Jakarta di Seratus Luka

Judul : Luka Cinta Jakarta
Penulis : Yudhistira ANM Massardi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Pertama, Oktober 2017
Tebal : xxviii + 292 hlm.; 13,5 x 21 cm
ISBN : 978-602-424-688-4
Peresensi : Udji Kayang Aditya Supriyanto
Peminat kajian budaya populer dan perkotaan 

Gubernur DKI Jakarta yang baru telah dilantik pada Senin, 16 Oktober 2017. Kita semua, entah pendukung dan pemilihnya atau bukan, pantas merayakan pelantikan itu. Kita berharap pelantikan itu menandai akhir kisruh Jakarta sepanjang tahun ini. Kita telah menyaksikan sendiri penyelenggaraan Pilgub terburuk sepanjang masa: isu agama dipermainkan, mobilisasi massa, salah satu calon Gubernur dijebloskan ke penjara, dan kisruh di Jakarta itu bahkan terbawa sampai ke daerah lain di seluruh Indonesia. Kisruh Jakarta lantas menjelma kisruh nasional. Sekian peristiwa yang terjadi di Jakarta sudah melukai demokrasi yang kita percayai, melukai kebinekaan yang kita rawat selama ini.
Kisruh Jakarta direspon oleh Yudhistira ANM Massardi melalui seratus puisi di Luka Cinta Jakarta (2017). Puisi pertama Yudhistira tulis pada September 2016, dan sisanya ditulis dalam rentang waktu April-Agustus 2017. Puisi-puisi Yudhistira menjadi rekaman segala peristiwa yang terjadi di Jakarta, di sekitar Pilgub yang brutal itu. Luka Cinta Jakarta juga menampilkan seratus ilustrasi garapan sepuluh ilustrator Sanggar Garajas Bulungan untuk mendampingi dan memperindah puisi-puisi Yudhistira. Seratus ilustrasi berbeda corak, lantaran setiap ilustrator bebas menampilkan gaya dan kekhasan masing-masing. Keberagaman corak ilustrasi menyuarakan kebinekaan, sebagai penguat puisi-puisi dalam Luka Cinta Jakarta.
Seratus puisi Yudhistira memakai judul Jakarta dan hanya dibedakan penomoran. Yudhistira merespon kisruh Jakarta secara jenaka, meski memendam sedih, kecewa, dan luka. Dalam Jakarta #3, Yudhistira menulis, “Apa kabar Cinta?/ Apakah kamu terjebak kemacetan?/ Jangan patah hati, lanjutkan perjalanan!” Barangkali, cinta terjebak macet yang disebabkan ribuan atau jutaan (jumlahnya terus diperdebatkan) demonstran di aksi 212. “Aku ingin Cinta menjadi udara/ Aku ingin Cinta menjadi bahasa/ Aku ingin Cinta jadi angkutan kota,” lanjut Yudhistira. Meski menyaksikan Jakarta dilukai, Cinta tetap berkenan jadi angkutan kota yang mengantarkan para demonstran itu pulang ke daerah masing-masing, daerah yang bukan Jakarta.
Yudhistira tidak berpuisi sendirian. Ia ditemani “Sayangku” yang terlibat obrolan puitis dengannya. Sayangku melempar tanya di akhir puisi Jakarta #8, “Apakah kita tak lagi bisa berjanji?” Yudhistira pun membalas, “Sayangku, berjanjilah untuk tidak terlalu cemburu/ Sebab, seperti jalan, kesetiaan tak lagi terjamin bebas hambatan!” Kita sama-sama mengerti, janji adalah kata kunci dalam kampanye politik, dan kecemburuan pada lawan politik mendorong pernyataan janji-janji yang masif. Namun, kesetiaan pada janji tak mesti bebas hambatan. Kepentingan-kepentingan yang dihadapi pemimpin Jakarta hari ini bakal menguji kesetiaannya pada janji-janji itu: batalkan reklamasi, atasi banjir, majukan pendidikan, hunian murah dengan uang muka nol rupiah, dan segala pelayanan plus-plus.
Dalam setiap puisinya, Yudhistira menyatakan Jakarta butuh cinta. “Tanpa Cinta, Jakarta hanya kota sumpah serapah,”katamu/ “Tanpa Cinta, Jakarta hanya kota sampah serakah,” tulis Yudhistira di puisi Jakarta #14. Namun, meski “cinta” adalah kata yang paling banyak dimunculkan dalam puisinya, Yudhistira justru lebih sering mengungkap luka. Hampir semua puisi Yudhistira jelmaan keluh kesah warga Jakarta akan luka yang menyayat kotanya. Jakarta masyhur sebagai kota paling mengakomodasi keragaman karena disinggahi orang-orang dari seluruh penjuru Indonesia. Melukai keragaman sama saja melukai Jakarta itu sendiri. “Ya, Sayangku. Keragaman kini tinggal “agama” tanpa “raga”, tanpa “aman”/ Merah, kuning, hijau kehilangan pelangi,” tulis Yudhistira dalam Jakarta #15.
Luka akibat kisruh Jakarta memanjang berbulan-bulan, hingga bertemu Ramadan. Dalam Jakarta #36, Yudhistira menulis, “Istiqlal kumandangkan Cinta/ Merundukkan keangkuhan/ Api Monas pancarkan emas/ Melelehkan ketamakan/ Takbir dan bedug bertalu/ Membenamkan iri-dengki.” Yudhistira tak ingin lagi mengungkit kisruh Jakarta berbulan lalu. Ia semata menyeru warga Jakarta menumbuhkan cinta, menyembuhkan luka, melalui puasa. Setelah puasa, kita merasa berhak menyambut kemenangan. Tapi, pascapuasa Yudhistira justru bertemu perang lain. Jika puasa adalah perang melawan hawa nafsu, maka perang lain selepas bulan puasa itu Yudhistira ungkap lewat Jakarta #56. “Sayangku/ Perang berikutnya adalah menjaga berat badan!/ Agar asupan makan seporsi Ramadan/ Agar lemak di badan terus berkurang.”
Akhirnya, di puisi pamungkas Jakarta #100, Yudhistira menulis, “Dari Blok M hingga Kota Tua/ Dari Jatinegara hingga Kedoya/ Dari Pasar Minggu hingga Kepulauan Seribu/ Jakarta bangun menggebu/ Kecepatan dan kemacetan terus berlomba/ Demi waktu/ Demi kemajuan penghidupan.” Kisruh Jakarta telah berlalu, luka-luka tidak lagi terasa meski tak hilang bekasnya. Namun, Jakarta harus bangun dan bergerak. Jakarta terlalu penting untuk Indonesia dan kita pantang membiarkannya terpuruk. Yudhistira mengakhiri Luka Cinta Jakarta: Ya, Sayangku/ Cahaya matahari pun berdamai dengan tirai/ Agar keluarga-keluarga bisa terjaga/ Agar masa depan berpeluk harapan/ Agar Cinta punya tenaga/ Memberi warna kepada bunga// “Ah, semua luka di Kota Jakarta/ Akan bertemu dengan kenanga!”

——- *** ——–

Rate this article!
Jakarta di Seratus Luka,5 / 5 ( 1votes )
Tags: