Kalkulasi Ulang Peningkatan Upah

(Keberpihakan Kepala Daerah Untuk Kesejahteraan Buruh) 

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik 

Kenaikan UMP (Upah Minimum Propinsi) tahun 2019 akan naik 8,03%, tapi masih akan selalu menuai perdebatan. Kalangan buruh meng-anggapnya kurang. Sedangkan kalangan pengusaha (dalam asosiasi Apindo) meng-anggapnya cukup berat dilaksanakan. Walau realitanya, tiada perusahaan yang bangkrut karena memenuhi peraturan tentang upah minimum buruh. Bahkan sebagian perusahaan berani menambah upah sesuai sektoral.
Perusahaan yang becus mengelola perusahaan, niscaya enteng saja memenuhi peraturan pengupahan. Sedangkan perusahaan “nakal” akan selalu dihantui perhitungan pengeluaran non-budgeter. Termasuk ongkos suap pejabat sipil maupun militer, sampai penegak hukum. Diantaranya, menyuap agar bisa membayar upah buruh dengan standar murah. Serta tidak menunaikan hak-hak jaminan kesejahteraan pekerja. Juga agar bisa menyimpangi Nomor 13 tahun 2003 tentang Ke-tenaga kerja-an.
Seluruh pengeluaran biasa pula dimasukkan dalam ongkos produksi. Sehingga perusahaan “nakal” selalu menghasilkan produk (barang dan jasa) murahan tetapi dijual dengan harga mahal. Suap, terutama untuk perizinan diversifikasi usaha dan investasi. Suap, niscaya menggerus “jatah” upah buruh. Karena besarnya suap (dan pungutan liar) bisa mencapai 19% hingga 24% dari harga pokok produksi. Sedangkan upah buruh hanya bernilai 9% hingga 12% dari harga pokok produksi.
Maka, andai pungli bisa dihentikan, maka pengusaha akan mampu menggaji buruh dua kali lipat pagu UMK (Upah Minimum Kabupaten dan Kota). Karena itu di berbagai negara maju, standar UMK dan UMSK (Upah Minimum Sektoral Kabupaten dan Kota) menjadi simbol clean government. Beberapa Gubernur di Indonesia juga berani mem-pagu prosentase kenaikan UMP lebih besar dibanding penetapan nasional. Hal itu pernah dilakukan pada tahun (2018) lalu, oleh Gubernur NTB (Nusa Tenggara Barat), Papua.
Gubernur NTB mem-pagu kenaikan UMP sebesar 11,88%. Pagu UMP lebih besar 3,16% dibanding standar nasional (8,71%). Begitu pula gubernur Papua, berani menambah 1,43%, kenaikan UMP menjadi 10,14%. Namun sebenarnya, pagu kenaikan UMP oleh Kementerian Tenaga Kerja, merupakan ancar-ancar minimal. Sehingga setiap daerah bisa memberi lebih, melalui berbagai kemudahan izin usaha, agar pengusaha bisa memberi upah lebih layak.
Presiden Jokowi, juga meng-instruksikan kemudahan perizinan usaha. Khususnya transparansi pengurusan perizinan investasi yang bersifat padat karya. Serta yang utama, memberantas berbagai pungutan liar (pungli). Sudah banyak daerah sampai “jemput bola” dan meng-gratis-kan perizinan usaha mikro dan kecil. Bahkan memberi fasilitas kredit murah untuk UMKM. Beberapa Kementerian, juga sudah memulai perizinan (dan urusan birokrasi lainnya) secara on-line.
Upah Simbol Transparansi
Pada ujungnya, transparansi perizinan (tanpa suap, tanpa pungli) akan menjadi faktor kompetitif investasi. Sedangkan iklim investasi yang “nyaman” akan menjadi penggerak perekonomian nasional dan daerah. Pemerintah diuntungkan dengan semakin besarnya pajak dan berbagai retribusi. Dengan itu birokrasi aparatur sipil negara (ASN) akan menerima remunerasi, penghasilan bertambah besar (dan halal)! Pada sisi lain, kalangan buruh bisa memperoleh upah lebih layak.
Upah buruh yang layak, nampak pada perusahaan swasta nasional dan multi-nasional. Menandakan manajemen perusahaan telah becus mengurus perusahaan. Sedangkan perusahaan nakal, selalu berupaya menyimpangi peraturan. Diantaranya penggunaan tenaga kerja berstatus outsourcing (alih-daya). Ribuan buruh diupah rendah, tanpa jaminan kesejahteraan. Juga bisa mem-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) buruh setiap saat tanpa pesangon.
Begitu pula remunerasi ASN, menjadi pertanda becus-nya pemerintahan daerah mengelola APBD. Daerah (propinsi, serta kabupaten dan kota) yang tidak memiliki program remunerasi, bisa dipastikan tidak becus mengelola potensi daerah. Berdasarkan catatan, Bupati dan Walikota yang terjaring OTT KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) semuanya tidak memiliki remunerasi yang memadai. Serta upah buruh-nya juga tergolong rendah, tidak sesuai pertumbuhan ekonomi daerah.
Upah buruh yang layak, sesungguhnya melekat sebagai hak asasi manusia. Konstitusi meng-adopsinya secara tekstual sebagai norma (wajib) kenegaraan. Tercantum dalam UUD Bab X-A, kelompok hak asasi manusia. UUD pasal 28D ayat (2), mengamanatkan: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Maknanya, dilarang memberi upah murah.
ASN, dan buruh sejahtera (karena remunerasi dan upah yang layak) menjadi pertanda negara maju (dan kuat), sudah menjadi aksioma di seluruh dunia. Tak terkecuali di kawasan Asia Tenggara. Sudah diberlakukan di Singapura, Thailand, dan Malaysia. Sehingga tiada demo buruh memprotes upah. Indonesia juga menuju jaminan kesejahteraan buruh yang lebih baik, karena memiliki konstitusi (UUD) dan regulasi (UU). Pada masa kini, seharusnya tidak ada lagi rezim upah buruh murah.
Hitung Ulang Upah
Diperlukan kejujuran dan keberpihakan pemerintah (terutama Kepala Daerah). Tetapi hingga kini, terasa buruh “men-subsidi” pengusaha dengan standar upah murah. Modusnya, salah tafsir kalkulasi kenaikan upah. Diantaranya kesalahan sistemik memahami PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Secara khusus pasal 44 ayat (1), dan ayat (2) mengatur peningkatan UMP, dengan penambahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Di dalamnya terdapat frasa kata “penambahan” nominal upah yang disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Frasa kata “penambahan” nominal upah, seharusnya tidak dipahami sebagai pertambahan nilai inflasi dengan pertumbuhan. Melainkan harus dipahami sebagai “peningkatan” dari UMK dan UMP lama. Sedangkan nominal “peningkatan” seharusnya diperoleh dari perkalian inflasi dengan pertumbuhan ekonomi. Misalnya, laju inflasi 2,88 kali 5,15, menjadi 14,83. Sehingga upah buruh tahun 2019 naik sebesar 14,83 dibanding upah tahun 2018.
Maka wajar selalu terjadi demo menuntut kenaikan upah lebih layak. Karena peningkatan UMP, dihitung secara salah. Sehingga kenaikan upah tidak menjamin kesejahteraan buruh. Lebih lagi, masih harus berhadapan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun berjalan. Sedangkan kenaikan UMP ditentukan berdasar standar tahun yang telah lewat.
Buruh selalu tekor, sambil menjalani kehidupan dengan rasa was-was. Berharap tidak terjadi administrated price, tidak ada kenaikan harga BBM, tidak ada kenaikan tarif dasar listrik. Serta tidak ada kenaikan secara “siluman” harga pulsa telepon seluler. Belanja pulsa telah menjadi kebutuhan sekunder paling besar, melebihi kebutuhan sandang. Belanja pulsa pada daerah ber-UMK rendah bisa mencapai 3% penghasilan buruh.
PP Nomor 78 tahun 2015, merupakan pengejawentahan pasal 97 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan UU Ketanagakerjaan, pola perburuhan nasional wajib berasas kemitraan. Mustahil usaha (industri maupun perdagangan) bisa terselenggara tanpa buruh. Sehingga buruh, biasa digolongkan sebagai “aset” perusahaan. Buktinya, pada saat IPO (pendaftaran memasuki bursa saham), jumlah pekerja mempengaruhi “martabat” perusahaan.
Bahkan jumlah besar buruh suatu perusahaan, bisa menjadi meningkatkan bargainning (posisi tawar) perusahaan terhadap pemerintah. Perusahaan dianggap berjasa kepada negara dan pemerintah, dianggap membantu mengurangi pengangguran. Dus, perusahaan bisa memperoleh beberapa fasilitas. Termasuk kemudahan ekspor, impor, dan insentif (pemotongan) pajak. Juga kemudahan (perizinan) memperluas cakupan investasi pada sektor lain.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: