Konflik Sosial di Masa Pandemi

Oleh :
Dewangga Putra Mikola
Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Universitas Negeri Yogyakarta

Keadaan dunia saat ini sedang berkabung menghadapi virus yang menyerang masyarakat, yaitu Covid-19 (Coronavirus disease 2019). Wabah yang berasal dari Wuhan, China ini telah menyebar ke ratusan negara. Hingga pada akhirnya, per Maret 2020, WHO (World Health Organization) menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi global. Hal ini karena penyebaran Covid-19 ini sangat masif dan cepat.

Beberapa negara telah melakukan kebijakan untuk menghadapi pandemi Covid-19, seperti kebijakan lockdown. Hanya saja, kebijakan lockdown tidak bisa dijalankan secara total di Indonesia. Pemerintah Indonesia memiliki kebijakan tersendiri untuk mengendalikan Covid-19, yaitu kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hingga PKM (Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Kebijakan ini menghimbau agar masyarakat tidak melakukan perkumpulan fisik karena bisa memicu kluster baru penyebaran Covid-19.

Pandemi Covid-19 telah berdampak secara sistematik dan multidimensional terhadap seluruh aspek kehidupan. Secara ekonomi, pandemi Covid-19 memberikan dampak pada sektor ekonomi, seperti kolapsnya dunia usaha, kemiskinan, hingga kelaparan. Secara sosial, pandemi Covid-19 juga menimbulkan gejolak konflik yang cukup besar, konflik disharmoni akibat kemiskinan, konflik keagamaan dan peribadatan, bahkan konflik konfrontatif akibat kebijakan pemerintah kurang tepat.

Pemerintah telah berupaya mengambil langkah untuk mengantisipasi ancaman yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19. Salah satunya melalui stimulus, baik fiskal dan moneter yang dituangkan melalui Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara. Kebijakan ini seperti refocusing program dan realokasi anggaran untuk menangani dampak yang ditimbulkan karena pandemi Covid-19.

Beberapa daerah telah melakukan langkah responsif dan cepat, seperti D. I. Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan menggelontorkan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Pemerintah Pusat juga telah mengeluarkan kebijakan tentang diskon tarif listrik, menaikan insentif kartu prakerja, menanggung selisih bunga rumah bersubsidi, menambah dana kartu sembako, hingga keringanan pembayaran kredit.

Banyaknya bantuan bagi masyarakat terdampak Covid-19, secara langsung mampu meringankan beban ekonomi. Hanya saja, di balik pemberian bantuan ini, juga berpotensi menimbulkan konflik. Dahrendorf (1959) berasumsi bahwa setiap masyarakat akan mengikuti proses perubahan melalui pertikaian. Maksudnya adalah kondisi suatu masyarakat terbentuk karena adanya konflik yang di mana memunculkan berbagai respons masyarakat. Masyarakat ini nantinya memberikan kontribusi adanya disintegrasi dan perubahan sosial.

Konflik bisa muncul dari mana saja, baik dari karakteristik individu, masyarakat, kelompok, interaksi sosial, serta terjadinya ketimpangan dan kelangkaan. Hanya saja, yang perlu menjadi perhatian adalah perasaan frustasi dan ketidakpuasan sosial (Krisberg, 1998; Bertrand, 2008). Perasaan ini diindikasikan dari kegelisahan (anxiety) masyarakat yang bisa menjadi pembenaran/justifikasi suatu pihak agar melakukan tindakan antagonistik.

Pada masa pandemi Covid-19 saat ini, konflik dalam masyarakat tidak bisa dihindari. Banyak konflik yang terjadi, seperti beberapa masyarakat tidak setuju diterapkannya new normal. Hal ini karena pada saat itu kurva kasus aktif Covid-19 belum melandai membuat keadaan semakin tidak kondusif. Hanya saja, sebagian masyarakat setuju dengan diterapkannya new normal. Dengan new normal, masyarakat bisa melakukan aktivitas seperti biasanya dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Berkaitan dengan penyaluran bansos (bantuan sosial), rentan menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat. Secara horizontal, muncul stigma dan gejolak di kalangan masyarakat. Gejolak ini bisa terjadi apabila bansos yang diberikan tidak tepat sasaran. Tidak menutup kemungkinan, terjadi kecemburuan dan disharmoni antara maysarakat yang berpotensi menimbulkan konflik sosial berkepanjangan. Gejolak bisa berubah secara vertikal apabila konflik tidak ditangani secara baik. Hal ini karena sebagian masyarakat menuding pemerintah tidak adil dan tidak tepat pada pemberian bantuan tersebut.

Pemerintah Indonesia sejatinya telah mengupayakan agar pemberian bansos bisa tersalurkan secepat mungkin. Hanya saja, seringkali proses pendistribusian bansos ini dinilai lambat. Imbasnya, mengarah pada meningkatnya rasa frustasi dan ketidaktenangan sosial, terlebih di kalangan masyarakat tergolong miskin. Masalah semakin rumit apabila proses ditribusi bansos cenderung tebang pilih.

Pada titik ini, bisa jadi terdapat aktor yang menggunakan kegelisahan dan tindakan antagonistik untuk mencari keuntungan seperti pandangan konflik instrumentalis oleh Bertrand (2008). Sehubungan dengan isu tersebut, S. Indro Tjahyono (pengamat politik) mengatakan “…Di Indonesia bahkan tercium gelagat adanya gerakan politik untuk memanfaatkan serangan virus Covid-19 sebagai momentum melakukan pergantian kekuasaan. Mendorong pelengseran Jokowi…” (Alee, 2020). Di balik pemberian bansos, nyatanya terdapat permainan aktor pada kegelisihan masyarakat yang menggunakan “identitas” etnik. Sehingga memicu konflik horizontal, seperti yang terjadi di Bangka Belitung.

Berbagai macam problematika ini, sangat diperlukan langkah-langkah yang baik, cerdas, benar, dan bijaksana dari seluruh pihak. Konflik bukan tanggung jawab pemerinah semata-mata. Melainkan, tanggung jawab seluruh pihak yang memiliki tanggung jawab moral. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah validitas data penerima bansos. Masalah data penerima seringkali menjadi perhatian dalam penyaluran bansos. Masalah ini mungkin bisa diselesaikan dengan pembicaraan tingkat RW atau kepala desa agar seluruh warga yang membutuhkan bisa menerima bantuan.

Pemerintah juga bisa melakukan sinkronisasi data penerima bansos antara pusat dan daerah. Hal ini karena penerima bantuan kerap dinamis. Sehingga, persoalan perubahan data sangat memungkinkan terjadi. Misalnya saja, domisili dan perubahan profesi. Oleh karena itu, sinkronisasi skema pemberian bansos diperlukan agar bisa mencegah penerima bansos menerima bantuan lebih dari sekali. Dengan berbagai cara ini, penerima bansos bisa lebih tepat sasaran.

Sejatinya terdapat banyak pelajaran dan hikmah yang diperoleh dari pandemi Covid-19 ini. Terlepas dari konflik yang muncul, pandemi Covid-19 telah mengajarkan menghidupan solidaritas dan gotong royong pada masyarakat semakin menguat. Masyarakt tidak lagi memandang ras, suku, agama, hingga budaya. Wabah Covid-19 telah mengajarkan agar masyarat saling mengingatkan karena mereka sedang mengalami penderitaan serupa. Oleh karena itu, setidaknya masyarakat bisa bersatu, saling memberikan dukungan dan semangat.

Di dalam kehidupan, masyarakat yang terintegrasi tidak selalu mengalami konflik. Hanya saja, masyarakat juga tidak selalu berada di titik keseimbangan. Dinamika kehidupan masyarakat sejatinya bersifat fleksibel dan dinamisl. Ada masanya masyarakat berkonflik, ada masanya pula konflik tersebut meredam dan menghilang. Perbedaan ini dirasa wajar. maka dari itu, masyarakat tidak mementingkan egonya masing-masing agr bisa membentuk kehidupan yang harmonis. Proses penyatuan dan solidaritas tidak bisa dicapai tanpa adanya konflik yang dilalui.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: