Literasi Ideologis bagi Peserta Didik dan Guru

Oleh :
Eka Sugeng Ariadi
Guru MTsN Pohjentrek Kab. Pasuruan

Bila ingin melihat posisi kemajuan pendidikan antar satu negara dengan negara yang lain, perhatikan dengan seksama pergerakan posisi satu Negara tiap periode pengumumannya dalam hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment) yang dilakukan oleh satu lembaga survey internasional, OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) berkedudukan di Paris, Perancis.
Lembaga ini adalah lembaga studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah yang saat itu berusia 15 tahun. Prestasi Indonesia masih sangat memprihatinkan dalam fokus studi literasi membaca (reading literacy) pada rilis hasil PISA di tahun 2013 yang lalu, dimana Negara ini berada di posisi 64 dari 65 negara peserta tes (sumber: www.kopertis12.or.id/2013/12/05).
Retnaning diyah (2014), salah satu tim literasi Kemdikbud yang juga dosen Pascasarjana Unesa, mengintepretasi data tersebut bahwa kegiatan literasi membaca dan menulis masyarakat Indonesia masih belum membudaya, baik di sekolah, kampus, maupun di masyarakat. Oleh karenanya, untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lain diperlukan solusi praktis dan strategis bagi guru sebagai ujung tombak pelaksana program pemerintah sekaligus penentu kualitas literasi (membaca dan juga menulis) bagi peserta didik di negeri ini.
Salah satu upaya konkrit dan solutif pemerintah di tahun 2016 kemarin, yaitu diterbitkannya satu regulasi melalui Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, yang salah satunya tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai upaya untuk menumbuhkan budi pekerti anak, menumbuhkan, mempraktikkan dan memperkuat budaya membaca dan menulis untuk seluruh peserta didik di seluruh wilayah negeri ini. Program ini memang sudah mulai dijalankan dan menggeliat di berbagai daerah, namun tetap harus diperkuat pada tataran praktis proses belajar mengajar di ruang kelas. Maka implementasi dan integrasi literasi ideologis ke dalam proses belajar mengajar mutlak diperlukan.
LiterasiIdeologis
Brian V. Street (1993) dalam bukunya Cross-Cultural Approaches to Literacy, telah menginspirasi dan mengembangkan dua model literasi yang bisa meningkatkan kualitas membaca dan menulis peserta didik, antara lain : literasi otonomi (autonomous literacy) dan literasi ideologis (ideological literacy). Model literasi otonomi maksudnya literasi menjadi satu kesatuan kemampuan menulis dan membaca, namun aktifitasnya hanya sebatas pada lingkup teks/materi pembelajaran yang disediakan dalam buku teks atau lembar kerja yang diberikan oleh guru. Sedangkan, model literasi ideologis memiliki makna berkebalikan dengan sebelumnya, yaitu literasi dijadikan sebagai suatu kemampuan yang menghubungkan antara materi pembelajaran/teks yang disediakan dengan budaya dan praktik sosial yang melingkupi teks yang dikaji tersebut. Kate Pahl & Jennifer Rowsell (2005) dalam bukunyaLiteracy and Education; Understanding the New Literacy Studies in the Classroom, menegaskan bahwa model yang pertama adalah model pengembangan kemampuan literasi peserta didik yang hanya fokus pada peningkatan proses kognitifnya, sedangkan model kedua merupakan model kelanjutandari yang pertama, dimana kemampuan literasi peserta didik dinaikkan taraf cara berpikirnya dengan cara mengintegrasikan proses kognitif ke dalam konteks budaya dan praktik sosial yang melingkupi terbentuknya teks yang sedang dikaji.
Praktik Literasi Ideologis
Agar peserta didik mampu melangkah ke model literasi ideologis, maka guru harus mampu terlebih dulu menguasai beberapa pertanyaan kritis untuk mengkaji lebih dalam tentang sebuah teks/materi pembelajaran. Pertanyaan-pertanyaan ini menurut Kate Pahl & Jennifer Rowsell (2005) disebut sebagai sebuah Lensa Literasi Kritis (a critical literacy lens), antara lain: bagaimana saya memecahkan kode/simbol yang ada dalam teks? Apa artinya kode-kode/symbol-simbol tersebut? Kemudian siapa penulis atau produser dari teks itu? Setelah itu, menerka siapa-siapa pihak yang terkait dalam teks tersebut? Dilanjutkan dengan memperluas sudut pandang, misalnya jika teks tersebut ditulis oleh pihak yang berseberangan, seperti apakah isi teksnya? Lalu memberikan peserta didik bentuk teks yang genre-nya sama namun dengan model dan penulis yang berbeda, seperti apa pendapatnya? Dan yang terakhir, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk menciptakan sesuatu, secara lisan maupun tulisan, yang benar-benar mencerminkan pendapat dan karakternya masing-masing, sehingga karyanya tersebut bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Integrasi lensa literasi kritis ke dalam proses pembelajaran sangatlah praktis dan sangat memungkinkan diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran. Langkah-langkahnya, selesaikan terlebih dahulu model literasi otonomi, misalnya dengan membaca intensif sebuah teks lalu menjawab semua pertanyaan yang menyertainya, (selama ini guru-guru baru sebatas mempraktikkan model literasi yang ini).
Setelah itu, menerapkan model literasi ideologis dengan menggunakan lensa literasi kritis seperti yang sudah disebutkan di atas. Misalnya: guru meminta peserta didik mengamati, menyebutkan dan memaknai kode-kode/symbol-simbol (bisa berupa gambar, istilah asing/khusus, dll) yang terdapat dalam teks, lalu guru membantu peserta didik berpikir lebih luas dan sedikit kompleks dengan memberikan pertanyaan seputar siapa penulis teks tersebut, siapa saja yang terkait dalam topik/tema dalam teks, kemudian jika teks tersebut ditulis oleh orang yang berbeda sudut pandang/posisi, apakah sama isinya, dan yang terakhir, guru meminta peserta didik merangkai danmemproduksi teks dengan tema/topik yang sama dengan yang sedang dibahas, tetapi dengan isi yang sesuai dengan pendapat, ide, opini, dan karakternya sendiri.
Secara berurutan, praktik model literasi otonomi dan ideologi ini tentu sangat bisa diaplikasikan pada semua mata pelajaran, tinggal gurunya berkemauan untuk mencobanya atau tidak. Dimana model literasi ideologis ini tak lain untuk membawa, meleburkan dan mengintegrasikan proses kognitif peserta didik kedalam konteks kehidupan pribadinya yang penuh dengan segala pemikiran dan informasi khusus berkaitan dengan kehidupan sosial, kebudayaan dan lingkungannya yang pasti akan mewarnai kualitas membaca dan menulis sebuah teks yang saat itu sedang dikaji.
Dalam penelitiannya yang berjudul’Tactical underlife: understanding students’ perceptions’, J. Larson and L. A. Gatto (2004), menyatakan bahwa dengan melibatkan berbagi pengetahuan, pengalaman dan pendapat pribadi masing-masing peserta didik (notabene memiliki karakter dan keunikan sendiri-sendiri) dalam sebuah proses pembelajaran, peserta didik memiliki kesadaran dan pemahaman yang lebihtinggi, dibuktikan dengan kesadaran individu bahwa apa yang mereka lakukan dan ciptakan mempengaruhi orang lain dalam komunitas/lingkungannya baik secara langsung maupun tidak. Peserta didik menjadi lebih semangat dalam berpartisipasi dan mengerjakan serta memproduksi hal-hal/pengalaman baru. Mereka menjadi lebih aktif bertanya dan terlibat dalam mencari solusi sebuah permasalahan bersama.
Padaakhirnya, alat ukur meningkatnya literasi peserta didik, tentu tidak bisa dilihat semata-mata dari banyaknya koleksi buku atau perubahan kebiasaan membaca dan menulis tiap harinya/tiap periodenya dari peserta didik, tidak juga ditentukan dari berjalan atau tidaknya program GLS di tiap sekolah/madrasah, tetapi lebih dari itu adalah ditentukan dari kualitas literasi yang dimilikinya. Literasi dan identitas kiranya menjadi poin penting dan utama dalam penilaian meningkatnya level literasi peserta didik. Oleh karena itu, penerapan model literasi ideology seakan menampakkan dan memberi efek bagus dalam melesatkan kualitas literasi seorang peserta didik sesuai dengan karakter, pendapat, dan opini sendiri (bukan sekedar ‘membebek’ pendapat orang lain) dalam menyikapi sebuah teks tertentu berdasarkan budaya dan praktik sosial yang khas dalam lingkungan/komunitasnya. Selamat mencoba dan berkarya!
————— *** —————-

Tags: