Membina Suporter Sportif

Suporter Persebaya, Bonek (dan perempuan Bonita) sudah menunjukkan “harga diri” sebagai penyokong klub. Tribun di stadion GBT (Gelora Bung Tomo) Surabaya dipenuhi Bonek. Sampai memecahkan rekor penonton sepanjang gelaran Piala Presiden 2019. Suasana damai, tiada provokasi, tanpa insiden anarkhis. Padahal di dalam stadion berkumpul sebanyak 50 ribu orang. Rekor (baru) jumlah penonton yang sulit dipecahkan.
Suporter telah menjadi penyokong utama rekor jumlah penonton sepanjang Piala Presiden. Namun puncak even memapar kewaspadaan ekstra ketat, mencegah tersulutnya kebrutalan. Final Piala Presiden mempertandingan Persebaya vs Arema FC, di stadion GBT, tidak diikuti suporter dari Malang. Begitu pula leg kedua di stadion Kanjuruhan, Malang, tidak diikuti suporter Persebaya.
Tiada klub sepakbola tanpa suporter. Hidup-mati klub ditentukan oleh geliat suporter. Di Eropa, klub paling profesional pun akan “mati” manakala ditinggalkan suporter. Penghasilan klub, bergantung pada suporter. Selain tiket masuk (yang mahal), juga penjualan berbagai jersey klub. Serta pembayaran hak tayang televisi dan radio. Seluruhnya berbasis “kantong” suporter. Hal itu disebabkan suporter memiliki tipe psikologis ke-gila-an (fanatik).
Suporter secara psikologis biasa memiliki fanatisme. Terutama disebabkan klub kedekatan lokasi, se-kota. Gejala psikologis itu pula yang terjadi pada kawasan Catalunya, markas Barcelona FC. Begitu juga di Madrid, yang memiliki Real Madrid, dan Athletico Madrid. Di Roma (Italia) terdapat Lazio, dan AS Roma), keduanya berkibar pernah menjadi juara liga Serie A Italia. Bahkan London memiliki banyak klub (Arsenal, West Ham United, Tottenham Hotspur, dan Chelsea).
Di Spanyol, “derby” se-kota menjadi tontonan paling menarik pada ajang Copa del-Rey, memperhadapkan Athletico Madrid melawan Real Madrid. Dua klub yang sama-sama dibanggakan oleh pemerintah (dan kerajaan) Spanyol. Stadion nasional selalu dipenuhi penonton dari berbagai luar daerah. Dus, pertandingan derby bukan pertandingan “angker” yang mengancam keselamatan. Magnet tontonan bukan pada fanatisme ke-daerah-an, melainkan profesionalisme klub.
Persepakbolaan nasional, mencatat beberapa daerah pernah memiliki dua klub. Tetapi komunitas suporter di Indonesia, nyaris tidak memperoleh perhatian seksama oleh klub. Ulah suporter sepakbola Indonesia di berbagai daerah makin brutal selama satu dekade terakhir. Konon kebrutalan disebabkan penyusupan pelaku kriminalitas residivis.
Sebagian kelompok nyata-nyata dipimpin oleh preman yang biasa terlibat geng motor. Termasuk pencopet yang memanfaatkan keramaian pertandingan. Semakin mengkhawatirkan pada setiap pertandingan rivalitas suporter antar-klub. Terutama pada daerah yang berdekatan. Misalnya, rivalitas Persija dengan Persib. Juga Arema dengan Persebaya.
Suporter preman, sering menyulut kericuhan (tindak kekerasan) di sepanjang perjalanan. Mencegat kendaraan suporter klub lawan, sampai merusak angkutan umum (kereta-api) maupun bus pengangkut suporter. Memukul dengan senjata tajam, melempar batu dan membunuh suporter klub lawan, menjadi salahsatu tujuan. Sudah banyak korban harta dan jiwa masyarakat di sepanjang perjalanan!
“Darurat suporter” telah dimulai tiga tahun lalu. Kebrutalan terjadi pada pertandingan gelaran ISC (Indonesia Soccer Championship), di Sleman Yogyakarta, dan Gresik. Kerusuhan di jalan menuju stadion menyebabkan seorang suporter PSS Sleman, meninggal dunia. Bus yang ditumpangi dihadang, dan diserang. Terdapat luka bacok di kepala, dan luka tusuk. Di Gresik, kerusuhan suporter PS TNI sampai menyebabkan pertandingan dihentikan selama 20 menit.
PSSI bersama klub seyogianya meng-gagas “pemuliaan” suporter, dengan pola sistemik, dan menarik. Terutama meng-organisir sampai tingkat kecamatan. Serta penjualan tiket hanya melalui kelompok suporter yang terorganisir. Juga perlu memulai pertandingan dengan ikrar damai kelompok suporter, janji fair play pemain, serta sumpah keadilan wasit.

——— 000 ———

Rate this article!
Membina Suporter Sportif,5 / 5 ( 1votes )
Tags: