Kelautan dan UU Pemerintah Daerah

Muhammad Aufal FreskyOleh:
Muh. Aufal Fresky
Ketua Komunitas Airlangga Menulis/ Aktivis HmI Komisariat Ekonomi Airlangga)

Semenjak diberlakukannya desentralisasi daerah, banyak dinamika yang dialami oleh pemerintah daerah se Indonesia. Terutama di kabupaten/ kota. Berlakunya desentralisasi daerah menandakan bahwa daerah memiliki kewenangan dan otoritas untuk mengatur dan mengelola daerahnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah daerah bisa memberikan pelayanan terbaiknya melalui pengelolaan daerah secara otonom tanpa campur pemerintah pusat. Mulai dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan lain sebagainya. Berbicara mengenai SDA, salah satu SDA yang dimiliki oleh pemerintah daerah yaitu sumber daya kelautan. Terutama kabupaten/ kota yang berada di daerah pesisir. Otomtis, mereka memiiki sumber daya kelautan yang cukup berlimpah. Catatan ini pada dasarnya menjelaskan bagaimana seharusnya sinergi antara pemerintah provensi dan kabupaten/ kota dalam mengelola sumber daya kelautan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Selanjutnya, konsekuensi adanya desentralisasi adalah setiap pemerintah kabupaten/ kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya kelautan yang ada. Otoritas yang dimiliki pemerintah daerah tersebut juga harus memiliki landasan yang kuat. Artinya pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di daerah mesti mempunyai payung hukum. Salah satu peraturan yang melandasi desentralisasi pengelolaan kelautan dan perikanan di daerah yaitu UU Perikanan. Lebih tepatnya lagi yaitu UU No 22/1999 yang menjadi dasar UU No 27/ 2007 dan UU No 31/2004 yang lebih desentralistis. Oleh sebab itu, kabupaten/ kota berperan penting dalam pengelolaan laut, baik dalam perencanaan pesisir (strategi, zonasi, pengelolaan), konservasi, rehabilitasi, reklamasi, pengelolaan perikanan, perizinan usaha perikanan, pemberdayaan masyrakat pesisir, penyuluhan perikanan maupun pengawasan.
Seiring berjalannya waktu, peraturan perundang-undangan juga senantiasa berganti. Perkembangan terbarunya yaitu pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang intinya adalah mengatur perluasan kewenangan provinsi atas wilayah kelautan. Jadi peraturan yang terbaru tersebut jika boleh ditafsirkan akan secara otomatis mengurangi kewenagan pemerintah kabupaten/ kota atas wilayah lautnya. Lantas bagaimana dampaknya terhadap desentralisasi ? Apakah hal tersebut menyebabkan justru akan menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumber daya kelautan kita ?
Selama 15 tahun desentralisasi, sebenarnya masyrakat bisa menilai atas perkembangan yang ada. Kita tahu bahwa desentralisasi di kabupaten/ kota menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab atas wilayah pesisir dan lautnya. Selain itu, pemerintah kabupaten/ kota bisa meningkatkan pendapatan daerahnya melalui pengelolaan sumber daya kelautan yang ada. Sehingga pemerintah kabupaten/ kota melalui desentralisasi bisa juga menaikkan jumlah APBD dikarenakan pemasukan di sektor perikanan dan kelautan.
Pelimpahan wewenang penuh kepada pemerintah daerah dalam mengelola kelautan juga memiliki kelemahan. Mengutip tulisan Arif Satria dalam Kompas (5 Januari 2015), beliau mengungkapkan bahwa kelemahannya tersebut yaitu; pertama, keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan pesisir ataupun perikanan.. Banyak daerah yang yang tak mampu mengontrol pesisirnya sehingga pertambangan illegal di pesisir dan pengeboman ikan masih marak. Kedua, koordinasi di tingkat provinsi kurang efektif karena daerah merasa memiliki posisi yang sama kuat. Padahal, sumber daya perikanan bersifat lintas wilayah administratif yang butuh koordinasi pengelolaan. Ketiga, kebijakan yang kontrarproduktif atas upaya keberlanjutan juga muncul, seperti praktik pemberian izin atas kapal yang memanipulasi data ukuran kapal serta izin atas alat tangkap perusak lingkungan. Keempat, rentan atas dinamika politik lokal. Basis kompetensi seseorang dalam pengangkatan kepala dinas perikanan kurang diperhatikan dan kalah oleh pertimbangan politik.
Berdasarkan catatan di atas, penulis menganalisis bahwa sejatinya adanya regulasi atau perundang-undangan semestinya mengatur lebih jelas pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ Kota. Keduanya mesti memiliki hubungan yang harmonis. Karena tujuan dari pengeloaan itu sebenarnya adalah untuk menjadikan rakyat lebih makmur dan sejahtera. Jangan sampai dinamika perubahan perundang-undangan menjadikan ketidakjelasan pola komunikasi dan koordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.  Pun demikian dengan UU yang mengatur hal itu juga mesti dikoreksi dan dievaluasi lebih lanjut. Bisa dimungkinkan ada tumpang tindih aturan yang menyebabkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan pengelolaan kelautan dan perikanan. Selain itu, pemerintah provinsi harus senantiasa meningkatkan dan mengembangkan kapasitasnya agar kewenangannya berjalan secara efektif. Jangan sampai semua berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak ada alur yang menyatukan.
Jika kita menelusuri lebih lanjut, idealnya pemerintah kabupaten/ kota memiliki pola koordinasi yang baik dengan pemerintah provinsi. Terutama terkait bagaimana memanfaatkan dan mengembangkan potensi kelautan perikanan yang ada. Selain itu, perlu kiranya pemerintah pusat menyusun desain baru desentralisasi pengelolaan kelautan dan perikanan sebagai tafsir atas UU No 23/2004 dengan tetap mempertimbangkan infrastruktur kelembagaan di kabupaten/ kota. Tentunya juga melibatkan peran dan kontrol dari pemerintah provinsi. Akhirnya saya berharap semoga pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota meningkatkan kerjasamnaya untuk memberikan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat. Khususnya di bidang kelautan dan perikanan.

                                                                                                            ————– *** ————–

Rate this article!
Tags: