Memahami Absurditas Perjalanan Kehidupan

Judul Buku  :Negeri Kabut
Penulis    : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit    :Grasindo, Jakarta
Cetakan    : I, Oktober 2016
Tebal    :IV + 159 Halaman
ISBN    : 978-620-375-729-9
Peresensi   M. Agus Muhtadi Bilhaq
Mahasiswa EEC Sanata Dharma Yogyakarta.

Absurditas merupakan istilah yang kerapkali digunakan oleh para filsuf eksistensialis untuk menggambarkan betapa aneh dan tidak masuk akalnya kehidupan ini. Salah satu di antara mereka adalahAlbert Camus, seorang filsuf sekaligus sastrawan kenamaan Prancis,yang berpendapat bahwa hidup manusia di dunia ini adalah sebuah kesia-siaan. Manusia diciptakan tanpa memiliki tujuan hidup. Karenanya, manusia senantiasa mencari esensi atau tujuan dari penciptaannya. Namun demikian, pencarian tersebut pada akhirnya berujung pada kesia-siaan.
Pemikiran Albert Camus ini tertuang dalamkarya-karyanya, salah satunyaLe Mythe de Sisyphe.Di dalambuku tersebut,ketika menjelaskan tentang absurdisme, Camus meminjam kisah mitologi Yunani, Sisifus, seorang raja yang karena “pemberontakannya” kepada para dewa, kemudian dihukum untuk melakukan pekerjaan yang sia-sia, mendorong batu ke puncak gunung, kemudian menggelindingkannya kembali kebawah, untuk selama-lamanya.Namun demikian, meski ditakdirkan mendapat hukuman untuk melakukan pekerjaan sia-sia, bagi Camus hukuman yang Sisifus jalani, sekaligus juga menjadi kemenanganatas pemberontakannyakepada dewa.
Dalam hal ini, se-absurd apapun kehidupan yang dijalani manusia, bentuk “pemberontakan” dengan terus menjalani kehidupan, merupakan wujud kemenangan atas absurditas itu sendiri. Menjalani rutinitas kehidupan -seperti apapunabsurd dan sia-sianya- adalahbentuk perjuangan yang mampu membuat seseorang bahagia, sebab dengan terus bergerak dan menjalani kehidupan (yang penuh kesia-siaan), manusia dapat menemukan eksistensinya.
Dalam pada itu, tema absurditas nada-nadanya juga digunakan oleh Seno Gumira Ajidarma “sebagai perspektif” dalam cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam bukuNegeri Kabut.Betapa tidak, hampir keseluruhan cerpen yang terdapat dalam buku tersebut menyiratkan “kesia-siaan” sebuah perjalanan (hidup), yang meski demikian tetap harus dijalani dan dinikmati.Cerpen-cerpen yang sarat dengan tema absurditas tersebar dalam buku setebal 159 halaman itu. Mulai dari cerita seorang yang mengembara ke seluruh penjuru bumi tanpa punya tujuan dan tanpa harus menemukan apapun, cerita seorang pemain bola yang terus berlari menggiring bola mencari gawang terakhir (di ujung dunia),  hingga cerita pendekar silat pilih tanding yang terus mengembara (tanpa tujuan) sambil menyeret-nyeret peti mati berisikan mayat seorang wanita.
Sebut saja cerpen pembuka yang juga berjudul Negeri Kabutmisalnya, berkisah tentang seorang pengembara, yang terus berjalan menjelajah ke seluruh penjuru bumi tanpa (harus) memiliki tujuan. Dalam cerpen ini Seno menyisipkan kalimat “aku berpikir bahwa aku memang ditakdirkan hanya harus berjalan, berjalan, dan berjalan, dan tidak harus menemukan apapun” (hlm. 3). Kalimat tersebut secara tegas mempertontonkan kepada pembaca perihal absurditas perjalanan (hidup) seorang pengembara (manusia). Sebuah perjalanan adalah perpindahan dari satu persinggahan ke persinggahan lain, termasuk dinamika hidup. Perjalanan hidup manusia senantiasa bergerak dalam rutinitas serta fluktuasi pasang-surut dinamika kehidupan. Hanya dengan terus menjalaninya-lah manusia dapat menemukan eksistensinya dan mengalahkan absurditas itu sendiri, sebagaimana tergambardalam kalimat “aku hanya setia pada perjalanan itu sendiri” (hlm. 4).
Tema absurditas dalam buku Negeri Kabut terasa semakin kental dengan adanya cerpen Di Tepi Sungai Parfum(hlm. 86), berkisah tentang perjalanan seorang anak manusia yangpergi meninggalkan kampung halaman, melarikan diri dari semua persoalan, mengembara selama 3000 tahun lamanya, mencari negeri yang penuh kebahagiaan bernama dunia maya. Seno mengakhiri cerpen tersebut dengan nuansa dramatis, yakni satu-satunya hal yang diinginkannya (ketika tiba di tepi sungai parfum, jalan masuk menuju dunia maya) adalah pulang ke kampung halaman, sekalipun memakan waktu 3000 tahun perjalanan untuk pulang.
Dalam paham absurdisme, manusia kerap kali merasa putus asa dan frustasi ketikaberhadapan dengan rutinitas dan dinamika kehidupan (absurdity). Karena itu, tidak sedikit manusia yang memilih untuk lari darinya (dengan cara bunuh diri).Namun demikian, lari dari absurditas bukanlah jawaban yang tepat sebab hal itu sekaligus menandai hilangnya eksistensi dirinya. Manusia seharusnya menyadari absurditas dan hidup berdampingan dengannya. Dengan cara itulah, manusia dapat memberontak terhadap absurditas dan menemukan kebahagiaannya (eksistensi).
Selain mengusung ide absurditas sebagai perspektif, nuansa realisme magis juga terasa begitu kuat dalam cerpen-cerpen Seno di buku Negeri Kabut. Sebagai contoh dalam cerpen berjudul Sukab Menggiring Bola, Seno secara terang-terangan membaurkan nuansa magis dengan dimensi realis. Ini dapat pembaca temukan pada bagian di mana Sukab terus berlari menggiring bola bahka ketika berada dipermukaan laut. Ia berlari melibas segala, hingga laut pun ia jelajah. Berlari sambil sesekali mengoperkan bola ke lumba-lumba (hlm. 59). Selain cerpen di atas, nuansa realisme magis juga dapat pembaca temukan dalam cerpen Ratri dan Burung Bangaupada bagian seribu burung bangau yang dengan paruhnya membawa bayi dalam gendongan, untuk dihadiahkan kepada mereka yang merindukan kehadiran seorang anak.
Lebih lanjut, melalui buku ini, Seno seakan mengusik serta mengajak pembaca untuk merenungkan kembali apa esensi serta tujuan hidup manusia. Membaca cerpen-cerpen dalam buku setebal 159 halaman ini, terasa sedang berdialog dengan begawan bijak yang menghapuskan “kebingungan” yang tak jarang menjangkiti manusia modern dalam perjalanan mencari eksistensinya.  Seno telah memasang lampu penerang agar pembaca tidak tersesat dalam absurditas.
Sudah semestinya Negeri Kabut menjadi bacaan wajib baik bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang sastra maupun bagi pecinta sastra secara umum. Seno sendiri dalam testimoninya mengatakan bahwa, “Sebenarnya saya tidak pernah ingin menulis cerpen-cerpen seperti dalam Saksi Mata -cerpen-cerpen itu dilahirkan oleh keadaan. Cerpen-cerpen yang selalu ingin saya tulis, adalah seperti yang terkumpul dalam Negeri Kabut ini.
———- *** ————