Memberantas Radikalisme (Kiri dan Kanan)

(Setelah Perppu, Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat)

Oleh : Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

“Rongsokan peradaban Arab yang sedang jatuh, dibeli di Indonesia.” Begitu kata Prof Dr. KH. Syafii Ma’arif, anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Pancasila (UKP-PIP). Pernyataan itu disampaikan setelah bertemu presiden Jokowi, di istana negara. Kawasan Arab dijadikan “cermin” karena kesamaan mayoritas keagamaan di Indonesia. Pesan utamanya, yang disampaikan kepada presiden, adalah memperbaiki jurang kemiskinan. Index ratio ginie (perbedaan kaya – miskin) yang melebar, menyebabkan pemberontakan.
Serentetan pemberontakan dialami negara-negara di jazirah Arab. Antaralain, Suriah, Yordan, dan Yaman. Penyebabnya, index ratio ginie telah mencapai 0,45. Indeks ini, semakin rendah (kurang dari 0,36) tergolong cukup baik. Sebaliknya, makin besar (lebih dari 0,45) tergolong sangat buruk. Ironisnya, pemberontakan akibat ketimpangan ekonomi, hanya diselesaikan secara militer. Konon rezim ber-alasan, berbagai pemberontakan disusupi unsur asing (bersenjata pula).
“Seperti jalan rumput kering yang rentan sekali dan bisa memicu macam-macam, pakai agama segala macam itu.” Kata buya Syafii Ma’arif lagi. Altar agama, sering pula digunakan untuk mem-provokasi umat. Diajak “jihad” melawan pemerintah, dengan iming-iming pahala syahid. Walau konyol (dengan membunuh sesama umat), namun banyak pula yang terbujuk. Tetapi, andai rakyat (umat) telah berkecukupan ekonomi dan pendidikan, niscaya tidak akan kepincut ajakan gerakan radikal.
Maka memberantas gerakan radikal, tidak cukup hanya dengan menerbitkan Perppu tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Perppu (dan UU lain) hanya sarana pencegahan, yang wajib di-tindak lanjuti dengan upaya lain yang lebih sistemik. Seperti dilakukan pemerintah dengan mempertajam “pedang” hukum terhadap ormas yang menyimpang. Penajaman dilakukan melalui Perppu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) Nomor 2 tahun 2017.
Ormas radikal bisa dibubarkan oleh pemerintah, manakala menyimpangi konstitusi. Tak terkecuali ormas keagamaan, dan ormas seni-budaya yang biasa menyeru gerakan melawan konstitusi (Undang-Undang Dasar). Beberapa ormas keagamaan (berskala kecil), telah nyata-nyata mengancam ketenteraman. Sekaligus memicu tawur sosial.
Perppu, bukan berarti menerbitkan undang-undang baru, melainkan menyempurnakan (mempertajam) yang lama. Perppu Nomor 2 tahun 2017, merupakan penajaman terhadap UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Intinya,  pemerintah dapat meng-gebuk (membubarkan) ormas radikal. Yakni, manakala menunjukkan sikap (dan gerakan) yang dapat menimbulkan konflik sosial. Realitanya, memang telah terdapat ormas radikal.
Menghukum Ekstrem Kiri
Substansi Perppu tentang Keormasan, terdapat pada pasal 1 ayat (2) yang merevisi pasal 59, tentang larangan Ormas. Pasal 59, menjadi terdiri dari empat ayat, dalam 12 klausul. Seluruhnya, bersifat normatif (biasa-biasa saja) dan bersifat umum (universal). Selanjutnya, pasal 60 (dalam UU 17 tahun 2013) diubah, menjadi empat ayat. Seluruhnya berisi sanksi (hukuman) terhadap ormas yang melanggar ketentuan pasal 59.
Terdapat pula aturan ppelaksanaan sanksi administratif pada (revisi) pasal 61. Yakni, berujung pada pencabutan status terdaftar oleh Kementerian Hukum dan HAM. Serta revisi pasal 62, pencabutan status terdaftar Oleh Kemenkumham, dilakukan selama tujuh hari setelah surat peringatan. Selanjutnya, Perppu menghapus (peraturan) pasal 63 sampai pasal 80. Selanjutnya, terdapat pasal 80A, yang menegaskan, bahwa pencabutan status terdaftar sekaligus sebagai pembubaran ormas.
Yang akan menarik perhatian, terdapat pada pasal 82A. Pada pasal 82A ayat (1), dinyatakan, “Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf paling d dipidana dengan pidana ien:ari singkat 6 (enam) bulan – dan paling lama 1 (satu) tahun.” Sebenarnya, peraturan ini juga normatif. Karena biasanya paham menyimpang, sangat menempel menjadi keyakinan anggotanya.
Hukuman pidana paling berat, diatur dalam pasal 82 ayat (2), yakni, pelanggaran “rombongan” (sekaligus) terhadap pasal 59 ayat (3) huruf a, b, dan ayat (4). Hukuman maksimalnya pidana penjara seumur hidup, atau sekurang-kurangnya lima tahun hingga 20 tahun. Yang tergolong pidana berat ini, adalah separatisme, serta penyebaran ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Nampaknya, hukuman paling berat dalam Perppu, ditujukan untuk ekstrem kiri (separatisme dan komunisme). Sedangkan untuk ekstrem kanan, tidak digolongkan pidana berat. Kecuali tindakan terorisme (kiri maupun kanan), diatur melalui UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Hukuman maksimalnya berupa pidana mati. Konon, UU anti-terorisme, perlu pula direvisi. Agar lebih “bertaji.”
Perppu (Nomor 2 tahun 2017), telah memperoleh dukungan luas, terutama dari kalangan ormas keagamaan. Kecuali yang merasa akan tergilas (dan akan dibubarkan). Begitu pula parpol yang memiliki konstituen kelompok radikal (kiri maupun kanan), akan berupaya “menghadang” Perppu pada masa sidang parlemen (DPR-RI). Namun diperkirakan, lebih banyak fraksi (parpol) di DPR yang mendukung Perppu.
Realita “Kegentingan”
Namun Perppu, harus menghadapi “timbangan” parlemen. Itu keniscayaan setiap Perppu, akan ditakar dengan konstitusi. Diperkirakan, hanya tiga fraksi di DPR-RI yang akan men-debat Perppu. Seperti dulu, tahun 2013, mayoritas fraksi (parpol) menerima UU Ke-ormas-an. Perdebatan akan berkutat pada pemahaman UUD Pasal 22 ayat (1). Yakni, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
Terdapat frasa kata “kegentingan yang memaksa,” akan menjadi perdebatan sengit. Walau sebenarnya, klausul tersebut telah disebutkan dalam Penjelesan Umum Perppu. Ternyata, Perppu juga berdasar pada ihwal “kegentingan yang memaksa.” Kriteria Perppu, berpijak pada artikel ke-4 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Artikel ICCPR, memasukkan unsur “ancaman terhadap masa depan kehidupan berbangsa dan keberadaan bernegara.”
Perppu juga memasukkan deklarasi HAM (Hak Asasi Manusia) ASEAN di Bangkok. HAM ASEAN, mengakui terdapat perbedaan (cara) perlindungan HAM dalam keadaan normal (damai), dengan keadaan darurat. Sehingga pengertian “kegentingan yang memaksa” bukan harus menunggu sampai keadaan negara dalam keadaan darurat yang meluas. Melainkan, cukup dengan indikasi yang telah nyata terjadi.
Misalnya, dakwah yang memicu tawur sosial oleh kelompok Salafy (An-Nas). Serta pernyataan propaganda ekstrem kiri (komunisme) terhadap paham yang telah dilarang di Indonesia (berdasar TAP MPR). Negara wajib segera hadir, sebelum ancaman (radikalisme) terhadap rakyat semakin meluas. Seluruh olok-olok, meng-anggap bid’ah dan kafir kelompok lain, serta ujaran kebencian, harus segera diakhiri. Sebelum chaos, tawur sosial terjadi.
Indonesia sudah dua kali mengalami pahitnya tragedi tawur sosial, tahun 1948 dan 1965. Ormas radikal, bisa condong “ke-kiri” (dipengaruhi paham komunisme). Serta bisa condong “ke-kanan,” dengan basis keyakinan agama eksklusif yang menyimpang. Kedua kelompok (“kiri” maupun “kanan”), bisa dikategorikan radikal. Konon, kedua kelompok memiliki “sayap politik” (setidaknya simpatisan) di parlemen.
Selama ini kelompok radikal bisa bebas merekrut anggota, dengan memanfaatkan isu pemurnian akidah agama, serta demokrasi. Walau sebenarnya, “geng” radikalisme sulit berkembang di Indonesia, karena menjadi musuh sosial bersama. Namun perlu waspada, radikalisme yang eksklusif menyasar kelompok potensial pemuda.

                                                                                                                  ———   000   ———

Tags: