Mencoba Bangkit dari Lingkungan Kumuh – Rawan Banjir

Penanaman pohon di halaman belakang SMPN 36 Surabaya oleh Kepala Dindik Surabaya Ikhsan. Kebun itu semula merupakan tempat sampah yang kumuh.

Penanaman pohon di halaman belakang SMPN 36 Surabaya oleh Kepala Dindik Surabaya Ikhsan. Kebun itu semula merupakan tempat sampah yang kumuh.

Kota Surabaya, Bhirawa
Orangtua memilihkan sekolah untuk anaknya ibarat orang yang masuk ke toko swalayan dan ingin membeli sesuatu. Pertama, konsumen pasti akan melihat bungkusnya, menarik atau tidak, baru mereka melihat isinya. Begitu melihat isinya yang luar biasa, mereka baru akan menentukan pilihan. Jadi ‘bungkus’ ini sama seperti wujud sekolah itu terlihat kasat mata.
Saat ditanya di mana tempat paling menyenangkan bagi anak? Seorang wali murid sebuah SD swasta ternama di Surabaya menjawab tempat paling disukai anaknya adalah game zone di mal. Jawaban itu tidak bisa disalahkan, anak siapapun akan senang diajak ke game zone dengan berbagai macam jenis permainan yang tersaji di sana. Namun, judul tulisan ini sudah terlanjur dibuat sekolah yang menyenangkan. Jadi harus sekolah yang jadi tempat menyenangkan.
Maka pertanyaan ini harus kembali ditanyakan. Kepada sejumlah anak SMA yang bergerombol di warung kopi usai pulang sekolah, pertanyaan itu dilontarkan. Mereka menjawab di sini (warung kopi) tempat paling menyenangkan. Jawaban itu juga tidak bisa disalahkan tapi tidak sesuai yang diharapkan. Dari situ, mungkin ada yang salah dengan pertanyaannya. Sehingga harus diganti dengan pertanyaan lain yang lebih mudah dan spesifik.
Apakah sekolah jadi tempat menyenangkan? ‘Ya’ jawab salah satu siswa SMPN 36 Surabaya Yusrizal Kamil. Siswa yang kini duduk di kelas tiga itu mengaku senang karena bisa sekolah di mana teman-temannya juga ada di situ. Tentu saja itu bukan satu-satunya alasan. Karena jika hanya pengaruh teman, orangtuanya pun tidak akan setuju dia bersekolah yang tak jelas kualitasnya.
Zainal Arifin, orangtua Yusrizal mengatakan sekolah ini dulu terkenal sebagai sekolah pinggiran. Kumuh dan sering diistilahkan tenggelam dalam lumpur saat musim hujan tiba. “Sekarang sudah tidak demikian. Perkembangan sekolah cukup baik dan cepat. Bahkan sudah jadi sekolah adiwiyata,” kata Zainal.
Jika tidak demikian, Zainal mungkin juga berpikir ulang memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Seperti kutipan di atas ‘Orangtua memilihkan sekolah untuk anaknya ibarat orang yang masuk ke toko swalayan dan ingin membeli sesuatu. Pertama, konsumen pasti akan melihat bungkusnya’. Ungkapan itu ditulis Munif Chatib dalam bukunya ‘Sekolahnya Manusia’. Tulisan itu mengawali bab tentang sekolah-sekolah yang berhasil melompat dari keadaan terpuruk dan berhasil sukses.
Bagian buku itu persis seperti dialami SMPN 36 Surabaya. Koordinator Penelitian dan Pengembangan SMPN 36 Surabaya Yekti Handayani mengakui, langkah utama yang dilakukan untuk mengubah imej sekolah ialah dengan mengubah wajah sekolah itu sendiri. Di antaranya membangun budaya peduli lingkungan yang diekspresikan dengan berbagai macam aksi. “Kita memiliki gerakan zero sampah yang bekerjasama dengan pengelola kantin. Mereka diimbau tidak menjual makanan yang menyisakan limbah,” kata Yekti.
Dia mengakui, sekolah itu semula dipandang sebelah mata. Lingkungannya kumuh dengan sampah yang menumpuk di halaman belakang. Namun sejak 2011 lalu, kesadaran membangun sekolah berbudaya lingkungan mulai tumbuh dengan konsep sekolah adiwiyata. Mulanya, sekolah meminta Dinas Kebersihan setempat untuk mengangkut sampah yang sudah ada sejak 1996. “Saat dibersihkan, volume sampah yang diangkut mencapai 15 truk,” kata dia.
Setelah dibersihkan, pihak sekolah lalu membuat aturan untuk guru dan siswa agar membawa tempat minum dan makan sendiri saat di sekolah. Yekti menghitung, jika siswa di SMPN 36 saja jumlahnya mencapai 900 anak, lalu setiap anak membeli minuman dengan bungkus plastik dua kali dalam sehari, maka limbah plastik dari minuman itu bisa ditekan sampai 1.800 biji. “Inikan sudah jumlah sampah yang luar biasa. Dalam sebulan sudah bisa dihitung sebarapa banyak sampah kalau tidak ditekan jumlahnya,” kata dia.
Sampah bukan satu-satunya persoalan, karena ancaman banjir setiap musim hujan juga mengintai. Pihak sekolah pun berinisiatif membuat lubang biopori. “Ada 363 lubang biopori di sekolah ini,” kata dia. Selain untuk resapan, biopori juga untuk wadah sampah organik yang selanjutnya disulap menjadi pupuk organik. “Di belakang sekolah yang dulu tempat sampah itu sekarang jadi kebun sekolah. Hasil kebun dijadikan sebagai echopreneur,” kata dia. Tahun lalu, sekolah ini berhasil mewakili Surabaya sebagai peserta seleksi sekolah Adiwiyata tingkat nasional mewakili Surabaya.
SMPN 36 Surabaya bukan satu-satu potret sekolah yang bangkit. SDN Rungkutkidul III Surabaya mengalami hal yang sama. Sekolah itu hanya berbatasan satu tembok dengan Pasar Pahing Rungkut Kidul. Persis di belakang stan penjualan ikan dan sayuran. Sekitar tujuh bulan lalu, Sri Utami ditugaskan memimpin sekolah itu. Begitu memasuki hari pertama, Utami merasa mau pingsan. Bau tak sedap seperti bangkai menyeruak hingga ke kelas dan ruang kepala sekolah. “Saya sampai mau pingsan waktu itu,” tutur dia.
Utami semula tak sadar jika bau tak sedap itu muncul secara alami dari limbah pasar. Berkali-kali kantor dia bersihkan baunya tetap saja menempel. Lalat pun berterbangan di halaman dalam jumlah besar. “Saya lalu diingatkan para guru kalau itu ternyata bau dari pasar,” akunya.
Dari situ, Utami pun berpikir apa yang akan dilakukannya. Dia pun membicarakan keluhannya ke Ketua Rukun Warga. “Alhamdulillah ada tindakan. Pasar langsung dibersihkan dan bau mulai berkurang,” tutur dia.
Sekolah yang berdiri di lingkungan kumuh bagi Utami adalah tantangan baru. Dia pun memulai berbagai upaya untuk menciptakan sekolah yang lebih menyenangkan dimulai dari lingkungannya. “Ini harus didukung dengan kesadaran semua, guru, siswa dan wali murid,” kata dia.
Siswa mulai diajarkan kesadaran bersih dengan permainan operasi semut. Mereka berjalan dari pintu gerbang sekolah sambil menengok kanan-kiri. Kalau ada sampah, mereka bertanggung jawab untuk membersihkannya. “Kita memiliki halaman sekolah yang kecil, kalau tidak dijaga kebersihannya sekolah ini akan semakin kumuh dengan lingkungan yang sudah sedemikian rupa,” tutur dia. [tam]

Tags: