen, dan semua ustaz harus menjadi contoh “pemaaf”. Sebab, pendidik menjadi figur anutan pertama kali di lembaga pendidikan. Dalam konteks bangsa, tentu pemimpin dan petinggi politik yang ditiru.
Idul Fitri dalam konteks kebhinekaan tidak boleh ritus belaka. Melainkan harus benar-benar menjadi “hari raya memaafkan”, baik itu hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam. Jika belum mendapatkan derajat pemaafan, maka makna Idul Fitri atau kembali suci hanya slogan belaka.
Mengapa? Masih banyak saudara-saudara kita hanya melakukan “festival pameran kekayaan” saat reuni, open house, HBH maupun temu kangen di momentum Lebaran dari tanggal 1 sampai 30 Syawal.
Dalam hidup, manusia hanya punya dua kemungkinan, memaafkan, atau meminta maaf. Rumus internal Islam menjelaskan manusia tempatnya salah dan lupa. Lebaran Idul Fitri menjadi wahana menyucikan lahir dan batin kepada siapa saja. Tak hanya meminta maaf kepada Tuhan, namun juga manusia, hewan dan alam.
Jangankan kita yang hanya manusia biasa, semua nabi dan rasul pun tak pernah mengaku suci. Jika kita tak rendah hati mau meminta maaf, maka akan melebarkan potensi disintegrasi dan retaknya persaudaraan.
Bangsa ini tak akan maju jika individu-individu masih suka bertikai dan tak melebarkan sayap kemesraan. Padahal, kemesraan, perdamaian, persaudaraan itu murah. Sekali lagi, kemesraan itu murah dan yang mahal adalah “rasa gengsi” untuk memulai meminta maaf. Perlu ditegaskan, hanya orang bodoh yang tak mau meminta maaf dan memaafkan. Lalu, kita termasuk golongan mana?

                                                                                                                        ———– *** ————

Rate this article!
Tags: