Menjamin Ke-ekonomi-an Garam

foto ilustrasi

Musim hujan lebih panjang tahun (2016) lalu, menyebabkan produksi garam tidak mencukupi. Panen (Agustus – Oktober) garam hanya 144 ribu ton atau hanya 4,5% dari target produksi 3,1 juta ton. Menjadi periode panen paling buruk sepanjang satu dekade terakhir. Hanya sebagian kecil petani garam bertahan, disebabkan harga komoditas tidak menguntungkan. Kini saatnya dilakukan fasilitasi usaha garam rakyat, lebih sistemik.
Karena realita itu, impor garam masih tetap dilakukan pemerintah. Konon selama dua tahun terakhir (2015 dan 2016) produksi lokal tidak mencukupi. Walau sebenarnya, masih tersimpan ribuan ton stok lama yang tidak terserap pasar. Konon, garam lokal tidak layak konsumsi karena kandungan yodium yang rendah. Karena itu dihargai sangat murah, sehingga petani garam selalu merugi.
Tetapi problem garam, sebenarnya pada transparansi antara stok lokal yang tersedia, dengan pertambahan kebutuhan. Juga prakiraan produksi dengan pertimbangan cuaca. Garam merupakan bahan pangan strategis, untuk konsumsi maupun industri. Sehingga pemerintah wajib ber-perhatian. Kenyataannya, data stok garam antara petambak dengan catatan pemerintah selalu beda. Menyebabkan pemerintah selalu impor garam untuk mencukupi kebutuhan, terutama industri.
Petambak garam menuding terdapat laporan palsu yang dibuat oleh sindikat pedagang. Termasuk dengan alibi cuaca ekstrem yang mempengaruhi produksi. Saat ini pemerintah daerah di sentra produksi turut pula intensif mengurus tata niaga garam.  Misalnya, berdasar catatan Pemda Sumenep (Madura), telah memprediksi ke-gagal-an mencapai target. produksi garam. Semula ditaksir sebanyak 295 ribu ton, nyaris mustahil bisa dipenuhi.
Cuaca menjadi faktor teknis utama. Karena lebih panjang membawa angin basah yang selalu mencairkan buih-buih ombak. Akibatnya, potensi (buih bakal garam) tidak bisa “matang.” Buih di pantai yang gagal mengkristal akan mengancam produksi garam di Madura tidak bisa memenuhi target. Selama 10 tahun terakhir, panen terbaik tercatat pada Agustus hingga September tahun 2012 lalu. Itupun produksinya cuma  222 ribu ton.
Karena itu diperkirakan realisasi produksi garam hanya sekitar separuh dari target (menjadi 150-an ribu ton). Berdasar paradigma suplai dan ketersediaan, kelangkaan garam seharusnya bisa meningkatkan harga. Tetapi pemerintah memilih impor garam, sampai stok mencukupi (bahkan lebih). Tahun (2016) impor garam semakin “menelantarkan” garam rakyat (lokal). Penyebabnya, Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) Nomor 125 tahun 2015 tentang impor garam.
Di balik impor garam, seharusnya pemerintah sekaligus melindungi garam rakyat, agar terserap pasar. Misalnya, dengan membebani importir untuk (wajib) membeli garam rakyat sebanyak-banyaknya. Serta upaya pembatasan kuota, agar harga garam mencapai ke-ekonomi-an memadai. Karena tidak adanya perlindungan terhadap garam rakyat, maka berbagai daerah sentra garam menolak Permendag, terutama Jawa Timur.
Tetapi biasanya tidak akan mengubah kebijakan. Konon problem utama garam rakyat adalah rendahnya mutu, memerlukan proses tambahan. Dus, membebani ongkos produksi menjadi mahal. Serta pada saat proses tambahan, volume garam mengalami penyusutan. Itu menjadi “lingkaran setan” ketersediaan garam tidak mencukupi untuk kebutuhan nasional.
Sebagai “jagoan” garam peringkat tiga di dunia, seharusnya lebih memilih intensifikasi dan proses perbaikan mutu. Walau harus diakui, terdapat perbedaan proses pembentukan garam, antara negara ber-iklim dingin, dengan iklim tropis (banyak hujan). Di negara dingin, garam bagai tambang, tanpa melalui proses apapun. Melainkan hanya dikeruk seperti menambang kapur. Ongkos produksinya sangat rendah, sehingga bisa dijual murah.
Problem garam (yang harus bersaing dengan komoditas impor) masih ditambah rantai distribusi (per-calo-an) yang panjang. Solusinya, mesti dibangun pabrik khusus peningkatan Na-Cl serta finning (pembersihan) di sentra-sentra garam rakyat.

                                                                                                            ———   000   ———

Rate this article!
Tags: