Lonjakan Harga Perspektif

Tokoh Pemikir Islam

Oleh :
Nanang Qosim, M. Pd
Dosen Agama Islam Poltekkes Kemenkes Semarang

Di tengah kegembiraan umat Islam menjalani ibadah puasa, ada fenomena yang membuat rumah tangga ketar-ketir. Yakni melambungnya harga-harga bahan pokok secara gila-gilaan yang banyak membuat pusing masyarakat.

Jauh hari sebelum Ramadhan datang menyapa, masyarakat, terutama kaum ibu, sudah dibuat pusing dengan lonjakan harga minyak goreng kemasan dan langkanya minyak goreng curah.

Selain minyak goreng, komoditas yang paling melejit harganya di pasar-pasar tradisional adalah daging sapi. Di pasar, harga daging sapi naik dari Rp 130 ribu per kilogram menjadi Rp 150 ribu per kilogram. Bahkan, di pasar daging sapi menyebut naik hampir 20 persen dari Rp 120 ribu per kilogram menjadi Rp 150 ribu.

Harga komoditas kebutuhan pokok lain yang juga mengalami kenaikan, antara lain, bawang putih dari Rp 25 ribu menjadi Rp 27 ribu per kilogram. Harga telur ayam, cabai merah, cabai rawit, dan aneka sayuran yang menjadi kebutuhan masyarakat di bulan suci Ramadhan juga turut terkerek. Harga minyak goreng kemasan di lapangan dikisaran Rp 26 ribu hingga Rp 27 ribu per liter. Bahkan, di beberapa daerah masyarakat ada yang masih kesulitan untuk mendapatkan minyak curah. (Republika, 2/04/2022)

Artinya kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok belakangan ini semakin mengimpit kehidupan ekonomi masyarakat. Tekanan masih akan bertambah. Dan anehnya, fenomena tersebut selalu kita hadapi saban tahun jelang momen yang sama. Karena itu, menelaah bagaimana harga tercipta merupakan satu ikhtiar penting.

Selama ini teori mekanisme penciptaan harga berdasarkan prinsip bebas selalu diatributkan kepada teoretikus ekonomi abad ke-17 dan ke-18 seperti Pufendorf dan Adam Smith. Padahal, jauh sebelum mereka, dua tokoh pemikir Islam, Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan Ibnu Khaldun (1332-1404 M) telah meletakkan fondasi teori penciptaan harga.

Enam Prinsip

Kita mafhum, penciptaan harga sejatinya dipengaruhi hukum permintaan dan penawaran (supply and demand). Maksudnya, mekanisme di mana konsumen mencari barang/jasa sementara produsen memproduksi dan menawarkan barang atau jasa secara bebas akan menghasilkan satu titik harga tertentu. Meminjam Smith, mekanisme ini seharusnya dijalankan bebas dan hanya diatur oleh apa yang disebut invinsible hand (tangan tak terlihat). Kebebasan setiap pihak dalam pasar akan mengatur diri sendiri.

Akan tetapi, teori di atas praktis tidak dikenal pada abad ke-13 sebelum munculnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun. Ibnu Taimiyah sendiri memiliki istilah khusus untuk permintaan, yaitu keinginan akan barang (raghabat fi al-sya’i).

Menurut Ibnu Taimiyah (dalam Islahi, Economic Views of Ibn Taymiyah, 1980), naik-turunnya harga kadang disebabkan penurunan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diingini (baca: permintaan). Maka, jika keinginan atas barang naik sementara persediaan berkurang, harga barang akan naik. Di sisi lain, jika persediaan barang naik dan keinginan orang atas barang itu menurun, harganya akan jatuh.

Ibnu Taimiyah mengatakan, harga tercipta karena pergeseran fungsi permintaan dan penawaran yang terjadi dalam mekanisme pasar bebas. Memang, Ibnu Taimiyah tampak meyakini sekali mekanisme pasar bebas. Sebab, ia menentang kebijakan administered goods alias kebijakan pemerintah memiliki kontrol untuk menentukan harga suatu komoditas.

Jadi, masalah naiknya harga pada bulan Ramadan dan Idul Fitri nantinya bisa dipulangkan pada melonjaknya permintaan masyarakat atas barang kebutuhan pokok untuk kebutuhan sahur dan berbuka puasa. Pada gilirannya, lonjakan permintaan ini terjadi karena hasrat konsumtif masyarakat yang menganggap momen puasa begitu spesial dari segi sajian makanan. Ditambah dengan turunnya persediaan barang akibat berbagai faktor, kloplah sudah faktor-faktor pendongkrak harga versi Ibn Taimiyah.

Di sisi lain, Taimiyah mengakui fakta bahwa harga kadang dapat naik karena manipulasi di dalam pasar, seperti: penimbunan. Dia menyebutnya kezaliman seraya mengesahkan intervensi pemerintah untuk mengatur harga jika kondisi kezaliman itu terjadi. Intinya, negara yang tadinya memainkan peran minimal bergeser menjadi agen intervensi jika ada penyimpangan mekanisme pasar.

Dalam konteks Indonesia di bulan puasa, kita tidak bisa memungkiri banyak spekulan kerap mengail di air keruh untuk menimbun kebutuhan pokok demi meraup untung besar dari kenaikan permintaan di bulan Ramadan.

Taimiyah selanjutnya meringkaskan enam prinsip teori penciptaan harga. Pertama, satu barang akan lebih diiinginkan ketika barang itu langka, sehingga harga pun akan naik. Jadi, jika penawaran turun dan permintaan naik, harga akan naik. Kedua, jika jumlah orang yang menginginkan suatu barang besar, harga barang itu akan naik. Maksudnya, jika permintaan terhadap suatu barang naik, harga akan naik.

Ketiga, harga dipengaruhi oleh besar-kecilnya kebutuhan akan barang tersebut. Jika prinsip kedua terkait kuantitas permintaan, prinsip ketiga ini terkait kualitas. Artinya, meski jumlah orang yang memberikan permintaan akan suatu komoditas kecil, tapi jika volume pembelian mereka besar, itu akan memengaruhi harga.

Keempat, harga dipengaruhi oleh lawan transaksi. Sebagai contoh, jika konsumen adalah orang kaya yang terpercaya dalam membayar transaksi, si penjual bisa saja menerima harga yang lebih kecil. Lain cerita jika si konsumen sering gagal bayar.

Kelima, harga dipengaruhi oleh jenis uang yang dibayarkan dalam penukaran alias transaksi. Ini terkait nilai tukar mata uang dalam transaksi dan kepercayaan terhadap mata uang yang bersangkutan. Sekarang misalnya, dalam ekspor-impor transaksi kerap dilakukan dalam dolar AS, kecuali jika ada kesepakatan tertentu antara kedua negara yang bertransaksi.

Keenam, harga tergantung pada ongkos-ongkos persediaan suatu komoditas. Ibnu Taimiyah memasukkan ongkos keamanan, keselamatan, distribusi, penyimpanan (inventori) yang dapat memengaruhi harga. Misalnya, jika ongkos distribusi suatu barang tinggi, misalnya karena melewati jalur penuh rampok, harga barang itu tentu akan tinggi.

Revisi Ibnu Khaldun

Namun teori Ibn Taimiyah bukan tanpa kritik. Adalah Ibnu Khaldun yang melontarkan dua revisi penting. Pertama, Ibnu Khaldun memasukkan faktor kompetisi. Ia mencontohkan orang sering memiliki kebutuhan besar akan tenaga buruh. Akibatnya, timbul persaingan atau kompetisi untuk mendapatkan tenaga pekerja. Konsumen pun akhirnya berani membayar lebih dari nilai pekerjaan sang buruh. Pendek kata, terjadi pergeseran kurva harga akibat kompetisi.

Kedua, Ibnu Khaldun memperkenalkan konsep harga premium karena intangible asset. Khaldun mengatakan, jika suatu tempat telah makmur dan padat penduduk, akan timbul kebutuhan atas barang di luar kebutuhan sehari-hari. Jumlah pembeli meningkat meski persediaan barang itu sedikit, sementara orang kaya berani membayar tinggi untuk barang itu. Alhasil, ini meningkatkan harga. Maka itu, jelang Idul Fitri kita kerap melihat lonjakan harga barang sekunder dan tersier yang menawarkan prestise.

Terakhir, bahwa teori penciptaan harga dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun begitu visioner sampai tiga-empat abad mendahului pemikiran para teoretikus Barat tentang mekanisme pasar bebas yang bisa menjelaskan fenomena seperti kenaikan harga di bulan Ramadan ini.

———- *** ————

Rate this article!
Lonjakan Harga Perspektif,5 / 5 ( 1votes )
Tags: