Langit Ibu

Oleh :
M Firdaus Rahmatullah
Penggemar Sastra dan Kopi

SUATU anugerah dapat menceritakan kutipan kisahku. Dari sekian banyak hal yang kualami, inilah salah satu kisah itu. Aku percaya bahwa kita berada dalam dunia kutipan. Oleh karena itu, kukisahkan saja sebab semua itu berasal dari-Nya dan aku hanya perantara menyampaikan salah satu kisahku. Baiklah. Kita mulai.
Begini.
Di antara sekian banyak pesantren yang memenuhi tanah Jawa, Langitan adalah salah satunya. Letaknya tepat di tepi kali Bengawan Solo, sebelum memasuki wilayah Kabupaten Tuban. Kota di mana Sunan Bonang berdakwah hingga akhir hayat. Langitan kupilih bukan lantaran apa atau firasat atau mimpi buruk. Ia adalah sejarah yang melahirkan ulama-ulama besar macam Kiai Hasyim Asyari, Kiai Ma’shum Ali, dan lain-lain. Singkat kata, ulama-ulama besar dilahirkan dari sana.
Ayahku tiada tahu menahu jikalau aku akan ke sana. Ia berpikir bahwa aku akan masuk ke sekolah negeri atau unggulan seraya rutin mengirimiku berlembar-lembar Ringgit hingga aku lulus. Tersebab ia bekerja sebagai TKI di negeri Jiran. Sementara Ibu yang tahu menahu pilihan itu tak jadi soal. Ia adalah Ibu yang demokratis, walau aku tak tahu benar saat itu apa arti demokratis sebenarnya. Ibu yang mengantarkanku hingga bertemu Kiai Faqih dan menitipkanku sambil berharap semoga aku mendapat ilmu yang baik dan berkah. Itu saja. Tidak lebih. Apalagi lebih dari itu.
Di kiri-kanan jalan yang kulewati-sepanjang jalan Jombang-Tuban hanyalah hutan jati yang luas dan panjang, melewati Gunung Pegat yang terkenal itu-kuamati betul bagaimana raut Ibu waktu itu. Antara kepedihan dan kebahagiaan, atau bingung barangkali. Suatu konklusi sikap yang tak dapat kupahami. Aku pun berdeduksi: Ibu berat melepasku.

* * *

Ayah adalah sosok yang samar dalam ingatan. Aku tak pernah bersamanya dan hidup dengannya, kecuali ketika ia memelukku sewaktu kecil. Ia serupa laut, begitu luas dan dalam. Tak mudah pula menebak perangainya. Bagai pelaut yang hanya mengandalkan laju angin saat berlayar, aku hanya mengandalkan batinku untuk menuju kepadanya.
Sebenarnya, Ayah tak menuntutku banyak. Aku tak tahu apakah yang kuperbuat benar atau salah. Tersebab yang diinginkannya hanyalah sederhana: jadilah anak yang baik. Itu saja. Tidak lebih. Apalagi lebih dari itu. Dan di lain waktu, aku menemukan tempat berlari dari kesedihan dan kerinduan akan sosoknya: melalui buku-buku yang kubaca, kitab kuning, nadhom imrithi yang kulalar bakda salat Magrib. Aku menemukan laut teduh di sana. Aku menemukan hutan tropis di sana. Aku menemukan matahari dan rembulan yang hangat bercahaya.
Banyak hal yang tak terduga dan kita mesti bersabar dan siap menghadapinya. Seraya berikhtiar bahwa mimpi masih abu-abu dan belum sepenuhnya putih. Adakah yang lebih kekal selain menunggu? Bukankah menunggu adalah pekerjaan yang paling mengekalkan? Kau tahu, kelak, di padang mahsyar, kau juga akan menunggu penghitunganmu hingga kau lupa bahwa kau tengah telanjang bulat hingga tiada sempat memerhatikan sekitarmu.
Maka, di antara ribuan warna yang tampak, di antara rerimbunan warna itu, malaikat Mikail menampakkan diri. Dalam gemerlap warna itu, ia bersabda, “Terimalah rezeki Tuhanmu yang disalurkan melalui perantaraku.”
Momen ini yang ditunggu-tunggu seisi bumi: gunung-gunung, pohon-pohon, bunga-bunga, burung-burung, mamalia, amuba, dan semua makhluk hidup di seluruh penjuru dunia tak lepas dari aliran rezekinya. Tentu: manusia. Mereka seumpama penjual dan pembeli di pasar tradisional, kernet bus di terminal, dan pengendara motor yang terjebak macet di jalan raya, bersalip-salipan dengan mobil, truk, pikap, dan lain sebagainya.
Lantas, dengan cara apakah manusia berpikir bahwa yang ada di alam semesta ini telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Mahapengatur? Bukankah semua itu sudah dituliskan di lauhulmahfuz sana semenjak dulu, tanpa sesuatu pun yang mengetahui? Begitu juga dengan Ayah. Aku tak pernah berpikir secepat itu ia pergi. Menyongsong matahari di balik langit. Lalu, aku terhenyak sesaat. Dan sunyi.
Semestinya langit memberikan jawaban yang tepat atas peristiwa itu. Bukan mengaburkannya dengan kemuraman mendungnya. Kita sering ingkar dan tak semestinya pula memburamkan langit. Hujan yang dulu bening kini hanya cucuran kristal yang tuba. Air langit yang anyir dan penuh sampah polusi. Ada yang melihatnya tersenyum tatkala cerlang pelangi datang menghampiri. Ada pula yang melihatnya menangis tatkala matahari memberikan mantel hangatnya. Semua memang semestinya. Namun, tetap tak kutemukan jawaban di sana.

* * *

Aku pun berketetapan hati untuk pindah pondok. Berat memang, apalagi setelah yang kulakukan di Langitan. Persaudaraan dengan kawan-kawan sekamar, seribath (asrama), dan komunitas santri seasal, telah cukup meneduhkan kerinduanku akan rumah.
Maka, usai berpamitan dengan kawan-kawan, terutama pada Kiai Faqih, kugenggam kuat-kuat tangan Ibu seraya bergegas keluar menuju jalan raya. Inilah kali pertama luhku tumpah. Setahun bukanlah waktu yang jenak untuk menata hati di pesantren dan merangkai cita-cita luhur menjadi sosok panutan di desaku kelak. Ada yang hilang dan beterbangan bersama angin dan debu. Bus Puspa Indah jurusan Jombang, rumahku; pun seolah memperlambat lajunya demi bersimpuh di depan kami: di halte yang saban hari kusaksikan senja di atas kali Bengawan Solo.
Punahlah mimpi itu. Musnahlah pengorbanan Ibu yang dulu memondokkanku secara diam-diam. Bagaimana tidak, tulang punggung keluarga kami telah dijemput Izrail dengan cepat, meninggalkan banyak tanggungan yang masih membutuhkannya. Ayah terlalu cepat menghadap Allah. Hanya senyumnya di mimpiku usai aku bertahajud semalam yang masih menguat: ia berada di taman penuh pohon beraneka buah yang di bawahnya dialiri madu dan susu yang jernih.
Aku bergetar.

* * *

Tidaklah mudah untuk mondok kali kedua. Kebingungan dan keraguan yang maha membuat berat hal itu terwujud. Ibu pun harus berpikir sepuluh kali lipat untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai sekolah ketiga adikku. Hatiku gamang. Niatku kecut. Aku mulai berpikir untuk bekerja saja membantu perekonomian keluarga dan mengurungkan pendidikanku. Lagi pula, mimpiku terlampau menjulang untuk seorang yang papa.
“Pikiran macam apa itu?” Ibu bersabda, setengah memekik.
“Tidakkah kau lihat, ayahmu bekerja di negeri orang hanya demi siapa?” suara Ibu meninggi.
“Ayahmu sekuat tenaga membiayaimu dan adik-adikmu hingga mati di sana, tidakkah itu tak berarti di matamu?”
Wajahku tertunduk, takzim mendengar kemarahan Ibu. Jelas Ibu memberikan penekanan pada kata “hanya” yang itu ditujukan untukku.
“Sekarang kau ingin bekerja dan putus sekolah? Mau jadi apa sampeyan, le?” kali ini bukan aku yang sesenggukan, Ibu pun menumpahkan air matanya. Aku menyesal menyakiti Ibu, apalagi sampai membuatnya menangis. Demi Allah, aku menyesal.
“Bagaimanapun,” Ibu menyeka air matanya, “kau harus tetap mondok.”
Astaghfirullah, mengapa aku sampai lupa dengan firman Allah yang berbunyi: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang Nyata “. Adakah aku mengetahui bahwa esok, lusa, atau seterusnya Tuhan berkehendak lain atau melimpahkan rezeki yang tiada kuduga?
Maka, usai pembicaraan yang penuh air mata itu, Ibu mengantarkanku mondok lagi. Kali ini di dalam kota. Tentu bukan bertumpuk alasan, hanya supaya jika sewaktu-waktu merindukan almarhum Ayah, aku dapat pulang sejenak dan mengobati kerinduan itu. Kali ini pun Ibu tetap meminta pertimbangan Pak Lek yang dulunya pernah mengenyam pesantren cukup lama, yang dulu juga menyarankanku ke Langitan. Dan, Tambakberas lah yang menjadi pilihan, selain akses jalannya cukup mudah, konon di sinilah asal mula pesantren-pesantren di Jombang. Perihal ini baiknya kuceritakan lain waktu saja.
Bumi Damai Al Muhibbin. Begitulah nama yang tertera di papan bercatkan hijau tua. Agak tertutup beberapa lembar daun mangga di sebelahnya. Jika sebuah pesantren diawali dengan frase “Pondok Pesantren”, maka yang ini diawali frase “Bumi Damai”. Adakah Pak Lek tak salah memilihkan pesantren? Atau jangan-jangan ini bukan pesantren? Hatiku menggumam seraya diliputi rasa was-was. Aku hanya takut jika pesantren ini seperti yang kulihat di televisi: pesantren yang dianggap sarang teroris dan perakit bom yang mengaku mujahid.
Sesuatu yang nampak sering kali menghasut mata. Itulah yang kudapati prasangka yang berlebihan membikin aku malu sendiri. Kurasai bulan pertama, aktivitasnya mirip ketika aku di Langitan. Bedanya pada muatan pelajaran yang bersifat salaf tanpa memasukkan pengetahuan umum. Aku terbiasa dengan itu, sebab, ketika di Langitan pun mengalami hal serupa, bahkan yang lebih konstan dari Bumi Damai. Doa Ibu menenangkanku. Ketika Ibu menyambangiku bulan selanjutnya, kulihat matanya yang kian menirus. Sembab oleh air mata tentunya. Dan di lingkar kelopak matanya terlihat menghitam. Barangkali Ibu kurang tidur dan senantiasa qiyamul lail.
“Cukup-cukupkan uang ini. Kalau ada rezeki lebih, Ibu tambah lagi.”
Hanya kalimat itu yang dituturkan Ibu sebelum akhirnya pamit pulang. Ingin kukatakan bahwa aku mencintai Ibu dan tak berharap kiriman berlebih bulan-bulan selanjutnya. Aku sudah bersyukur dengan kiriman itu. Namun, semua itu tercekat di rongga tenggorokanku.
Hatiku pun bergetar lagi.

* * *

Hujan masih merinai tak kunjung deras. Sore menjadi dingin bebarengan semilir angin yang menembus celah-celah dinding ribath. Padahal langit cerah. Hujan ini seperti bukan hujan sungguhan. Sementara hawa kantuk mulai menguasai sekujur tubuhku ketika Pak Lek datang berkunjung. Suatu hal yang aneh ketika bukan Ibu sendiri yang datang menyambangiku. Pak Lek berkata bahwa ia membawa kabar tentang Ibu.
“Mengapa bukan Ibu yang datang?”
Pak Lek seolah membaca pikiranku dan tahu bahwa aku akan menanyakan hal itu. Ia sudah menata hatinya, menahan kekecewaan dan kesedihan yang maha agar luhnya tak tumpah. Ia lantas bercerita, “Ibumu sekarang berada di Malaysia dan bekerja sebagai pengasuh bayi.”
Beberapa hari yang lalu, lanjut Pak Lek, Ibu menelepon pukul dua dini hari. Sebuah telepon yang tentunya tidak wajar pada waktu seperti itu. Suaranya berat, seperti menahan perasaan hancur yang menyayat. Selama ini, ia telah menyimpan sebuah rahasia yang sangat berisiko terhadap nyawanya. Sebelumnya, ia baru keluar dari penjara lantaran dituduh lalai menjaga bayi si majikan hingga beset dahi si bayi. Ia hanya dipenjara beberapa hari sebab tidak ada bukti yang menguatkan tuduhan tersebut.
Penderitaan Ibu belum usai. Tidak puas dengan hal itu, pascapembebasan Ibu, si majikan menyekapnya di dalam rumah tanpa diberi makan sebiji nasi pun dan harus bekerja tanpa henti, bahkan untuk nyeliut pun tidak diperbolehkan. Usut punya usut, diam-diam Ibu telah melakukan perjanjian tertulis dengan sang majikan. Dalam perjanjian tersebut, tertulis bahwa Ibu terikat satu tahun bekerja dengan majikannya dan baru diperbolehkan pulang pada tahun berikutnya.
Aku kian tak kuat mendengar kelanjutan cerita Pak Lek. Baju takwa yang kukenakan telah basah air mata. Biadab betul kelakuan si majikan. Ingin kujemput Ibu, tapi ke mana? Nama Malaysia hanya kukenal lewat pelajaran IPS di madrasah. Di mana alamat Ibu aku pun tak tahu. Jikalau nekat pun hanya membawa kesia-siaan belaka. Sebab untuk ke sana harus melewati Laut Cina Selatan yang luas juga Selat Malaka yang sedari dulu dikenal kejam. Aku mengenal keduanya melalui atlas. Mungkin selama ini Ibu sengaja tidak mencantumkan alamat keberadaannya tiap kali berkirim surat atau wesel lantaran takut ancaman kontrak itu: kontrak yang menjerat Ibu dan membunuhnya perlahan-lahan.
Dalam telepon itu, lanjut Pak Lek, Ibu juga bercerita bahwa selama penyekapan dirinya tidak pernah diberi makan. Ia hanya makan ketika mencuci piring, makan dari sisa majikannya. Itu pun saat majikannya lengah, karena saat Ibu bekerja pun si majikan selalu mengawasi dan bila ketahuan tentu si majikan tidak segan-segan memukul. Ibu dapat menelepon Pak Lek pun tatkala si majikan sedang ke luar kota. Ibu tidak bisa melarikan diri, karena semenjak kasus itu gaji-gajinya tak terbayarkan dan seluruh dokumen dan kartu identitasnya disita oleh si majikan. Andai kata kabur, pasti segera tertangkap, karena pihak imigrasi negeri Jiran begitu ketat. Dan, di akhir telepon, kata Pak Lek, Ibu meminta supaya anak-anaknya tetap tabah dan senantiasa mendoakannya walau apa pun yang terjadi dan akan terjadi nanti.
“Jangan berhenti menimba ilmu,” pungkas Pak Lek. Kali ini luhnya menetes serupa butiran berlian yang keluar dari pupil kedua matanya. Sementara aku sudah banjir sedari tadi.
Langit tiba-tiba melegam. Awan pun memucat-suram. Derai-derai gerimis berubah menjadi hujan yang deras mengiringi senja yang kelam. Kilatan petir berkejaran dan berhamburan di cakrawala yang hitam. Semua begitu gelap begitu gulita hanya tampak setitik warna putih di ujung langit penuh lebam. Di kejauhan, di titik itu, aku melihat sosok Ibu dan Ayah berada di taman bertelekan permadani bersutera tebal yang dipenuhi pohon dan buah beraneka rupa dan di bawahnya mengalir sungai susu yang segar dan madu yang jernih. [*]

———– *** ————

M Firdaus Rahmatullah
Penulis lahir di Jombang, 24 Mei 1988. Menggemari sastra dan kopi. Buku pertamanya, Cerita-cerita yang Patut Kau Percaya (Diva Press, 2019) dan Langit Ibu (Jagat Litera, 2022). Pada tahun 2021 beroleh Apresiasi Penulis Buku Fiksi dalan ajang GTK Ceative Camp Provinsi Jawa Timur.

Rate this article!
Langit Ibu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: