Menera Semangat Berbahasa Indonesia

Susanto

Refleksi Bulan Bahasa 28 Oktober 2023

Oleh:
Susanto
Kepala SMA Negeri 1 Sugihwaras-Bojonegoro

Seiring berjalannnya waktu Sumpah pemuda sudah tahun ke-95 sejak dikumandangkan tahun 1928 silam. Semangat kebangsaan dan kebahasaan mengalami perubahan yang dinamis seiring perkembangan teknologi informasi. Tentunya ada pro dan kontra terkait semangat berbahasa dan berkebangsaan. Pro karena Bahasa Indonesia kehadirannya tetap akan mempersatukan semangat kebangsaan baik nasional dan internasional. Kontra karena Bahasa Indonesia akan ditinggalkan oleh generasi karena banya munculnya bahasa gaul dalam tata kehidupan seperti saat ini.

Lantas bagaimana agar bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa pemersatu dan generasinya tetap memahami kaidah kebahasaan yang baik dan benar meskipun muncul bahasa gaul dan istilah asing yang marak seiring perkembangan teknologi?

Fakta Kebahasaan
Kalau mau jujur saat dunia dilanda pandemi Covid-19 banyak muncul istilah. Misalnya ungkapan cuci tangan mengandung makna yanag berbeda sesuai konteks kalimat. Ungkapan cuci tangan digunakan dalam kalimat yang berbeda tentunya makna juga beda. Misalnya, Pak Lurah cuci tangan setelah makan pisang raja. Kata cuci tangan dalam kalimat tesebut tentunya memiliki makna melakukan aktivitas membersihkan tangan dari kotoran yang menempel pada tangan. Dalam KBBI cuci tangan dimaknai membasuh dengan air.

Namun, berbeda sekali dengan kalimat: Pak Camat Kempot cuci tangan terkait korban Covid-19 yang melanda wilayahnya. Makna ungkapan pada kata cuci tangan kalimat ini berarti lepas tanggung jawab. Dalam konteks yang demikian, kata cuci tangan yang sekarang menjadi viral di masyarakat disadari atau tidak telah mengubah pola perilaku dan karakter untuk selalu membersihkan diri agar dalam kondisi sehat.

Ungkapan pada esensinya bentuk ujaran yang maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditafsirkan dari makna-makna unsur pembentuknya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Bahwa idiom umumnya dianggap merupakan gaya bahasa yang bertentangan dengan prinsip penyusunan kekomposisian (Principle of Compositionality). Munculnya akronim atau istilah tak jarang masih menyisakan “gagal fakus” bagi masyarakat dalam memahaminya. Pada esensinya adalah kependekan yang berupa suatu gabungan dari huruf atau suku kata, maupun bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Begitu juga dengan istilah dalam KBBI dimaknai kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu.

Munculnya, akronim, singkatan, dan Istilah saat Covid-19 menambah perbendaharaan kata yang mencerahkan. Literasi pembaca atau masyarakat bertambah banyak. Munculnya, kata-kata itu bisa mengedukasi dalam memahami wabah korona. Misalnya, ODP (Orang dalam Pemantauan). Dalam kalimat, Di Kabupaten Bojonegoro 47 orang yang menjadi ODP. ODP dalam hal ini, dipahami bahwa di Kabupaten Bojonegoro ada sejumlah orang dalam pemantauan terkait korona. Begitu juga PDP (pasien dalam pengawasan). Setelah pulang dari Italia Alexander berstatus PDP. Hal itu, bermakna pasien dalam pengawasan dinas kesehatan setempat.

Sementara itu kata lain yang muncul, Suspect (diduga terkena virus karena sudah menunjukkan gejala dan pernah berkontak atau bertemu dengan orang yang positif Korona). Contoh kalimat: Jumlah nasional yang suspect mengalami kenaikan. Kata lain yang begitu menfenomena adalah kata: Lockdown (mengunci masuk keluar dari suatu wilayah/daerah/Negara). Contoh kalimat, Satu warga positif korona Tegal diLockdown lokal. Berbeda dengan kata Social Distancing (Menjauhi segala bentuk perkumpulan, menjaga jarak antar manusia, menghindari berbagai pertemuan yang melibatkan banyak orang. Adapun contoh kalimatnya, Dinas kesehatan memberikan himbauan agar masyarakat melakukan sosial distancing saat wabah korona.

Berbahasa Baik dan Benar
Lantas apa yang harus dipedomani munculnya kata-kata yang memfenomena saat Covid-19 kala dan bahasa gaul seperti sekarang ini? Pertama, perbendaharaan kata-kata mengalami dinamis. Artinya, dengan adanya pandemi masyarakat tercerahkan karena muncul beberapa kata yang sebelumnya “asing”. Sebab dengan perkembangan kata yang muncul secara otomatis akan mudah memahami konteks bahasa yang menjadi tuturan sehari-hari.

Kedua, ungkapan, akronim, singkatan, atau istilah yang belakangan muncul tentunya memberikan pemahaman kepada pembaca (baca: masyarakat). Kata, akan memiliki makna yang bebeda bila dalam konteks yang berbeda. Teks dan konteks sangat mempengaruhi mitra tutur dalam memahami tuturan. Pandemi atau bahasa gaul misalnya harus dapat dipahami sebagai sebuah bentuk literasi bahasa yang dapat mengubah pola perilaku dan karakter orang. Pamdemi, mengubah orang atau masyarakat yang acuh untuk cuci tangan menjadi rajin cuci tangan.

Ketiga, munculnya kata roasting dalam konteks kalimat: Nitizen melakukan roasting kepada salah satu capres. Kata itu bermakna mengolok-olok atau bahasa gojolokan. Namun kalau kita memiliki komiten berbangsa yang nasionalis justru kita tidak memiliki sikap seperti contoh kalimat itu. Adanya fakta kebahasaan saat pandemi covid justru yang terpenting bahwa masyarakat Indonesia harus menjaga bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Nah, kalau semua masyarakat dan bangsa khususnya para pemuda menguatkan satu sama lain dalam kesatuan pikiran dan tindakan dalam memahami kebahasaan secara otomatis akan menggelorakan kebangsaan sesuai spirit sumpah pemuda 95 tahun silam. Bangsa Indonesia kuat karena para pemudanya selalu menginspirasi karena menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bersatu dalam menghadapi persoalan bangsa seperti saat ini berbahasa Indonesia yang baik dan benar sebuah harga mati. Oleh karena itu, berbahasa Indonesia dalam konteks komunikatif jangan meninggalkan kaidah kebahasaan di tengah maraknya bahasa gaul baik di ruang publik (bahasa iklan/layanan Masyarakat) dan bahasa dokumen di pembelajaran (karya sastra).

———— *** ————-

Rate this article!
Tags: