Menertawakan Hidup

Judul Buku : Tragedimu Komediku
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : Pojok Cerpen
Tebal : xii + 276 halaman
Tahun Terbit : Juli, 2023
ISBN : 978-623-5869-18-6
Peresensi : Khairil Miswar
Founder POeSA Institute berdomisili di Bireuen, Aceh.

Judul buku “Tragedimu Komediku” karya Eka Kurniawan yang diterbitkan Pojok Cerpen mengingatkan kita pada quote popular: “The world is a tragedy to those who feel, but a comedy to those who think.” Quote tersebut diyakini berasal Horace Walpole, seorang penulis berkebangsaan Inggris yang hidup pada abad 18. Namun, beberapa sumber menyebut kutipan itu adalah milik Jean de La Bruyère, seorang penulis Prancis satu abad sebelumnya.

“Dunia adalah komedi bagi mereka yang memikirkannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya,” demikian maksud kutipan itu. Sayangnya, di pengantar bukunya, Eka Kurniawan sama sekali tidak menyinggung kutipan dari kedua penulis tersebut; sekadar untuk memastikan apakah dia mendapat inspirasi dari sana untuk judul bukunya atau tidak. Namun, bagi Eka, hal itu sepertinya tidak penting.

Buku setebal 276 halaman ini berisi 68 esai yang ditulis Eka Kurniawan di Koran Jawa Pos beberapa tahun sebelumnya. Topik dalam esai-esai itu cukup beragam. Umumnya adalah “celotehan-celotehan” ringan dalam menyikapi berbagai peristiwa yang terjadi. Dalam esai-esai tersebut, penulis mencoba memberi respons terhadap apa saja yang ia lihat, dengar dan ketahui dengan menggunakan perspektif seorang “pengamat.” Dia tidak hanya “menguliti” kebijakan-kebijakan pemerintah yang menurutnya kurang tepat, tapi juga mencoba mengoreksi beberapa perilaku masyarakat yang menurutnya harus diubah. Pikiran-pikiran itu ia sampaikan dalam bentuk candaan yang diisi dengan cerita-cerita satire.

Di bagian awal bukunya, Eka mengulas novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli. Menurutnya, novel yang berkisah tentang penderitaan pribumi tersebut telah berhasil mempermalukan masyarakat Belanda atas kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di tanah jajahan. Eka menghubungkan novel tersebut dengan realitas yang terjadi di Indonesia, di mana ada banyak sekali kebijakan yang membuat kita sendiri-sebagai rakyat-merasa malu, seperti dalam petikan berikut:

“Mulailah membaca tentang reformasi, Munir, dan Papua sekarang juga. Itu akan mempermalukan kita, memang, seperti orang Belanda merasa malu saat membaca Max Havelaar. Tapi, kita harus melewatinya” (hal. 4).

Terkait dengan orang-orang Papua, Eka juga menulis esai khusus dengan tajuk “Kita, Tetangga dan Papua.” Dia mengawali esai itu dengan cerita tentang pesta perkawinan adiknya yang sedianya akan dilaksanakan di gedung sehingga para tetangga mengajukan protes karena acara di gedung akan menafikan peran-peran mereka, di mana mereka tidak bisa terlibat dalam pesta tersebut. Dia menghubungkan pengalaman pribadi ini dengan nasib orang-orang Papua.

Eka menulis: “Setiap kali saya pergi ke toko swalayan atau warung makan, masih mungkin saya bertemu orang sebagai pelayan maupun pemilik warung yang berasal dari Padang, Aceh, Bugis dan Bali. Tapi, tak pernah saya bertemu orang Papua. Jika kamu bekerja di sebuah kantor, seberapa kemungkinannya kolega kerjamu orang Papua?” (hal. 37). Dan, apa yang dikatakan Eka memang benar, sebagai bangsa terkadang kita lupa bahwa Papua adalah bagian dari kita.

Di bagian lain, Eka juga membicarakan banyak isu lainnya, tak melulu politik, tapi juga soal kekerasan seksual, sikap rasis, perang, konflik, disrupsi kuasa, narasi tunggal dan tentunya kesusasteraan. Sebagai seorang sastrawan (novelis), hampir semua esai Eka dalam buku ini mengandung kutipan dari karya sastra yang pernah ia baca, baik novel, cerpen dan bahkan film. Sepertinya Eka sengaja menggunakan karya-karya fiksi itu sebagai neraca untuk melihat realitas sesungguhnya yang terkadang penuh dengan komedi dan bahkan tragedi.

Penggunaan gaya bertutur dalam setiap esai membuat buku ini menjadi sangat ringan dibaca semua kalangan. Kadang-kadang ia juga menyelipkan humor seperlunya, terlebih ketika ingin mengkritik sesuatu, apakah itu pemerintah, masyarakat atau dirinya sendiri. Satu-satunya kekurangan buku ini adalah tidak adanya klasifikasi topik atau pembagian bab, seolah memaksa pembaca untuk menyelesaikan buku ini sekali duduk. Atau mungkin gaya demikian adalah ciri khas penerbit Pojok Cerpen, sebab buku Nezar Patria yang terbit sebulan lalu juga disusun dengan pola yang sama.

————- *** —————

Rate this article!
Menertawakan Hidup,5 / 5 ( 1votes )
Tags: