KLB “di-Revolusi” FIFA

PSSI akan segera mengakhiri polisi polemik “darurat ke-sepakbola-an,” dengan menggelar KLB (Kongres Luar Biasa) yang dipercepat. Harus diakui, KLB sebagai respons tragedi Kanjuruhan, yang menewaskan 134 suporter. Ke-sepakbola-an nasional akan mengalami “revolusi” (perbaikan menyeluruh) di bawah supervisi FIFA. Terutama Menyusun statute baru PSSI, Kepengurusan (dengan personel baru), serta memperbarui jajaran komite eksekutif (Exco). Juga memperbaiki struktur stadion, dan berbagai metode pertandingan.

Sudah lama PSSI dalam keadaan “tidak baik-baik saja.” Terutama jajaran komite eksekutif. Gelombang penolakan terhadap PSSI, dan tuntutan Kongres Luar Biasa, semakin membesar (KLB). Setidaknya dua klub peserta Liga-1 (Persis Solo, dan Persebaya) telah meminta KLB PSSI. Maka perbaikan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) tidak cukup hanya dilakukan oleh pemerintah. Melainkan juga melibatkan FIFA (Federation Internationale de Football Association).

FIFA telah berkantor di Indonesia. Pada tahap awal bakal men-supervisi KLB PSSI pada 16 Pebruari (2023) ini. Dalam KLB PSSI, wajib dilakukan perbaikan statuta dan manajemen ke-organisasi-an. Statuta PSSI juga wajib menyesuaikan diri dengan UU Nomor 11 Tahun 2022 Tentang Keolahragaan. Selama ini PSSI di-kesan-kan “merdeka” dari segala tanggungjawab per-sepakbola-an nasional. Termasuk “steril” dari kesalahan even pertandingaan. PSSI bagai di singgasana menara gading.

Seluruh tanggungjawab PSSI telah “di-delegasi-kan” kepada PT Liga Indonesia Baru (LIB). Sedangkan PT LIB juga telah “men-delegasi-kan” wewenang dan tanggungjawab pertandingan kepada Panitia Pelaksana, dan klub tuan rumah. Sehingga PSSI, dan LIB, bagai tak tersentuh hukum. Sterilitas PSSI dari kesalahan, merupakan penyimpangan terhadap UU Nomor 11 Tahun 2022 Tentang Keolahragaan. Menyasar pertanggungjawaban induk Cabor. Tak terkecuali PSSI sebagai induk Cabor sepakbola.

UU Keolahragaan pada pasal 50 ayat (1), menyatakan, “Induk Organisasi Cabang Olahraga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan kejuaraan Olahraga tingkat internasional, nasional, dan wilayah.” Bahkan induk Cabor (PSSI) tidak bisa lepas tanggungjawab. Dalam pasal 54 ayat (1) dinyatakan, “Penyelenggara kejuaraan Olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari Induk Organisasi Cabang Olahraga yang bersangkutan dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Maka pertandingan “el-clasico” antara Arema vs Persebaya, pasti telah memperoleh rekomendasi PSSI. Sangat aneh manakala PSSI “cuci tangan.” Maka sangat wajar TGIPF (Tim Gabungan Independen Pencari Fakta) merekomendasikan kewajiban PSSI bertanggungjawab secara moral terhadap tragedi Kanjuruhan. Rekomendasi TGIPF berujung penghentian Liga-1 Indonesia, sampai terdapat jadwal KLB PSSI yang dipercepat.

KLB PSSI akan memilih seorang Ketua Umum, 2 Wakil Ketua Umum, dan 12 anggota Exco. Terasa pemilihan pucuk pimpinan PSSI kental bernuansa politik. Konon jabatan Ketua Umum PSSI bisa menjadi “batu loncatan” pada tahun politik (2024). Padahal realitanya, selama lebih dari dua dekade (sejak NurdinHalid, tahun 2003), tidak ada Ketua Umum PSSI yang bisa memanfaatkan jabatannya. Bahkan sejak tahun 2003 pula, Ketua Umum PSSI selalu di luar struktur pemerintahan (bukan Menteri).

Dalam Statuta PSSI 2019, pemungutan suara hanya bisa dilakukan pemilik suara (voters) secara tertutup, oleh 87 anggota. Yakni, 34 Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI, 18 klub Liga-1, 16 tim Liga-2, 16 kesebelasan Liga-3, Federasi Futsal, Asosiasi Sepak Bola Wanita, dan Asosiasi Pelatih Sepak Bola. Calon dari Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan anggota komite eksekutif dipilih satu per-satu.

Maka rekonstruksi PSSI yang di-supervisi FIFA masih bergantung pada pemegang hak suara (voters). Banyak yang meragukan. Namun banyak pula yang berpengharapan PSSI bisa diperbaiki untuk mendongkrak prestasi sepakbola Indonesia.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: