Kenaikan Cukai Rokok: Siapa yang Diuntungkan?

Oleh :
Wahyu Hidayat R
Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Awal Januari 2022 Harga jual eceran rokok berupa rokok cigaret, cerutu dan rokok elektrik mengalami kenaikan. Kenaikan harga rokok ini sejalan dengan naiknya tarif cukai rokok yang dibanderol pemerintah rata-rata sebesar 12%. Salah satu alasan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok adalah menekan pertumbuhan jumlah perokok aktif dan mengurangi konsumsi rokok.

Tujuan pemerintah untuk menekan jumlah perokok aktif melalui kenaikan cukai rokok selalu memunculkan 2 persoalan besar, yaitu persoalan kesehatan dan ekonomi. Dari aspek kesehatan, masih tingginya prevalensi jumlah perokok aktif terutama di kalangan remaja yang mencapi 9.1% akan berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan. Diperkirakan SDM usia produktif perokok aktif maupun pasif di masa akan mengalami penurunan kualitas kesehatan secara signifikan.

Tidak hanya di bidang kesehatan, dalam kajian fikih keagamaan konsumsi rokok memunculkan tafsir yang beragam, antara membolehkan dan melarang. Secara ekstrim beberapa ormas keagamaan mengharamkan konsumsi rokok dengan pertimbangan lebih banyak mudharat dibanding maslahatnya. Misalnya, Muhamadiyah melalui majelis Tarjih dan Tajdid secara bertahap dari membolehkan konsumsi rokok (2005) menjadi haram (2010) termasuk mengharamkan produk turunan rokok yaitu e-Cigaret( 2020).

Terlepas dari kajian fikih yang memunculkan perbedaan tafsir antar ormas keagamaan, dari aspek ekonomi kenaikan tarif cukai rokok merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan sumber pendapatan negara. Sebagai salah satu negara yang jumlah perokoknya mencapai lebih dari 89 juta jiwa, Indonesia dikenal sebagai surga bagi industri rokok besar. Dari sisi penerimaan pajak, industri rokok menyumbang cukai hasil tembakau sekitar 205.68 triliun atau sekitar 10.11% dari total APBN pada tahun 2020. Hasil cukai tembakau ini jauh lebih besar dibanding sumbangan laba BUMN sebesar 61 triliun. Tak aneh jika kumpulan orang terkaya di Indonesia salah satu diantaranya disumbangkan oleh pengusaha yang berbasis industri rokok.

Namun demkian, besarnya kontribusi industri rokok terhadap penerimaan pajak ternyata tidak sebanding dengan biaya perawatan kesehatan perokok yang mencapai kisaran 360 triliun pertahun. Tingginya angka perokok ternyata berkorelasi dengan angka kemiskinan. Pada sebagian masyarakat perdesaan dan perkotaan pengeluaran konsumsi rokok relatif jauh lebih tinggi dibanding pengeluaran untuk pemenuhan gizi. Hal ini menunjukkan besarnya pengeluaran untuk konsumsi rokok secara tidak langsung semakin memiskinkan masyarakat berpendapatan rendah.

Bagi industri rokok, kenaikan tarif cukai rokok yang berdampak pada kenaikan harga rokok merupakan ancaman terhadap industri rokok skala menengah ke bawah. Kurun waktu belakangan, terdapat ratusan industri rokok menengah kecil yang gulung tikar dan puluhan ribu pekerja industri rokok yang dirumahkan akibat kenaikan tarif cukai rokok. Disisi lain, kenaikan tarif cukai rokok ternyata mendorong maraknya peredaran rokok tanpa cukai sebagai akibat lemahnya kontrol pemerintah.

Kebijakan menaikkan tarif cukai rokok yang ditujukan untuk mendorong penurunan jumlah perokok terutama segmen perokok remaja haruslah didukung sepenuhnya. Pengalaman negara lain menunjukkan mekanisme kenaikan tarif cukai rokok bisa digunakan untuk menurunkan jumlah perokok. Artinya, kenaikan tarif cukai rokok haruslah dipandang sebagai variabel utama untuk menekan konsumsi rokok. Mendasarkan pada pengalaman banyak negara, yang dibutuhkan adalah berapa besar proporsi kenaikan tarif cukai rokok yang ditetapkan agar signifikan dengan penurunan jumlah perokok.

Besaran tariff cukai rokok ini diperlukan mengingat harga rokok di Indonesia termasuk paling murah dibanding negara lain. Misalnya 1 bungkus isi 20 di Indonesia kisaran rp.20.000 di Singapura untuk jenis yang sama harganya rp.136.000. Dengan demikian, besaran kenaikan tarif cukai rokok harus dipandang sebagai salah satu cara untuk menjawab problem besar yaitu menekan konsumsi rokok terutama pada segmen perokok remaja dan wanita

Dalam hal kebijakan, kenaikan tarif cukai rokok perlu diiringi dengan gerakan kemasyarakatan termasuk fatwa fikih keagamaan yang memandang konsumsi rokok sebagai hal yang mendatangkan mudharat terlebih bagi mereka kalangan wanita, anak dan remaja. Secara kelembagaan, kenaikan tarif cukai rokok harus diimbangi pula dengan kampanye pembatasan rokok, diantaranya pembatasan iklan rokok secara terbuka. Termasuk kebijakan perluasan kawasan tanpa rokok (KTR) harus dibuat menjadi gerakan yang masif dan berkekuatan hukum. Cara seperti ini bisa digunakan sebagai landasan memperkuat kebijakan pemerintah bahwa menaikkan tarif cukai rokok tidak semata karena motif ekonomi. Tetapi dapat memberikan kemanfaatan dan perlindungan bagi masyarakat yang tidak bersentuhan langsung dengan rokok.

———- *** ———–

Tags: