LPAS Jember Kaji Ulang PPDB Sistem Zonasi

Pembina LPAS Kab Jember Ahmad Sudiono usai memberikan Tauziah dalam Halal Bi Halal Keluarga Besar IGTKI Kec. Sumbersari, Kamis (20/6/2019).

Jember, Bhirawa
Sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 di Kabupaten Jember, dikeluhkan banyak pihak. Karena dianggap merugikan siswa yang selama ini berprestasi dan bertalenta. Sehingga PPDB dengan sistem zonasi yang diterapkan oleh pemerintah perlu dikaji ulang.
Hal ini disampaikan oleh Pembina Lembaga Penampung Aspirasi (LPAS) Masyarakat Jember. H.Achmad Sudiyono. Menurut Ahmad Sudiyono, sistem PPDB dengan sistem zonasi 2019, berbeda dengan sistem zonasi yang diterapkan dalam PPDB 2018 kemarin.
“Kalau tahun lalu (2018) ada keseimbangan antara nilai Ujian Nasional (UN) dengan zona (wilayah). Tapi tahun ini, zona yang lebih dominan dibanding nilai UN. Sehingga, siswa berprestasi tidak bisa melanjutkan sekokah ke lebih tinggi, karena tempat tinggalnya tidak sewilayah dengan sekokah yang dituju. Ini sangat merugikan siswa” ujar Achmad kepada Bhirawa kemarin.
Mestinya, ulas Achmad, pemerintah menghargai prestasi siswa sebagai peserta didik agar terus berkembangg secara maksimal sebagai generasi penerus pewaris NKRI. “Mereka tidak boleh dibunuh dan dimatikan semangat belajarnya oleh sebuah sistim zonasi penuh untuk jalur prestasi. Ini sangat tdak mendidik dan tdak menghargai hasil belajar siswa.
Mantan Kepala Dinas Pendidikan kab Jember BNI menilai, jika ini sistem ini dipaksakan, maka proses pembelajaran siswa pada lembaga SMP, SMA dan SMK akan sangat hetrogin dan pincang.” Karena peserta didiknya kemampuan, kecerdasannya dan talentanya beragam sekali. Sementara siswa kemampuannya terbatas diterima disekolah unggulan karena faktor zona (jarak). Mereka akan menjadi siswa yang tersiksa minder dan terkucilkan,” ujarnya mencontohkan. Selain itu, sistem ini akan membuat kondisi proses pembelajaran di kelas tidak nyaman antara siswa yg cerdas dan mampu dg siswa yg terbatas kemampuannya. ” Kepincangan ini akan menciptakan hubungan sosial siswa tidak akan harmonis,” tandasnya pula.
Ahmad mengaku, zonasi diperlukan dengn prosentasenya yangg berimbang. Misalnya, prosentasenya 50 : 50 antara siswa prestasi dan jarak/zona.”Jika prosentasi ini tidak berimbang, siswa berprestasi dan orang tua akan dirugikan. Dan mereka banyak mengaku kecewa dengan keputusan pemerintah (Mendikbud),” katanya pula.
Seperti yang disampaikan Anton salah seorang wali murid asal Jember. Ia mengaku kecewa dengan sistem zonasi yang sangat dominan. ” Anak saya memiliki prestasi yang mumpuni, tapi tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMA yang diinginkan karena terkendala jarak/zona.
Sehingga kami(keluarga) terpaksa kontrak rumah dekat sekolah yang dituju, dengan merubah domisili. Ini yang merepotkan,” keluhnya singkat. [efi]

Tags: