Koordinator Kotaku: Penataan Kawasan Kumuh di Kota Surabaya Berhasil

Surabaya, Bhirawa
Koordinator Kota (Koorkot) Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) Surabaya, Abduss Salam memastikan jika program Kotaku di Kota Pahlawan telah berhasil. Sebab sudah memenuhi indikator sebagai kota tanpa kumuh yang ditetapkan tim Kotaku.

“Ada tujuh aspek dalam menetapan Kotaku. Dari aspek-aspek tersebut Surabaya telah memenuhinya. Program Kotaku dalam pelaksanaannya menggunakan platform kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kota/kabupaten, masyarakat dan stakeholder lainya dengan memposisikan masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota sebagai pelaku utama,” ujar Abdus Salam, dikonfirmasi, Senin (9/11/2020).

Sebelumnya perlu diketahui, saat debat terbuka pertama Cawali-Cawawali Surabaya, Eri Cahyadi melontarkan pernyataan jika Surabaya sudah 0 persen kawasan kumuh. Eri mengacu berdasarkan data program Kotaku Kementerian PUPR yang terangkum di Nota Dinas Nomor 02/ND/Cb16/Satker1/2020 tentang Laporan Capaian Pengurangan Kumuh Provinsi Jatim, luasan kawasan kumuh di Surabaya semula 151 hektare. Dalam beberapa tahun terakhir, penataan digenjot hingga berhasil ditekan sampai 0 persen pada 2019.

Namun pernyataan berdasarkan data ini dipermasalah Cawali Surabaya Machfud Arifin, karena berdasarkan pandangan matanya masih banyak kawasan-kawasan kumuh di Surabaya. Pernyataan ini lantas menjadi perbincangan hangat di masyarakat hingga sekarang.

Abdus Salam menyatakan, sesuai dengan Permen PUPR Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh, terdiri dari tujuh aspek dan 16 kriteria permukimah kumuh. Diantaranya; mengenai kondisi bangunan gedung, seperti ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi yang tidak sesuai dengan ketentuan rencana dan tata ruang dan kualtias bangunan yang tidak memenuhi syarat.

Lalu; kondisi jalan lingkungan, jaringan jalan lingkungan tidak melayani seluruh lingkungan perumahan dan permukiman atau kualitas permukaan jalan lingkungan buruk. Selain itu kondisi penyediaan air minum; dimana akses aman air minum tidak tersedia dan kebutuhan air minum minimal setiap individu tidak terpenuhi. Lantas soal kondisi drainase lingkungan; dimana tidak tersedianya drainase, drainase lingkungan tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan sehingga menimbulkan genangan atau kualitas konstruksi drainase lingkungan buruk.

“Kemudian kondisi pengelolaan air limbah; dimana sistem pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis dan prasarana dan sarana pengelolaan air limbah tidak memenuhi syarat teknis. Selain itu juga ada aspek ketersedian ruang terbuka publik,” jelas Abdus Salam.

Yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi pengelolaan persampahan; dimana prasarana dan sarana persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis, sistem pengelolaan persamlahan tidak memenuhi persyaratan teknis, kondisi pengamanan kebakaran, prasarana dan sarana proteksi kebakaran tidak tersedia.

“Memang masih ada masalah di Surabaya seperti soal saluran atau drainase. Namun permasalahan ini umum terjadi di kota-kota besar, karena keterbatasan wilayah. Seandainya mau membuat drainase di tengah jalan, tapi disana banyak sekali utilitas dan pipa PDAM. Ini juga masih masalah juga,” ungkapnya.

Abdus Salam mengaku, data-data semacam ini memang bisa dimainkan secara politis, apalagi saat musim Pilkada seperti sekarang ini. “Saya baca beritanya ada yang mempermasalahkannya. Tapi yang dilihat hanya satu faktor. Padahal program Kotaku ini memiliki banyak faktornya. Dan secara umum Surabaya sudah sangat bagus pelaksanaannya,” tandasnya. [iib]

Tags: