Kejahatan Asap dan Pendidikan Ecoliteracy

M. RidlwanOleh :
M. Ridlwan
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya

Beberapa bulan ini publik dibuat geram dan simpati oleh kejahatan asap di Pekanbaru dan sekitarnya. Geram atas ulah tangan pihak yang tidak bertanggungjawab dan simpati atas nasib masyarakat yang terimbas bahaya asap. Kata kejahatan sengaja dipilih dan tidak menggunakan kata “bencana” untuk menegaskan bahwa apa yang terjadi disana bukan merupakan bencana alam, akan tetapi ini murni ulah tangan manusia. Angka statistik menunjukkan bahwa sekitar 2.089.911 hektare hutan yang dibakar tahun ini, 43 juta rakyat Indonesia di Sumatra dan Kalimantan yang tersiksa oleh asap, 500 ribu mengidap berbagai penyakit akibat asap, 19 jiwa yang sudah melayang. Hal tersebut merupakan kejadian yang mengerikan. Kalau sudah begitu, siapa yang bertanggungjawab? Dalam konteks pemerintahan, adanya Peraturan Gubernur (Pergub) No 11/2014 yang memberi izin sampai tingkat pemerintahan desa untuk membakar hutan bagi kepentingan pembudidayaan lahan. Biasa jadi hal tersebut menjadi salah satu sebab kejahatan pembakaran hutan secara besar-besaran. Apa yang terjadi atas hutan yang ada di Indonesia merupakan ketimpangan dari modernitas. Dalam perjalanannya teryata modernitas banyak menghasikan paradoks yang luar biasa mengancam keberlangsungan hidup manusia.
Urgensi Ecoliteracy
Eksploitasi atas sumberdaya alam, limbah pabrik baik cair maupun asap yang banyak dihasilkan pabrik-pabrik dan berdirinya bangunan-bangunan yang mengalpakan efek lingkungan harus diakui merupakan efek dari modernitas yang membawa manusia berfikir antroposentrisme. Antroposentrisme merupakan cara pandang manusia yang mendasarkan diri pada kepentingan-kepentingan individu yang menegasikan cara berfikir utuh dengan mempertimbangkan keberlangsungan bumi. Berbagai macam kasus lingkungan yang terjadi dewasa ini baik dalam skala nasional maupun global sebagian besar merupakan ulah tangan manusia. Kejahatan asap yang baru saja terjadi harus menjadikan semua element bangsa terutama pemerintah siuman dari tidur panjang atas kejahatan lingkungan. Indonesia hari sedang menghadapi masalah-masalah seperti kebakaran hutan, pencurian kayu, kerusakan terumbu karang, pencemaran pesisir, pencemaran sungai, pencemaran udara, penebangan liar, penyelundupan kayu, dan perdagangan satwa liar yang kesemuanya merupakan dampak yang harus dibayar sangat mahal. Tentunya beberapa tabiat diatas dampaknya tidak seperti dampak korupsi, pembunuhan dan hal lain yang sejenis  yang efeknya bisa dikatakan di lokalitas tertentu akan tetapi efek dari apa yang terjadi diatas adalah berskala global yang secara otomatis mengancam keberlangsungan hidup umat manusia di bumi ini.
Fritjof Capra melalui ecoliteracy berupaya menekankan pentingnya pemahaman masyarakat akan adanya ekologi global yang harus dijaga keberlangsungannya.  Selain itu kesadaran akan masa depan planet bumi dengan memadukan prinsip-prinsip ekologis dipakai sebagai sistem dan jaringan untuk menyimak kehidupan bumi. Dengan kata lain nature of wisdom atau kebijaksanaan alam pun menjadi esensi. Konsep tersebut berupaya memperbarui pemahaman masyarakat akan pentingnya kesadaran ekologis global, guna menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya. Dengan tingkat kesadaran ekologis yang tinggi, segala kebijakan yang dibuat baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah harus mengarah pada design kehidupan dengan corak ekologis yang kental. Membangun kesaradan adalah usaha sadar yang berkelanjutan guna menciptakan manusia-manusia dengan tingkat “melek ekologis” yang tinggi. Dari rahim pendidikan diharapkan lahir manusia dengan kesadaran lingkungan yang utuh bukan lahir para predator-predator perusak lingkungan.
Pendidikan Kita
Hari ini sekolah-sekolah kita berbondong berebut menyandang gelar sekolah unggulan. Gedung-gedung yang menjulang, fasilitas yang memadai dan teknologi tinggi yang menjadi andalan seolah sudah menjadi hal yang wajar di banyak sekolah. Sebagai institusi moral, sekolah bertanggungjawab atas persoalan-persoalan lingkungan yang mengancam bumi ini. Selain itu, aspek substantif yang perlu dikembangkan adalah orientasi kurikulum harus berbasis ecoliteracy. Kesadaran akan akibat yang muncul dari alam apabila sikap eksploitatif hadir merupakan orientasi dari kurrikulum berbasis ecoliteracy dan menjadikan alam sebagai guru (nature is teacher) dengan harapan ada kesadaran yang terintegrasi yang harmonis dengan alam. Orientasi pendidikan kita harus mengalami revitalisasi dengan melakukan langkah koretif terhadap instrument-instrument pendidikan, seperti bangunan gedung, ruang-ruang kelas, kurrikulum dan hal-hal lain yang akan menjauhkan anak didik dari alam. Salah satu contohnya adalah bangunan-bangunan sekolah sudah saatnya menghadirkan nuasa alam di tengah proses pembelajaran seperti adanya taman (garden) bukan pekarangan di sekolah yang sekaligus sebagai laboratorium dalam pembelajaran. Hal tersebut dilakukan dalam rangka agar peserta didik secara keseharian bersahabat dan terbiasa hidup dengan alam. Disana mereka dididik bagaimana menghargai tumbuhan, binatang dan alam, bukan mengetauhi itu semua dengan termediasi oleh gambar ataupun akses internet.
Kejahatan asap yang terjadi merupakan penanda penting bahwa prilaku memunggungi alam dan ekploitatif memang ada. Prilaku tersebut dilakukan oleh predator yang bisa jadi lahir dari rahim pendidikan Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, maka pendidikan kita perlu menguatkan kembali rasa cinta kasih terhadap alam. Sejak dini orang-orang Indonesia terdidik harus sadar bahwa manusia, tumbuhan, binatang dan mahluk lain merupakan satu kesatuan yang harus dijaga. Pendidikan harus menanamkan sikap bijak setiap kali berinteraksi dengan gunung, sungai, laut, hutan dan sebagainya sehingga keseimbangan ciptaaan (equlibrio ecologico) tercipta. Hal tersebut perlu dilakukan agar kelak peserta didik mampu menjadi pemimpin bangsa yang tidak korup atas alam, pengusaha yang paham betul bahwa tidak selamanya keuntungan itu harus mengorbankan alam dan tidak pula menjadi akdemisi yang melacurkan ilmunya untuk melegitimasi prilaku ekploitatif.

                                                                                                            ————– *** ————–

Tags: