Jatim Bertarung di MEA 2015

iki bosOleh :
Nakkok  Aruan
Peneliti Lembaga Pengkajian Kebijakan Publik (LPKP) KORPRI Jatim

KTT ASEAN ke-19 di Bali tahun 2011 telah menyepakati ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015. Konsep MEA merupakan satu sistem ekonomi yang terintegrasi di dalam kawasan itu dengan tujuan agar lebih maju dan efisien dan beberapa kebijakan seperti penerapan pasar tunggal dan berbasis produksi regional, kawasan berdaya saing tinggi, kawasan dengan pertumbuhan ekonomi merata, dan terintegrasi dengan perekonomian dunia.
Secara operasional, MEA 2015 merupakan sebuah pertarungan terbuka dan persaingan dengan semua negara anggota ASEAN. Khusus di sektor perekonomian, pertarungan terbuka itu meliputi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga terampil dan arus modal yang lebih bebas. Dalam konteks MEA 2015, secara tepat Pakde Karwo menyebutnya: “Economic is a war!” ketika me-launching Hari Jadi Provinsi Jawa Timur ke-69 sekaligus membuka Pekan Olahraga dan Seni Daerah (Porsenida) KORPRI tahun 2014, Jumat (3/10).
Sebagaimana layak perang, paradigmanya zero sum game, saling mengalahkan. Untuk menghadapi perang ini, paradigma business as usual atau economic as usual tentu tidak berlaku. Tanpa strategi khusus, dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta (16% di antaranya di Jatim) atau sekitar 40% dari total seluruh penduduk negara anggota ASEAN serta konsumsi masyarakat yang besar dan jumlah penduduk kelas menengah yang terus naik, kita merupakan pasar potensial bagi negara-negara pesaing. Genderang perang sudah ditabuh Pakde Karwo, karena tidak ingin Jatim hanya jadi pasar MEA tapi harus menjadi pemenang. Masalahnya, apakah pasukan, peralatan/teknologi, dan logistik serta strategi perang yang khusus sudah siap?
Peluang dan Tantangan
Menurut BPS (2011), perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN masih menunjukkan kinerja yang positif dengan adanya surplus perdagangan antara nilai ekspor dan impor. Pada tahun 2010 neraca perdagangan Indonesia ke ASEAN mengalami surplus sebesar US$ 3,6 miliar, dengan rincian nilai ekspor sebesar US$ 25, miliar dan nilai impor sebesar US$ 22,0 miliar. Kinerja perdagangan ini sendiri terus menunjukkan tren yang membaik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 dan 2006 Indonesia masih mengalami defisit ke ASEAN, tahun 2007 dan 2008 mengalami surplus namun masih di bawah US$ 900 juta, dan baru tahun 2009 surplus mencapai US$ 2,9 miliar.
Oleh sebab itu bagi pihak yang optimis, diterapkannya MEA 2015 akan membuka peluang bagi Indonesia (dan Jatim) untuk meningkatkan pangsa pasarnya di kawasan ASEAN, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi dan stabil (pertumbuhan ekonomi Jatim di atas rata-rata nasional), serta didukung oleh sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah menjadikan Indonesia sebagai daya tarik tersendiri bagi investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Apalagi dalam beberapa aspek terdapat perbaikan iklim investasi, seperti biaya perizinan yang makin murah, jumlah prosedur yang terus berkurang, dan waktu pengurusan yang makin cepat.
Namun, perbaikan iklim investasi itu masih kalah ketimbang negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam sehingga iklim investasi dan daya saing Indonesia masih tertinggal di bawah. Misalnya, biaya memulai bisnis di Indonesia masih sebesar 26% dari pendapatan per kapita, sedangkan Singapura dan Malaysia sudah mencapai 0,7% dan 11,9%. Dalam hal lama pengurusan izin usaha, Indonesia hanya lebih cepat dari Filipina dan Laos pada level ASEAN (Bank Dunia, 2010). Berdasarkan Indeks Daya Saing Global 2010, tingkat daya saing Indonesia hanya berada di posisi 75 jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam (posisi 53) yang baru merdeka dan baru bergabung ke dalam ASEAN.
Karenanya sejumlah kalangan justru agak pesimis Indonesia dapat bersaing dalam MEA 2015. Menteri Perindustrian MS Hidayat misalnya, tidak percaya diri mengingat begitu banyak hambatan yang menghadang. Ia mencontohkan di bidang industri nasional biaya logistik yang harus ditanggung pelaku industri (karena kurangnya infrastruktur) rata-rata 16% padahal normalnya hanya 9-10%. Sementara Ketua KADIN Indonesia Suryo Bambang Sulistio juga meragukan kesiapan Indonesia, karena pemerintah maupun dunia usaha belum terlihat berupaya mengintegrasikan program untuk persiapan ke arah itu (www.kemenperin.go.id).
Secara spesifik Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Franky Sibarani mengatakan, industri kecil dan menengah (IKM) makanan dan minuman lokal tidak bisa bersaing dengan produk asing negara-negara anggota ASEAN yang tingkat daya saingnya lebih tinggi. Selama ini proses maupun kualitas produksi masih menjadi masalah utama, sehingga produk-produk makanan dan minuman lokal belum dapat memenuhi standard dan kualitas internasional. Padahal menurut data BPS jumlah pelaku IKM makanan dan minuman yang penyerapan tenaga kerjanya besar jumlahnya mencapai 1,2 juta pelaku.
Sejumlah praktisi ekonomi menyatakan bahwa, Indonesia sejatinya belum siap menghadapi MEA 2015, terkait adanya berbagai kendala seperti rendahnya kesiapan sejumlah emiten yang rendah akibat tingginya suku bunga dan biaya logistik, terbatasnya akses finansial dimana alokasi kredit sektor perbankan belum berpihak kepada sektor riil (industri dan pertanian), masalah energy cost yang relatif tidak bersaing, permasalahan infrastruktur, lemahnya jaringan bisnis, serta kompetensi SDM yang masih belum maksimal. Berbagai kendala tersebut bermuara pada belum adanya kebijakan terpadu untuk menciptakan daya saing ekonomi (http://leuserantara.com).
Peran Birokrasi
Dalam menghadapi MEA 2015, peningkatan daya saing merupakan keniscayaan untuk dapat memenangkan pertarungan. Tanpa peningkatan daya saing produsen lokal, produk-produk lokal akan kalah bersaing. Alih-alih untuk meningkatkan dan mengembangkan produk untuk diekspor, bersaing dalam pasar lokal dan dosmestik pun bakal mengalami kesulitan. Sebab produk-produk negara pesaing yang berkualitas dan murah akan membanjiri pasar lokal dan domestik. Kita pun tidak lagi dapat memaksa masyarakat sebagai konsumen dengan romantisme seperti dalam iklan untuk memakai dan mencintai produk-produk lokal dan domestik, sebab masyarakat sudah semakin kritis dan memiliki preferensi.
Pesimisme sejumlah pihak terhadap kesiapan menghadapi MEA 2015 juga tidak perlu direspons secara berlebihan, sebab mereka bukan tanpa alasan dan fakta. Dalam konteks Jatim misalnya, harus diakui bahwa pemahaman pemangku kebijakan (Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota) terhadap MEA 2015 masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari belum terintegrasinya kebijakan antar Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, maupun antar SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) baik di lingkungan pemerintah provinsi maupun di lingkungan pemerintah dan kabupaten/kota dalam menghadapi MEA 2015.
Pada tingkat provinsi, belum terlihat program-program atau kegiatan SKPD tahun anggaran 2015 yang sedang dibahas saat ini yang secara operasional diarahkan untuk menghadapi MEA 2015. Program-program atau kegiatan yang direncanakan masih sekadar business us usually. Padahal dengan memanfaatkan otonomi daerah, mestinya di Jatim sudah dikembangkan kebijakan-kebijakan terpadu yang inovatif, kreatif, dan integrasi kebijakan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang membuka ruang bagi peningkatan daya saing produsen lokal.
Meski agak terlambat, pilihan yang harus diambil oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama-sama dengan pemerintah kabupaten/kota adalah segera menetapkan “strategi perang” dalam bentuk kebijakan-kebijakan terpadu guna menciptakan iklim usaha yang meningkatkan daya saing produsen lokal untuk mau dan mampu bersaing, baik di pasar lokal dan domestik maupun pasar global. Kebijakan-kebijakan terpadu dimaksud, diarahkan untuk mengatasi berbagai kendala yang disebutkan di atas.

                                                    —————————- *** —————————-

Rate this article!
Tags: