Melihat Potensi yang Terbengkalai di Telaga Sumedang

Telaga Sumenang memiliki potensi besar untuk dikembangkan, khususnya wisata pancing. Dulu telaga yang terletak di Desa Tanjung, Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan ini sangat terkenal sebagai wisata pancing. [alimun hakim]

Sempat Berjaya Sebagai Destinasi Wisata Pancing di Kabupaten Lamongan

Kabupaten Lamongan, Bhirawa
Setiap daerah pasti memiliki suatu potensi besar untuk digarap dan dikembangkan. Sayangnya, potensi tersebut kadang terbengkalai karena tak dirawat. Contohnya adalah potensi Telaga Sumenang di Desa Tanjung, Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan ini. Seandainya digarap dengan baik, pasti akan menghasilkan kesejahteraan bagi warga sekitar.
Pak Budi tak pernah membayangkan jika suatu saat Telaga Sumedang yang pernah dikelolanya bakal terbengkalai seperti sekarang. Jika melihat kejayaannya dulu, siapa sangka Telaga Sumenang yang menjadi destinasi wisata pancing ini rusak dan terkesan kumuh. Belum lagi punahnya burung-burung yang biasanya berterbangan disekitar telaga.
“Kulo pengen Telagah Sumedang saget joyo kados riyen. Lomba pancing rame, atusan manuk kliweran menjlok nang wit (saya ingin Telaga Sumenang bisa seperti dulu. Lomba mancing ramai, ratusan burung berkeliweran hinggap di pohon, red),” ujar Pak Budi mantan Pengelola Kolam Pancing di Telaga Sumedang, saat ditemui beberapa waktu lalu.
Pak Budi, umurnya memang sudah tidak muda lagi. Usianya sudah menginjakkan kepala enam. Kendati sudah tidak lagi muda, namun keuletan dan loyalitas untuk mengabdi desa perlu diacungi jempol. “Saya dulu yang mengelola. Karena ini aset desa,” katanya Pak Budi yang juga anggota LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Desa Tanjung.
Dahulu, katanya, Telaga Sumedang merupakan sumber mata air buatan (embung tadah hujan) untuk konsumsi masyarakat. Namun, sejak PDAM masuk ke desa, masyarakat sudah tidak mengunakannya. Keberadaan telaga pun beralih fungsi menjadi Kolam pemancingan.
Menurut cerita Pak Budi, kolam pemancingan di pasrahkan kepada anak muda atau karang taruna. Salah satunya Pak Budi muda. Pengelola Kolam pancing pun dibentuk kepengurusan. “Saat saya yang kelola, telaga ini bersih. Sampah tidak ada yang berserakan seperti ini,” ucapnya kesal.
Untuk menarik minat pemancing saat itu, dia dan pemuda lainya membuat lomba pancing berhadiah. Dimana setiap masyarakat bisa mengikuti lomba pancing dengan tiket sekitar Rp20.000 sampai Rp30.000 per orang. Tak hanya itu, Sebelum even lomba dimulai, panitia mengisi telaga dengan ikan mas seberat 3-5 kg.
Disisi lain, pemancing yang mendapatkan ikan yang paling besar, akan jadi pemenang. Aturanya, ikan yang sudah berhasil didapatkan oleh peserta wajib dikembalikan setelah ditimbang oleh panitia. “Hadiah diambilkan dari uang tiket pendaftaran yang sudah di potong terlebih dahulu untuk kas organisasi,” terangnya.
Lomba pancing yang digelar di telaga ini, mampu menjadikan ikon bagi desa setempat. Kegiatan lomba dilakukan sebanyak satu hingga dua kali dalam seminggu pada malam hari. Peminatnya pun tidak hanya dari masyarakat setempat. Masyarakat dari luar desa pun antusias mengikuti lomba pancing. Tak hanya dari kalangan masyarakat biasa, kalangan pejabat pun banyak yang tertarik mengikuti lomba untuk mengisi liburan.
Pada zaman Bupati Masfuk, Telaga Sumedang direncanakan dijadikan destinasi wisata. Namun, setelah melalui proses kajian Dinas Lingkungan Hidup tidak memenuhi untuk menjadi lokasi wisata. Alasanya, Luas lahan yang kurang memadahi. “Dulu sempat mau dijadikan wisata, sudah dikaji, tapi dibatalkan. Katanya lahannya kurang luas,” terangnya.
Seiring berjalannya waktu, kejayan Telaga Sumedang pun hilang di telan zaman. Lebih tepatnya, setelah tampuk kepemimpinan desa beralih ke kepala desa yang baru. Telaga Sumedang sebagai wahana kolam pancing pun beralih ke tangan pihak ketiga sebagai pengelola, dengan berbagai kesepakatan dengan desa.
Masyarakat setempat tidak lagi mengurus dan mengelola kolam pancing sendiri. Suasana asri dan keramaian burung di sekitar telaga pun seakan punah. Kondisi itupun memantik keresahan warga setempat. Dari kerjasama pihak ketiga, pemerintah desa hanya mendapat hak sebesar Rp5 juta per tahun. [Alimun Hakim]

Tags: