Kekeringan dan Karhutla

Siapa tak miris, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), mulai menuju permukiman. Puncak musim kemarau juga menunjukkan dampak berupa areal ladang merekah karena saluran air mengering. Beberapa waduk dan embung turut mengering. Bahkan sumur di permukiman tidak berisi air. Walau merupakan siklus rutin, namun musim kemarau terasa semakin menimbulkan dampak. Disebabkan daya dukung lingkungan makin menyusut.
Korban jiwa akibat karhutla telah terjadi di Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Karena karhutla mulai merambat pada areal kebun milik masyarakat. Di Jawa Timur, hot-spot (titik api) melalap raturan hektar lahan di gunung Lawu (di Ponorogo), dan gunung Wilis (di Madiun). Api juga nampak terang di kawasan gunung Kumitir di Bondowoso. Diperlukan kesiagaan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) propinsi, serta kabupaten dan kota.
Monyet di hutan perbatasan Situbondo dengan Banyuwangi, sudah mulai turun ke jalan. Itu pertanda kawasan hutan di Wongsorejo, telah kehabisan air. Sumber air sudah mengering. Padahal musim kemarau yang kering diperkirakan masih akan berlangsung sampai akhir Oktober. Presiden Jokowi telah menginstruksika suplai air bersih pada kawasan terdampak. Namun diperlukan cara lebih sistemik menanggulangi karhutla, dan kekeringan.
Karhutla, diduga menjadi insiden “yang di-ingin-kan.” Tujuannya, kawasan hutan di-alih fungsi-kan menjadi ladang berkebun. Padahal, hutan yang gundul akan menjadi ancaman lingkungan, berupa bencana banjir dan tanah longsor. Berdasar kalkulasi lingkungan, kawasan terdampak kekeringan hampir selalu identik dengan kawasan rawan longsor. Penyebabnya, catchment area (resapan dan tangkapan air hujan) telah gundul, tiada berpohon.
Pada musim hujan, air tercurah bebas dari dataran tinggi, menyebabkan banjir dan longsor. Sedangkan pada musim kemarau, menyebabkan kekeringan parah, tanah tampak merekah. Di Jawa Timur, hampir dua pertiga pedesaan rawan terdampak kekeringan. Terutama daerah “langganan” kekeringan (wilayah tapal kuda, Pasuruan sampai Banyuwangi dan Madura). Sekedar untuk konsumsi saja (memasak dan minum) harus berjalan hingga beberapa kilometer.
Begitu pula wilayah selatan Jawa Timur, mulai dari kawasan Muncar (Banyuwangi) sampai pantai Klayar (di Pacitan) akan mengalami kemarau kering lebih panjang. Terdapat 24 kabupaten dan kota terdampak kekeringan. Pengalaman semusim lalu, dampak kekeringan domestik cukup parah. Melanda 541 desa. Jumlah sawah yang terdampak seluas 33 ribu hektar lebih, sepertiganya sawah ber-irigasi teknis. Yang benar-benar puso, tidak panen seluas 564 hektar.
Ketersediaan air di Jawa Timur, tergolong minimalis, hanya sebanyak 19,3 milyar meter-kubik. Sedangkan kebutuhan air mencapai 22,2 milyar meter-kubik. Sehingga defisit (kekurangan) sebanyak 2,9 milyar meter-kubik (sekitar 13%). Begitu pula volume tampungan air (antaralain berupa embung, dan waduk) hanya sebesar 0,80 juta meter-kubik, yang digunakan untuk sekitar 934 ribu hektar sawah irigasi. Pada musim kemarau, ketersediaan air makin menyusut. harus dilakukan gilir aliran.
Musim kemarau, bukan hanya mempersulit penyediaan air untuk sanitasi dan konsumsi. Melainkan juga berimplikasi pada kehidupan hewan. Penyakit pada hewan ternak (misalnya cacing hati, serta penyakit pada kuku dan mulut) biasanya juga sering berjangkit pada musim kemarau. Disebabkan faktor kekurangan makanan, yang dioplos dengan dedaunan atau pakan lain seadanya. Dampak sertaan ini dapat mengancam perekonomian tingkat grass-root.
Kesiapan BPBD mengantisipasi kekeringan, seyogianya dikoordinasi pula dengan Dinas terkait (Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas PU, dan Dinas Kesehatan). Toh setiap OPD memiliki program aksi ke-bencana-an. Penanggulangan dampak bencana karhutla dan kekeringan, tak cukup hanya mensuplai kebutuhan air bersih. Namun harus lebih sistemik, terutama memperbaiki hutan sebagai resapan air.

——— 000 ———

Rate this article!
Kekeringan dan Karhutla,5 / 5 ( 1votes )
Tags: