Keputusan MK tentang UU Cipta Kerja Tak Pengaruhi Kebijakan Pengupahan

Menaker Ida Fauziyah lewat siaran pers Biro Humas Kemnaker, Kamis (2/12/21).

Jakarta, Bhirawa.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Cipta Kerja yang harus direvisi dalam jangka waktu 2 tahun lagi, tidak merubah kebijakan Pengupahan saat ini. Artinya, seluruh materi dan substansi serta aturan, sepenuhnya tetap berlaku, tanpa ada satu pasal pun yang dibatalkan oleh MK.

“Atas dasar itu, berbagai peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang telah ada, termasuk pengaturan tentang Pengupahan, masih tetap berlaku,” papar Menaker Ida Fauziyah lewat siaran pers Biro Humas Kemnaker, Kamis (2/12/21).

Menaker menegaskan, bahwa peraturan pelaksanaan klaster ketenagakerjaan yang menjadi mandat UU Cipta Kerja, telah selesai dan diterbitkn sebelum putusan MK, diumumkn Alhasil, prose pengambilan kebijakan Ketenaga kerjaan saat ini, harus tunduk pada aturan tersebut. Tidak terkecuali mengenai pengupahan.

“Oleh karenanya, saya kembali meminta kepada semua pihak, khususnya para Kepala Daerah, untuk mengikuti ketentuan pengupahan. Sebagaimana diatur dalam PP 36/2021. Saya juga mengingatkan bahwa dalam PP tersebut tidak hanya mengatur tentang Upah Minimum (UM) saja. Tetapi juga terkandung aturan struktur dan skala upah yng harus di-implementasikn oleh pengusaha,” jelas Menaker Ida.

Dikatakan, terkait dengan UM sendiri merupakan instrumen jaring pengaman bagi pekerja/buruh yang tidak boleh dibayarkan upah/gaji nya dibawah UM yang berlaku pada suatu wilayah. UM juga hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja maksimal 12 bulan.

Dalam pelaksanaan nyaman, UM tingkat provinsi (UMP), diterapkan  oleh Gubernur setiap tahun nya. Gubernur juga dapat menetap kan UM Kabupaten/Kota (UMK). Dengan catatan rata-rata pertumbuhan ekonomi Kabupoaten/Kota dalam 3 bulan terakhir, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi. Atau nilai pertumbuhan ekonomi dikurangi inflasi kabupaten/kota yng bersangkutan, selama 3 tahun terakhir, selalu positif dan lebih tinggi dari provinsi.

Dikatakan, dalam penetapan UMK, Gubernur dapat meminta pertimbangan Dewan Pengupahan Provinsi. UMK tersebut ditetapkan dan harus lebih tinggi dari UMP. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka Gubernur tidak dapat menetapkan UMK.

“Formula UMP dan UMK pada PP 36/2021 ditujukan agar kesenjangan UM antar wilayahan baik antar provinsi maupun antar Kabupaten/Kota, tidak semakin melebar. Kita optimis, dengan mengatasi jurang kesenjangan ini, daya saing akan terungkit. Iklim investasi dan dunia usaha, kian bergairah. Yang berdampak pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerjadan, tentu kembali pada peningkata  kesejahteraan masyarakat,” papar nya.

Ditegaskan, bahwa mediator hubungan industrial dan pengawas Ketenagakerjaan, ber komitmen dalam mengawal pelaksanaan UM 2020, maupun penerapan Struktur Skala Upah (SUSU) di perusahaan. Mediator akan membantu serta mem-fasilitasi penyusunan SUSU. Sedangkan Pengawas, harus siap melakukan monitoring dan penegakan hukum. Khususnya di bidang pengupahan.

“Saya telah mengintruksikan agar Mediator dan Pengawas Ketenagakerjaan, untuk siap siaga membantu dan mengawasi pelaksanaan UM 2022. Serta penerapan SUSU. Jika ditemukan pelanggaran, saya meminta para Kepala Daerah, untuk ikut tegas dalam menindak lanjuti hasil pemeriksaan pengawas Ketenagakerjaan di daerah. Mari, kita bersama-sama ciptakan ekosistem upah yang ber-keadilan,” ajak Menaker Ida. (ira).

Tags: