Hardiknas : Pendidikan Mahal !

Peringatan Hardiknas (Hari pendidikan nasional) 2017, berlalu hambar, nyaris tanpa advokasi. Boleh jadi, disebabkan bertepatan waktu dengan periode “prihatin” sekolah. Yakni pelaksanaan Unas (ujian nasional) tingkat SMP dan persiapan ujian sekolah  tingkat SD (Sekolah Dasar). Keduanya merupakan evaluasi belajar tahap akhir (EBTA) yang lebih heboh dibanding Unas tingkat SLTA maupun ujian akhir ke-sarjana-an.
Peringatan Hardiknas tahun ini diwarnai ke-heboh-an di berbagai media masa serta medsos (media sosial): Kepala Sekolah setrum beberapa murid SD! Tempatnya, di salahsatu kota dengan iklim pendidikan terbaik di Indonesia, kabupaten Malang (Jawa Timur). Niscaya, kasusnya menjadi ranah kriminal yang menjadi perhatian khusus penegak hukum. Yakni, perlindungan anak.
Secara kenegaraan maupun pemerintahan, telah dibentuk institusi perlindungan anak. Yakni KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Komnas Anak. Bahkan sejak 15 tahun silam telah terbit undang-undang yang lebih lex-specialist. UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah cukup memiliki peraturan, termasuk sanksi pidana. Begitu pula di tiap Polres telah dibentuk unit Perlindungan Perempuan dan Anak.
Kasus Kepala Sekolah SD setrum muridnya di Malang, itu sangat memprihatinkan, karena terjadi di lingkungan sekolah. Menambah panjang daftar ke-nestapa-an anak, akibat tindak kriminal. Padahal seharusnya, sekolah menjadi pilar utama lingkungan layak anak. Berdasar catatan KPAI, terdapat 1764 kasus kekerasan pada anak terkait pendidikan (di sekolah). Terutama pada daerah miskin. Tetapi kawasan Malang raya (Kota dan Kabupaten), bukan daerah miskin, karena APBD-nya cukup besar.
Bahkan Malang, menjadi daerah pelopor pelaksanaan wajib belajar 18 tahun. Biaya sekolah ditanggung pemerintah daerah, sejak tingkat SD hingga SLTA. Tidak banyak pemerintah daerah (kabupaten dan kota) berhasil melaksanakan wajib belajar 18 tahun. Terutama setelah kewenangan pengelolaan pendidikan tingkat SMTA di-alih-kan menjadi otoritas pemerintah propinsi. Banyak Pemkab dan Pemkot  menarik dukungan.
Seyogianya, kasus kriminal terhadap anak didik, tidak menutup problem ke-pendidikan nasional. Yakni, lembaga pendidikan telah berubah arah menjadi ladang bisnis yang cukup menguntungkan. Kewenangan alih kelola SMTA, juga menjadi keprihatinan sektor pendidikan. Karena pemerintah propinsi tidak memiliki anggaran yang cukup untuki meng-ongkosi pendidikan tingkat SMTA. Pada sisi lain, Pemkab dan Pemkot, menarik dukungan biaya pendidikan khusus SMTA.
Alasannya, bukan ke-enggan-an membantu, melainkan khawatir melanggar undang-undang (UU). Khususnya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Akibatnya, biaya sekolah (sampai SMTA) yang dahulu ditunaikan oleh Pemkab dan Pemkot, kini harus ditunaikan oleh orangtua murid. Bayar SPP lagi. Nilainya sekitar Rp 150 ribu per-bulan tiap murid SMTA.
Peningkatan pegeluaran rumahtangga ini akan menjadi kendala partisipasi sekolah. Akan lebih banyak angka putus sekolah, terutama pada kelas XI. Di Jawa Timur, misalnya, rerata angka ke-pendidikan hanya sampai kelas VIII, tidak lulus SMP. Ini sudah tergolong lumayan. Di seluruh Indonesia, hanya Jakarta dan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) yang memiliki rerata pendidikan masyarakat sampai lulus SMP.
Pendidikan mahal, bukan hanya pada tingkat SLTA. Bahkan sejak PAUD (Pendidikan Usia Dini), pra-TK dan TK (Taman Kanak-kanak) sudah mahal. Tarif masuk TK dan PAUD sekitar Rp 2 juta-an, serta SPP per-bulan sekitar Rp 200 ribu-an. Kecuali di pedesaan masih berlaku “tarif sosial.” Walau hasilnya (lulusan) sudah dapat membaca pada saat akan masuk SD.
“Tarif sosial” pendidikan wajib belajar di pedesaan (dan pesantren), agaknya, masih memegang teguh prinsip kependidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara. Namun pemerintah seyogianya waspada, dan mencegah eksploitasi lembaga pendidikan sebagai ladang bisnis.

                                                                                                      ———   000   ———

Rate this article!
Tags: