Hentikan Perpeloncoan, Kembangkan Sikap Keteladanan

(Catatan Kelam Kasus Kekerasan di STIP)

Oleh:
Lilik Suhartatik
Guru SMKN 1 Duduksampeyan, Gresik

Prihatin. Satu kata yang cukup mewakili perasaan sebagian besar masyarakat Indonesia saat mendengar berita tindak kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta untuk yang kesekian kalinya. Tak tanggung-tanggung, kekerasan yang diberitakan selalu berujung maut kepada salah seorang siswanya. Hal ini sangatlah disayangkan oleh berbagai pihak. Pasalnya, dunia pendidikan diharapkan mencetak generasi yang berakhlaqul karimah dan berpengetahuan bukan mencetak preman yang suka bertengkar, memukul dan mengeroyok sampai menghilangkan nyawa seseorang.
Tindak kekerasan di STIP yang berujung maut ini bukanlah yang pertama kali diberitakan oleh media. Kejadian yang sama ditahun 2008 Agung Bastian Gultom, tahun 2014 Dimas dikita dan terakhir 2017 Amirullah adalah siswa-siswa taruna yang harus meregang nyawa sia-sia karena dianiaya oleh para seniornya, tempo.co ( 12/1).
Sangat disesalkan kenapa penganiayaan itu kembali terulang dilingkungan pendidikan. Penganiayaan yang disamarkan atas nama perpeloncoan bagi siswa baru telah menodai hakikat orientasi siswa. Kekerasan dan penganiyaan dalam dunia pendidikan harus disadari bukan sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum akhirnya meledak.
Pengenalan lingkungan baru seharusnya memberi kesan pertama yang sangat baik tetapi justru malah sering kali digunakan sebagai ajang menunjukkan kekuasaan dan senioritas oleh para siswa senior. Mereka melakukan tindak kekerasan kepada siswa junior dengan alasan melatih kekuatan fisik dan mental. Padahal jika ditelisik lebih jauh alasan sebenarnya hanyalah bersenang-senang mengerjai junior dan balas dendam atas perlakuan senior terdahulu. Hal tersebut senada dengan pendapat rektor universitas Diponegoro, Prof Eko Budiharjo MSc, bahwa orientasi mahasiswa/siswa baru yang memberikan banyak kegiatan fisik bahkan diwarnai kekerasan dengan alasan melatih fisik dan mental, lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Kegiatan semacam ini hanya akan menciptakan benih-benih dendam pada mahasiswa/siswa baru yang nantinya akan mereka lampiaskan kepada adik angkatannya (kompasiana.com 24/08/2015).
Akibat yang sangat fatal dari perpeloncoan yang berbau kekerasan biasanya berupa pemukulan, penendangan dan penganiyaan fisik lain yang dilakukan secara berulang sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang seperti yang terjadi di instansi STIP. Sebagai seorang pendidik, penulis sangat mengecam kejadian tersebut. Hal ini dikarenakan kekerasan dalam dunia pendidikan sangat bertentangan dengan pasal 80 UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dinyatakan sebagai berikut: (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud, mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama sepuluh tahun dan atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah. Terkait hal tersebut maka diharapkan semua siswa yang belajar dilingkungan sekolah atau universitas mendapatkan keamanan dan kenyamanan ketika mencari ilmu.
Banyak hal yang bisa dilakukan agar kejadian di STIP tidak terulang kembali. Salah satunya adalah penerapan konsekuensi yaitu jalan tengah diantara disiplin dan menghukum. Sebuah konsekuensi berarti menempatkan siswa sebagai subyek. Seorang siswa yang dijadikan subyek berarti diberikan tanggung jawab seluas-luas nya dengan konsekuensi sebagai batasan. Jika ada senior yang berlaku sewenang-wenang ingin menunjukkan kekuasaan dengan jalan kekerasan kepada junior maka pihak kampus bisa mengambil atau mengurangi hak istimewa mereka seperti memberi skorsing atau bahkan dipecat secara tidak hormat dari instansi.
Selain itu, menata ulang sistem perpeloncoan sangatlah penting. Masa orientasi atau perpeloncoan hanya dilakukan oleh guru untuk memberi wawasan dan pengenalan tentang sekolah yang baru. Para senior hanya bersifat mendampingi dan memperkenalkan kegiatan-kegiatan ekstra yang ada di sekolah. Hal ini diharapkan untuk memutus rantai perpeloncoan yang selalu dilakukan senior terhadap juniornya. Orientasi yang cenderung pada perpeloncoan dirubah menjadi masa orientasi yang penuh rasa cinta dalam hal ini adalah rasa kekeluargaan dan keakraban. Kekuatan cinta harus diutamakan sehingga banyak hal produktif yang bisa dihasilkan atas dorongan rasa cinta kepada seluruh elemen sekolah/kampus. Kalau semua kegiatan orientasi yang dilaksanakan bernuansa kekeluargaan dan keakraban maka selanjutnya siswa baru akan membuat masa orientasi penuh cinta juga kepada adik angkatannya. Misalnya ketika ada siswa baru yang berbuat kesalahan pada masa orientasi maka hukumannya bukan berupa kekerasan fisik melainkan hukuman yang mendidik dan bersifat keakraban. Hal ini bisa berupa teguran lisan, menyanyikan lagu daerah, lagu kebangsaan, menari atau menampilkan bakat dan potensi yang pada akhirnya mengakrabkan satu sama lain dengan gelak canda dan tawa riang disetiap kegiatan orientasi.
Disamping itu STIP atau pun semua instansi sekolah yang lain diharapkan agar menerapkan konsep humanisasi pendidikan. Urgensi humanisasi pendidikan adalah upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas nalar, cerdas spiritual dan cerdas emosional. Cerdas nalar dengan cara pemberian ilmu pengetahuan dan skill yang sesuai dengan kurikulum sekolah. Cerdas spiritual yaitu selalu membimbing dan mengarahkan siswa beribadah dan mendekat kepada yang maha kuasa sesuai dengan agamanya ketika disekolah. Sedangkan cerdas emosional adalah membimbing siswa agar bisa mengelola perasaan dan kondisi jiwa agar selalu stabil, dewasa dan mandiri. Selain itu siswa harus diberikan training tentang etika dalam berkata dan bertindak.
Dari paparan diatas, besar harapan semua lapisan masyarakat dan pihak sekolah bersinergi untuk menghasilkan siswa STIP yang berkualitas dan bermartabat. Ketika semua siswa bisa bersikap baik tanpa suatu paksaan berarti pendidikan di instansi itu berhasil sehingga masa orientasi merupakan masa pencerminan sikap baik dan beretika siswa senior terhadap siswa juniornya. Semoga sikap itu menjadi tauladan nyata agar siswa junior juga bersikap baik terhadap adik angkatan yang selanjutnya sehingga tidak ada lagi kekerasan di dunia pendidikan.

                                                                                                    ———— *** ————

Tags: