International Food Technology Harapan Baru Persaingan Pangan

Pelaku industri pangan kreatif ‘Semanggi instan & Semanggi siap’ Aminah saat memaparkan kesuksesan bisnisnya dihadapan puluhan mahasiswa dan beberapa petinggi Universitas Ciputra, senin (24/4).

Surabaya, Bhirawa
Perkembangan arus globalisasi dinilai beberapa pihak mulai mengkhawtirkan, khususnya pada pasar pangan. Kedaulatan pangan yang digadang-gadang akan mendongkrak kesejahteraan masyarakat Indonesia, ternyata masih kalah dengan ‘tren’ konsumsi makanan cepat saji yang mampu meningkatkan status sosial pergaulan. Kekhawatiran itu diungkapkan guru besar program study International Food Technology Universitas Ciputra Prof Ir Hari Purnomo. Menurut Hari Purnomo, perkembangan global yang terjadi saat ini, sudah semakin kritis dari batas Negara. Tidak hanya budaya, makanan pun sudah masuk dari segala arah. Menurutnya, generasi milineal saat ini lebih menyukai makanan Negara asing, khususnya dalam makanan cepat saji.
“Menurut penelitian saya, generasi milineal saat ini lebih menyukai makanan luar negeri dan cepat saji dibanding makan lokal. Secara status sosial, mereka terangkat dengan konsumsi makanan tersebut,” ungkapnya. Sehingga, lanjut dia, pihaknya berpendapat jika masyarakat Indonesia saat ini memerlukan teknologi pangan dalam melawan ‘serangan pangan’ dari Negara asing. Prof Heri mengatakan, meskipun makanan rendang menduduki peringkat pertama dunia berdasarkan taste dalam sebuah survei, yang diikuti sate dan nasi goreng, namun ketignya masih belum mampu mengangkat masakan kas Indonesia pada pasar global.
“Indonesia punya rendang, sate dan nasi goreng, yang rasanya diakui dunia. Tapi ternyata ketiganya masih kalah dengan sate buatan Malaysia yang dikemas instan dan sudah merambah pasar Eropa,” tutur Prof Heri. Jika Malaysia bisa merambah pasar global, kenapa kita tidak? Lanjut dia. Oleh karenanya, pihaknya mendapat tantangan bahwa orang-orang yang fokus pada teknologi pangan Indonesia hukumnya wajib dalam meningkatkan status sosial makanan khas Indonesia di pasar global.
“Dengan sentuhan teknologi pangan, nilai jual makanan kita lebih tinggi ketimbang makanan yang biasanya masyarakat jajankan” sahut dia.
Ia berpendapat bahwa sebenarnya makanan khas Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi karena memiliki taste (rasa) khas dari setiap makanan yang dibuat. Namun, sayangnya masyarakat Indonesia tidak mau bergerak untuk berinovasi dalam membuat makanan asli Indonesia memiliki nilai jual tinggi.
“Kita ini kaya akan sumber daya, tapi kita tidak mau mengolah. Kalau kita lihat di Negara maju, rempah-rempah kita menjadi juara di pasar global. Tinggal bagaimana kita mau berinovasi atau tidak,” tegasnya.
Namun sayangnya,meskipun menjadi juara di pasar global, pengolahan rempah-rempah diakuinya masih dilakukan oleh Negara-negara yang tertarik dengan pangan di Indonesia.
Sementara itu menurut Ketua Komite Tetap Industri Makanan dan Protein Thomas Darmawan memaparkan jika saat ini ada perubahan sepuluh perubahan pada industri makanan. Di antaranya, globalisasi rantai penyediaan makanan, skandal dan pengawasan yang meningkat,pergeseran dalam kekuatan ekonomi global, perubahan perminataan makanan, penyesuaian ke keunggulan kompetitif, terobosan teknologi dan ilmiah.
Dari perubahan tersebut, Thomas Darmawan menghimbau agar masyarakat atau pelaku teknologi pangan untuk tidak takut pada model yang menghambat, justru dengan begitu seharusnya dapat meningkatkan daya saing pangan masyarakat Indonesia.
“Masyarakat Indonesia nantinya akan dituntut untuk membuat inovasi baru pada produknya dalam bersaing di pasar global” paparnya. Selain itu Sumber Daya Manusia (SDM) trampil dengan sertifikat kompetensi yang dimiliki juga menjadi sebuah kebutuhan dalam pengembangan produk masa depan.

Harus Mampu Membaca Peluang Industri Pangan
Di tengah maraknya persaingan global pada industri pangan, menuntut peran Indonesia untuk bisa menghadirkan inovasi pangan ‘lokal’ Indonesia di kancah International. Tuntutan tersebut ditangkap langsung oleh Universitas Ciputra dengan meresmikan program studi International Food Technology.
Menurut wakil Rektor bidang akademik Prof Dra Jenny Lukito Setiawan mengungkapkan jika kekayaan dan lahan pangan Indonesia yang melimpah ruang, seringkali tidak bisa dimaksimalkan oleh masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, ketika Negara lain membeli bahan-bahan mentah kita yang kemudian mereka olah dan pada akhirnya dijual lagi di pasar Indonesia dengan harga yang mahal.
“Hal-hal yang seperti itulah yang harus mampu kita tangkap sebagai orang akademisi maupun orang pangan. Kita harus mau belajar teknologi untuk pengembangan pangan kita,” ujarnya.
Dengan begitu, pihaknya terus mengupayakan agar memberikan tempat untuk masyarakat dalam mempelajari teknologi pangan tersebut. “Sehingga anak-anak bangsa di bekali dengan ilmu yang menjadi sebuah kebutuhan sekaligus tuntutan pasar global untuk industry pangan” tuturnya. Nantinya, lanjut dia, program studi International Food Technology tidak hanya mendatangkan prospek karir kepada mahasiswa, melainkan mendorong masyarakat untuk terus berkembang. Misalnya saja, contohnya, yang sering diaami petani ketika panen. Kita bisa melihat tanpa adanya proses panen secara teknologi hasil panen mereka cepat busuk. Akibatnya produk mereka mempunyai nilai harga yang sangat rendah, dan kemungkinan yang lain adalah dimusnahkan.
“Jika teknologi pangan ini digunakan oleh petani, maka mereka bisa memproses dalam jangka waktu yang cukup panjang. Sehingga kesejahteraan merekapun meningkat” paparnya.
Diakui Prof Jenny jika dengan hadirnya teknologi pangan tersebut, pihaknya ingin membantu petani dalam meng ekspor hasil panen yang dimilikinya. “Ini menjadi kesempatan untuk menjembatani masyarakat dalam berkontribusi mendatangkan devisa bagi bangsa dan negara,” pungkasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Rektor bidang operasional, Victor Effendi jika dibukanya program studi International Food Technology merupakan sebuah kebutuhan, di mana lembaga pendidikan harus mampu mewujudkan hal tersebut. Ia menuturkan jika banyaknya produk-produk asing yang masuk di pasar industry pangan Indonesia, berdampak pada pasar lokal yang semakin menyempit.
Terlebih lagi, pihaknya berpendapat jika Indonesia mempunyai potensi pangan yang prospektif untuk bisa bersaing di pasar global. Ia berharap dengan dibukanya program study International Food Technology pihaknya mampu memberikan kontribusi bagi bangsa dan Negara. Selain itu, ia berkeinginan agar nantinya mahasiswa mampu membaca peluang untuk mengembangkan inovasi pangan agara bisa bersaing di pasar global.
“Saya berharap ini menjadi satu sumber packaging yang baru bagi entrepeneurship dalam membaca peluang untuk fokus pada pengembangan inovasi pangan ‘lokal’ kita,” tandasnya. [ina]

Tags: