Korupsi Dana Desa dan Riwayat Pendidikan

Oleh :
Riza Multazam Luthfy
Peneliti Desa. Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta. Bukunya yang telah terbit berjudul Potret Legislatif Desa Pasca Reformasi (2014) dan Potret Politik & Ekonomi Lokal di Indonesia (2017). Kumpulan tulisannya bisa dirunut di rizamultazamluthfy.blogspot.com.

Apa yang diberitakan oleh media cetak maupun online memunculkan kesan bahwa melimpahnya dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah pusat memunculkan anomali. Di satu sisi, dana tersebut menjadi berkah apabila pemanfaatannya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Imbasnya, selain taraf hidup masyarakat meningkat, implementasi good governance di aras lokal juga kian terlihat. Di sisi lain, dana tersebut merupakan musibah manakala kurang mampu dikelola dengan baik. Dengan demikian, nasib warga dikorbankan lantaran keberadaan dana desa yang sesungguhnya dapat mengatrol kesejahteraan, ternyata justru menjadi sumber penderitaan. Lebih jauh, kepala desa juga akan menjadi tumbal jika kurang berhati-hati dalam membelanjakannya.
Kebimbangan
Dalam kondisi seperti inilah, kepala desa seringkali disergap kebimbangan antara menggunakan dana desa secara maksimal dan menahannya supaya terhindar dari segala bentuk pelanggaran. Namun demikian, keduanya tetap memiliki dampak masing-masing. Penggunaan serampangan dapat mengakibatkan dipenuhinya unsur korupsi. Adapun penolakan terhadap dana desa mengakibatkan merosotnya kepercayaan warga kepada pemimpin yang enggan menerima risiko jabatan.
Dalam realitasnya, memang tak jarang kepala desa yang menggunakan dana desa untuk kepentingan individu. Berbagai modus ditempuh demi mengeruk banyak keuntungan dan menjadikan kantong pribadi semakin tebal. Mereka terbukti melakukan korupsi dengan sengaja menggelapkan uang. Besarnya dana yang diterima dari negara ternyata tidak difungsikan untuk mengadakan atau memperbaiki sarana, fasilitas, dan infrastruktur desa, melainkan malah dinikmati bersama oknum tak bertanggung jawab lainnya. Mereka genap dibutakan oleh keadaan. Keserakahan membuat berkecambahnya mentalitas korupsi dalam diri mereka.
Akan tetapi, banyak pula yang terjebak oleh mekanisme dari atas (top-down). Dalam kasus demikian, selain tak beritikad buruk, orang-orang yang tersandung kasus korupsi juga kurang memahami pembelanjaan dana desa. Fenomena ini menunjukkan bahwa kepala desa belum siap menerima, memanfaatkan, sekaligus mengoptimalkan dana yang bersumber dari APBN tersebut.
Dalam diri mereka selalu muncul kekhawatiran apabila terjadi penyalahgunaan yang berujung pada jeruji besi. Akhirnya, mereka dimanfaatkan oleh berbagai oknum. Atas nama LSM gadungan, sejumlah orang mengaku berniat membantu kepala desa. Namun, kepala desa justru menjadi kambing hitam saat dana desa tidak dialirkan sesuai pos-posnya, lantaran merekalah yang dianggap selaku pengambil kebijakan.
Tolok Ukur
Di Indonesia, 40 persen kepala desa berpendidikan terakhir sekolah dasar dan menengah pertama. Oleh beberapa kalangan, faktor inilah yang dinilai sebagai salah satu penyebab belum maksimalnya pengelolaan dana desa dan terjerumusnya kepala desa ke dalam penjara sebab kasus korupsi. Mengenai pendidikan sebagai salah satu tolok ukur terpenuhinya syarat kepemimpinan di tingkat lokal, sejak lama peraturan perundang-undangan genap menggariskannya.
UU No. 19/1965 menetapkan bahwa kepala desa sekurang-kurangnya berpendidikan tamat sekolah dasar atau sederajat. Baik UU No. 5/1979, peraturan pelaksana UU No. 22/1999 (Kepmendagri No. 64/1999 dan PP No. 76/2001), peraturan pelaksana UU No. 32/2004 (PP No.75/2005) ataupun UU No. 6/2014 menetapkan bahwa tingkat pendidikan kepala desa sekurang-kurangnya sekolah menengah pertama atau sederajat.
Dengan demikian, dibanding undang-undang sebelumnya (UU No. 19/1965), standarisasi tingkat pendidikan bagi kepala desa dalam No. 5/1979 menunjukkan peningkatan dari sekolah dasar menjadi sekolah menengah pertama. Adapun mulai tahun 1979 hingga sekarang, persyaratan kepala desa, terutama berkaitan dengan tingkat pendidikan, bersifat stagnan. Berpendidikan tamat sekolah menengah pertama menjadi persyaratan siapa saja yang ingin mencalonkan diri selaku kepala desa.
Boleh jadi, penetapan tingkat pendidikan sebagai salah satu syarat seseorang menjadi kepala desa bernuansa politis. Dengan menjadikan tingkat pendidikan kepala desa minimal sekolah menengah umum misalnya, banyak orang yang tidak mampu memenuhinya. Padahal, dari tahun ke tahun, tingkat pendidikan orang desa selalu menujukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan, banyak remaja yang berasal dari pedalaman menyandang gelar sarjana.
Mereka mampu menyelesaikan studi di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Sebagian di antaranya mengikuti kelas di kampus ternama dan menorehkan prestasi gemilang. Prosentase orang-orang yang hanya lulus sekolah dasar juga merosot drastis. Bahkan, rasanya tidak ada warga desa yang sama sekali tidak mengenyam bangku sekolah. Bilapun ada, prosentasenya sangat kecil. Orang desa menyadari bahwa pendidikan sangat penting dalam upaya memperbaiki taraf hidup.
Perkembangan zaman menutut kepala desa memiliki background pendidikan yang memadai demi terwujudnya prinsip-prinsip good governance di desa. Latar belakang pendidikan menjadi salah satu unsur legitimasi kekuasaan. Pendidikan merupakan sebagian sumber pengaruh dan wibawa pemimpin desa. Bagaimanapun, saat memimpin warga, kepala desa membutuhkan keduanya.
Seorang pemimpin desa dengan pendidikan terakhir sekolah menengah pertama akan menemukan hambatan ketika warganya adalah para lulusan perguruan tinggi, misalnya. Ia juga akan kesulitan menjalin komunikasi dan mengeluarkan instruksi jika para pamong desa terdiri dari orang-orang berpendidikan lebih tinggi darinya. Bagaimana mungkin tamatan sekolah menengah pertama membawahi orang-orang dengan pendidikan terakhir sekolah menengah umum atau perguruan tinggi.

———- *** ———–

Tags: