Kemana Pendidikan Mitigasi Bencana?

Oleh :
Yogyantoro
Penulis adalah Pendidik. Tinggal di Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur.

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki letak geografis di garis khatulistiwa dan dikelilingi laut. Sebetulnya hal ini memberi keuntungan dibandingkan dengan beberapa negara lain seperti Hongkong dan Filipina yang lebih sering mengalami bencana badai dan angin topan. Namun kita perlu menyadari bahwa hujan di Indonesia memiliki intensitas yang tinggi. Hujan deras pada musim penghujan menjadi bagian dari siklus cuaca kita. Selain itu Indonesia juga mempunyai siklus sekitar 5 (lima) tahunan yaitu La Nina saat musim hujan menjadi lebih basah dari biasanya. Sehingga Indonesia rawan terjadi bencana banjir dan tanah longsor yang perlu mendapatkan perhatian, penyikapan dan penanganan yang tepat. Belum lagi kondisi geografis Indonesia yang memiliki sekitar 18.000 pulau dengan lokasi-lokasi terpencil dan terisolasi yang masih banyak akan menjadikan bencana nasional seperti wabah Novel Coronavirus (Covid-19) berpotensi lebih lama mewabah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa 37.000 sekolah di Indonesia berada di wilayah rawan bencana dengan 2.892 sekolah di atas jalur patahan gempa. Jumlah tersebut belum termasuk madrasah dan pesantren yang belum dipetakan. Berkaca dari hal tersebut, maka penyusunan sistem pendidikan mitigasi bencana perlu digugah kembali dan tentunya sangat penting untuk disinergikan dengan pendidikan masyarakat. Kemdikbud mempunyai sekolah-sekolah di berbagai daerah sedangkan Kementerian Sosial (Kemensos) sebagai lembaga utama terkait mitigasi bencana memiliki Taruna Siaga Bencana (Tagana). Kedua sektor ini dapat bekerja sama, berkoordinasi dan berkolaborasi secara berkesinambungan. Kemensos berperanan sebagai fasilitator dan regulator dalam menjaga standar pelatihan dan kecakapan Tagana. Tagana dapat diturunkan ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia untuk menyosialisasikan pendidikan mitigasi bencana yang tersistem, membangun jejaring evakuasi yang menyeluruh serta melaksanakan program-program pelatihan mitigasi bencana di sekolah atau madrasah.
Cara pengajaran dan pemberian pelatihan keterampilan serta simulasi menghadapi situasi bencana dari Tagana ke sekolah-sekolah dapat bersifat intrakurikuler atau ekstrakurikuler. Kegiatan Pramuka di sekolah dapat menjadi sarana pemberdayaan siswa dengan cara mengajarkan mereka bagaimana bertahan hidup dalam menghadapai bencana alam dan tantangan-tantangan sosial. Pada level siaga (7-10 tahun), pendidikan mitigasi bencana bisa dilakukan lewat permainan, yel-yel dan lagu-lagu. Contohnya di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, materi mengenai smog atau tsunami diajarkan melalui nyanyian di TK dan SD. Sedangkan pada level penggalang (11-15 tahun), penegak (16-20 tahun) dan pandega (21-25 tahun) dapat dilakukan kegiatan pelatihan mitigasi di wilayah setempat dengan cara mengadakan sosialisasi terlebih dahulu pada masyarakat sekitar tentang pengenalan dan pelatihan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK).
Sementara itu kegiatan ekstrakurikuler lain seperti kelompok ilmiah remaja (KIR), palang merah remaja (PMR) dan Pecinta Alam dapat berkolaborasi untuk memperkuat pengajaran dan pendidikan mitigasi bencana di sekolah dengan memanfaatkan modul-modul yang telah tersedia. Pada 2015 Kemdikbud bersama-sama dengan United Nations Children’s Fund (UNICEF) telah mengeluarkan modul pendidikan kebencanaan yang disebar ke dinas-dinas pendidikan. Meskipun demikian, dinas-dinas pendidikan di provinsi dan kabupaten atau kota pada umumnya masih menunggu adanya payung hukum tentang pendidikan mitigasi bencana.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan penyisipan materi mitigasi bencana dan pembuatan muatan lokal tentang kebencanaan tidak bisa optimal. Pertama, aturan kurikulum dan jam kerja guru yang ketat. Kedua, adanya aturan yang belum menjelaskan secara rinci pembagian materi ke berbagai mata pelajaran, kegiatan ekstra kurikuler dan muatan lokal serta peran komite sekolah di dalamnya.
Namun yang perlu dipahami sejatinya adalah kurikulum kita sangat fleksibel dalam mengembangkan silabus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Guru dapat mencari sendiri materi tambahan yang diperlukan. Misalnya pada mata pelajaran IPA dan IPS dapat dibahas mengenai cara menambang pasir, batu bara atau mendapatkan batang kayu di hutan yang bertanggung jawab dan tanpa menimbulkan kerusakan permanen. Siswa-siswa dapat diajak untuk menganalisa masalah lingkungan sebagai bagian dari pembelajaran HOTs (High Order Thinking Skills). Selain itu pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat diajarkan tentang undang-undang yang mengamanatkan pelestarian lingkungan hidup, pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang tepat, dan keadilan sosial.
Pendidikan mitigasi bencana yang bersifat lintas disipliner dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam semua mata pelajaran lain seperti pada IPS, IPA, Pendidikan Kewarganegaraan dan lain-lain. Persepsi kolaboratif yang baik di kalangan guru untuk menerapkan pendidikan mitigasi bencana di sekolah akan menjadikan guru sebagai arsitek pembelajaran sejati di Indonesia, yang notabene berada di cincin api.
————— *** ————–

Rate this article!
Tags: