Ketegasan Atasi Penyanderaan

Yeny OktarinaOleh :
Yeny Oktarina
Pengajar FKIP Civic Hukum ( PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Lagi-lagi kasus penyanderaan terulang lagi. Empat kali sudah penyanderaan dalam rentang empat bulan jelas merupakan bukti kelompok militan Abu Sayyaf memang menjadikan Indonesia bulan-bulanan dengan terus mengincar para pelautnya. Kali ini Tiga WNI yang merupakan anak buah kapal pencari ikan berbendera Malaysia diculik oleh kelompok yang diduga Abu Sayyaf di perairan Sabah, Malaysia. Mereka disandera justru karena menunjukkan paspor Indonesia.
Penyanderaan WNI
Kenyataan penyanderaan yang dilakukan oleh kelompok militan Abu Sayyaf saat  ini setidaknya semakin menunjukkan bahwa WNI menjadi sasaran empuk kelompok bersenjata tersebut untuk mendapatkan uang tebusan atau tujuan lain yang bersifat politis. Tujuan mereka sama, yakni meminta tebusan uang yang jumlahnya jelas tidak sedikit. Dalam penyanderaan pertama yang terjadi pada 26 Maret, 10 anak buah kapal akan dibebaskan jika ditukar dengan 50 juta peso atau sekitar Rp14,3 miliar.
Mereka dibebaskan awal Mei tanpa pembayaran uang tebusan. Bahkan, dalam pembajakan terakhir, kelompok sempalan Abu Sayyaf menjelajah hingga ke perairan Malaysia dan membajak sebuah kapal ikan. Dari tujuh awak yang berada di kapal ikan tersebut, para pembajak seperti sengaja memilih tiga di antaranya yang berpaspor Indonesia, menyandera dan membawa mereka ke wilayah Filipina. Sebelumnya, akhir bulan lalu, kelompok Abu Sayyaf menyandera tujuh WNI.
Itu artinya saat ini total 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf. Segala upaya telah dilakukan, mulai diplomasi, patroli militer bersama, hingga pendekatan hubungan antarwarga kedua negara. Namun, kenyataannya hal itu tidak banyak berpengaruh. Penyanderaan terus berlangsung, bahkan hingga pemerintahan di Filipina berganti dari Benigno Aquino III kepada Rodrigo Duterte. Melihat kenyataan yang demikian ketegasan pemerintah mutlak kita butuhkan.
Indonesia perlu lebih keras melontarkan desakan kepada pemerintah Filipina untuk membereskan masalah domestik mereka tersebut. Imbas dari keganasan gerilyawan bersenjata di Filipina Selatan itu telah mengganggu aktivitas perekonomian negara tetangga. Filipina sepantasnya meningkatkan kewaspadaan tentang kemungkinan akti-vitas kekerasan kelompok Abu Sayyaf merebak luas di kawasan. Aksi perompakan dan penyanderaan WNI bisa menjadi sebuah preseden yang bisa diikuti aksi lain.
Surat Presiden Joko Widodo dan sambungan telepon langsung kepada Presiden Duterte yang meminta perhatian khusus untuk mengatasi pembajakan oleh Abu Sayyaf mesti ditindaklanjuti lewat upaya lebih tegas. Jangan sampai upaya lunak selama ini disalahartikan bahwa Indonesia lembek.
Indonesia mesti memberikan pesan kuat kepada Filipina bahwa jika mereka tidak bisa membereskan persoalan domestik itu, meminta bantuan Indonesia menjadi keniscayaan untuk membebaskan sandera. Kita tidak tahu pasti seberapa kemampuan Filipina membebaskan sandera. Yang pasti, 18 prajurit Filipina tewas dalam operasi pembebasan sandera di Pulau Jolo April lalu. Operasi itu sendiri gagal total.
Pemerintah Filipina semestinya tak perlu ragu memberi lampu hijau kepada pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk masuk ke wilayah mereka. Apalagi, pasukan TNI memiliki catatan keberhasilan dalam membebaskan sandera dari genggaman teroris. Pembebasan pesawat Garuda Indonesia DC-9 yang dibajak teroris di Thailand pada 11 Maret 1981 serta penyelamatan kapal MV Sinar Kudus yang disandera perompak Somalia pada 2011 membuktikan Indonesia mampu mengatasi penyanderaan.
Pemerintah Indonesia harus tetap menjadikan penyelamatan 10 sandera sebagai prioritas. Akan tetapi, kita tidak boleh lembek terhadap kelompok penyandera, misalnya dengan begitu saja memberikan tebusan kepada mereka. Alih-alih membuat penyanderaan berhenti, para penyandera bisa jadi makin gemar menyandera WNI karena ujung-ujungnya akan mendapat uang tebusan.
Ketegasan pemerintah
Saatnya pemerintah bersikap dan berlaku tegas. Sebagaimana dijelaskan pula, peran Presiden sebagai kepala pemerintahan dalam sumpah/janji jabatannya yang tertera dalam Pasal 9 UUD RI Tahun 1945. Secara singkat, Presiden wajib berbakti kepada Nusa dan Bangsa. Contoh kecil berbakti kepada Nusa dan Bangsa salah satunya adalah dengan melakukan segala upaya pembebasan sandera warga negaranya yang terjadi di perairan Filipina Selatan oleh komplotan Abu Sayyaf.
Melihat kejadian penyanderaan yang terjadi 3 (tiga) kalinya, pemerintah melalui Direktur Jenderal Perhubungan Laut, A Tonny Budiono, mengeluarkan Maklumat Pelayaran No. 130/VI/DN-16 tanggal 24 Juni 2016 kepada seluruh kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Indonesia yang berisi larangan keras penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) bagi kapal-kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar menuju Filipina. Dalam Maklumat pelayaran tersebut ditegaskan Syahbandar dilarang menerbitkan SPB bagi semua kapal berbendera Indonesia yang akan berangkat menuju Filipina tanpa terkecuali.
Melihat kenyataan yang demikian, apapun konsekwensinya sudah saatnya pemerintah perlu menegakkan wibawa negara kita. Pada penyanderaan sebelumnya, WNI diculik karena ada faktor kesalahan sendiri, yakni kapal berlayar di Perairan Sulu, Filipina selatan. Perairan ini sudah dinyatakan oleh Kementerian Perhubungan sebagai wilayah berbahaya. Kapal kita yang terpaksa harus berlayar di perairan tersebut mesti dikawal oleh TNI. Namun, penyanderaan kali ini terjadi di perairan Malaysia dan sengaja menyasar WNI. Tamparan ini mesti disikapi dengan mencoba opsi lain.
Operasi militer merupakan salah satu pilihan yang bisa dipertimbangkan. Kemampuan TNI dalam melakukan operasi pembebasan sandera tidak diragukan lagi. Antara lain, TNI sukses dalam membebaskan 20 WNI anak buah kapal Sinar Kudus di laut Somalia pada 2011. Seluruh 20 sandera berhasil dibebaskan dan 4 perompak tewas ditembak. Operasi itu bisa dilakukan karena wilayah penyanderaan merupakan perairan bebas, sehingga tentara kita leluasa diterjunkan.
Sekarang yang dihadapi adalah kelompok Abu Sayyaf yang berbasis di Filipina selatan. Indonesia tidak leluasa memutuskan untuk menerjunkan personel militernya karena terhambat peraturan perundang-undangan Filipina, yang melarang campur tangan militer negara lain. Selain itu, opsi tersebut juga terhalang oleh kebijakan Presiden Joko Widodo yang lebih mengutamakan keselamatan sandera lewat pendekatan diplomatik. Di sisi lain, TNI menyatakan siap menggelar operasi militer.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan, terulangnya penyanderaan WNI karena pendekatan kita yang terlalu persuasif. Ia mengaku geram dengan kejadian ini, karena satu kelompok bersenjata bisa leluasa menculik dan menyandera WNI. Karena itu, momentum ini selayaknya mampu mengubah pandangan Jokowi tentang cara penanganan yang tepat dan efektif dalam pembebasan sandera, bahkan lebih jauh lagi dalam menegakkan wibawa Indonesia di lautan.
Kita berkeyakinan, kalau Jokowi sudah memandang perlu adanya tindakan yang tegas, maka opsi operasi militer bisa digagas melalui pertemuan tingkat tinggi. Jokowi bisa berbicara langsung dengan presiden Filipina yang baru, Rodrigo Duterte. Dari pembicaraan itu, bisa disepakati langkah-langkah yang mungkin bisa dilakukan oleh militer Indonesia. Kalaupun bukan operasi militer langsung, mungkin Indonesia bisa memberikan supervisi dan asistensi kepada Filipina. Sebagai warga negara kita sangat mengapresiasi segala apapun ketegasan dan terobosan yang dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga wibawa dan kedaulatan bersadarkan rujukan  pasal 9 UUD RI Tahun 1945 sebagai kewajiban dan amanah Presiden dalam berbakti kepada Nusa dan Bangsa.

                                                                                                                  ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: