Kapolres Malang Bantah Ada Permainan Kasus

AKBP Yade Setiawan Ujung

Kab Malang, Bhirawa
Maraknya makelar kasus (markus) di Kabupaten Malang yang mengaku bisa membebaskan kepala desa (kades) dari jerat hukum terkait dugaan penyelewengan Anggaran Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) mendapatkan respon dari Kapolres Malang AKBP Yade Setiawan Ujung.
“Polres Malang tidak pernah membuka komunikasi untuk penyelesaian sebuah kasus apapun bentuknya. Apalagi kasus yang berkaitan dengan adanya dugaan pungutan liar (pungli) atau korupsi. Sehingga jika ada kasus tersebut, maka tidak ada ampun bagi pelaku korupsi,” tegas Kapolres Malang AKBP Yade Setiawan Ujung, Senin (17/4) kemarin.
Pada prinsipnya, kata Yade, penyelesaian kasus di Kepolisian hanya dua, yakni dikeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) jika tidak ada bukti, atau dilanjutkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari), serta berkasnya langsung diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) jika Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap (P21). Namun, jika seseorang dalam penyidikan dan disertai barang bukti lengkap dan saksi-saksi, lalu mengarah pada tindak pidana maka yang bersangkutan bisa langsung dijadikan tersangka.
“Dalam proses hukum di Kepolisian apapun kasusnya tidak ada uang jasa, sehingga jika ada pihak yang mengaku-ngaku bisa memediasi, saya pastikan hal itu bohong. Dan jika ada masyarakat Kabupaten Malang yang merasa tertipu segera untuk melaporkan ke Polisi, selanjutnya akan kita tidak tegas,” paparnya.
Ia juga menegaskan, jika ada anggotanya yang bermain-main dalam kasus korupsi, selanjutnya tidak dilakukan proses hukum, tentunya akan ditindak tegas.
Di tempat terpisah, salah satu kepala desa di wilayah Kabupaten Malang, yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, jika dirinya merasa tidak nyaman dalam menjalankan tugas sebagai kepala desa. Sebab, selama dalam mengelola anggaran untuk pembangunan desa yang bersumber dari ADD dan DD selalu dihantui dengan kesalahan ketika menggunakan anggaran tersebut. Bahkan, dirinya pernah melakukan perencanaan pembangunan gorong-gorong, tapi terlambat dalam membangunnya.
Yang seharusnya, lanjut dia, dikerjakan di bulan Desember 2016, namun dikerjakan di bulan Maret 2017. Karena memang saat itu pihaknya harus memprioritaskan pembangunan di dusun yang lainnya. “Dengan adanya kesalahan itu, maka saya didatangi seseorang yang mengaku bisa memediasi ke Kejaksaan dan Kepolisian, agar kasus itu tidak sampai pada tahapan proses hukum,” paparnya.
Karena takut, maka dirinya  menuruti perintah orang tersebut, yang basisnya sebagai dosen Fakultas Hukum disalah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Kota Malang, dan akhirnya  dimintai uang sebesar Rp 50 juta dengan alasan untuk mengondisikan orang Kejaksaan. Dan tidak hanya itu, dia pun juga meminta uang kembali sebesar Rp 80 juta, dengan alasan agar perangkat desa yang lainnya tidak dilakukan proses hukum.
“Dan tidak hanya itu, dokumen Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) hingga sekarang belum dikembalikan. Padahal, jika uang yang diminta itu lunas, maka dokumen LPJ dikembalikan. Namun ketika  saya meminta dokumen LPJ tersebut dia berasalan masih dibawa oleh orang Kejari Kepanjen,” jelasnya. [cyn]

Tags: