Mengedukasi Pekerja Manfaatkan Program JHT

wahyu1Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Program Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan salah satu program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam pasal 35 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjelaskan peserta bisa menerima manfaat JHT apabila masuk masa pensiun, mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia. Manfaat tersebut dapat diberikan secara sekaligus.
Sebagai aturan teknis, awalnya pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT. Karena mendapat reaksi penolakan dari pekerja akhirnya PP ini direvisi menjadi PP 60/2015 tentang Perubahan atas PP 46/2015.
Substansi paling mendasar dari perubahan tersebut adalah menampung aspirasi pekerja yang menginginkan agar jika mereka mengalami PHK dapat mencairkan JHT yang tidak bisa dilakukan dalam aturan sebelumnya. Dalam revisi tersebut, para pekerja yang terkena PHK atau berhenti bisa mencairkan JHT satu bulan setelah mereka terkena PHK atau berhenti bekerja. Selain itu, PP 60 Tahun 2015 juga menjelaskan soal pengaturan pencairan manfaat JHT bagi pekerja/buruh yang mencapai usia pensiun, mengalami cacat total tetap dan meninggal dunia termasuk yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau berhenti bekerja.
Adapun bagaimana tata cara dan pembayaran manfaat Jaminan Hari Tua diatur lebih lanjut secara detail dengan Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Dalam aturan-aturan baru tersebut, mulai 1 September 2015, Jaminan Hari Tua (JHT) para pekerja yang berhenti bekerja atau terkena PHK bisa dicairkan sesuai besaran saldo. JHT tersebut juga bisa dicairkan bagi pekerja yang meninggal dunia dan pekerja yang sudah mencapai usia 56 tahun serta Pekerja yang mengalami cacat tetap.
Pasca terbitnya kedua peraturan teknis itu peserta JHT yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa memperoleh manfaat JHT tanpa syarat minimal kepesertaan. Imbasnya, pekerja pun beramai-ramai menarik simpanan JHT yang dimilikinya. Memang, sepintas aturan baru ini membuat pekerja lebih mudah untuk mencairkan JHT, namun dalam jangka panjang justru kondisi ini akan membuat makna JHT sebagai jaminan hari tua menjadi tidak bermakna lagi. Dengan kata lain, aturan baru ini tidak sesuai dengan filosofi JHT yakni memberi jaminan kepada peserta yang mengalami resiko hari tua.
Mengedukasi Pekerja
JHT harus diselenggarakan sesuai filosofinya, jangan diutak-atik karena alasan butuh uang ketika menganggur. Imbal hasil yang diperoleh peserta dalam manfaat JHT menjadi sedikit ketika syarat pengambilan dana JHT dipermudah seperti diatur PP No.60 Tahun 2015 dan Permenaker No.19 Tahun 2015. Sebab BPJS Ketenagakerjaan mengutamakan untuk berinvesitasi pada instrumen jangka pendek sehingga imbal hasilnya rendah. Tentunya itu merugikan bagi peserta.
Untuk menjaga agar filosofi program JHT sesuai amanat konstitusi dan UU SJSN maka diperlukan syarat-syarat tertentu untuk mendapat manfaat JHT. Selain sebagaimana diatur dalam UU SJSN, bisa jadi perlu diadopsi pasal 15 UU No.3 Tahun 1992 tentang Jamsostek. Ketentuan itu menyebut peserta yang mengalami PHK dan masa kepesertaan minimal 5 tahun bisa mendapat manfaat JHT. Filosofi JHT harus dikembalikan agar pekerja bisa terjamin di hari tua.
Program JHT adalah program keuangan yang sejatinya juga merupakan bagian dari perencanaan keuangan pekerja. Falsafahnya sederhana. Setiap orang pasti memiliki risiko. Salah satunya, risiko menjadi tua dan kemudian tidak bisa bekerja lagi. Lalu, bagaimana pekerja menghadapi kondisi seperti itu? Salah satu pilihannya adalah menabung atau ikut serta program JHT yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan.
Tabungan itu dilakukan dalam bentuk membayar iuran, di mana total iurannya sebesar 5,7 persen per bulan dari upah yang diterima. Dari 5,7 persen itu, sebesar 3,7 persen dibayarkan pengusaha atau pemberi kerja dan 2 persen lagi dibayarkan pekerja. Format kontribusi iuran secara bersama itulah yang membedakan program JHT dengan tabungan biasa ataupun jika mengikuti asuransi, di mana seluruh dana yang dibayarkan berasal dari pekerja. Sementara jika mengikuti program JHT yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, iurannya dibayarkan dua belah pihak, tetapi haknya dimiliki pekerja. Ini sesuai dengan falsafah gotong royong yang termaktub dalam prinsip jaminan sosial. Lantas, muncul pertanyaan, mengapa tidak boleh ditarik kapan saja?
Pertanyaan semacam ini menjadi benar jika tabungan tersebut bersifat sukarela. Tidak ada dasar hukumnya dan diselenggarakan oleh pihak swasta. Namun, berbeda dengan JHT. Program JHT ini merupakan amanah undang-undang. Artinya merupakan program negara yang wajib diikuti seluruh pekerja dan pemberi kerja atau pengusaha. Tujuannya adalah agar pekerja tidak menjadi miskin ketika memasuki hari tua dan tidak produktif lagi. Jika para pekerja hendak mendapatkan kebebasan dalam menarik dananya, maka yang seharusnya diikuti adalah program tabungan di berbagai bank. Sebab, tabungan semacam itu bersifat individu dan atau pribadi. Namun, jangan lupa, karena tidak diatur negara, iuran atau tabungannya menjadi kewajiban si pekerja. Pengusaha tidak wajib membantu dalam program tabungan sukarela pekerja. Itulah hakikat lain yang membedakan tabungan individu dengan JHT.
Mengembalikan JHT Sesuai Filosofi
Memang ada sisi dilematis menyangkut aturan tentang pencairan klaim JHT pekerja. Lantaran itu perlu diambil jalan baru agar bisa memihak pekerja yang sedang mengalami PHK atau menganggur dan pada sisi lain filosofi JHT tetap terjaga yakni menjamin masa tua pekerja yang lebih baik. Misalnya dengan membuat kebijakan yang memberi jaminan bagi pekerja yang mengalami PHK atau menganggur sehingga tidak perlu tidak perlu lagi mengambil dana JHT karena sudah dijamin lewat tunjangan tersebut. Sementara bagi pekerja berstatus kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) diusulkan bisa mendapat pesangon yang besarannya dihitung secara proporsional.
Pesangon itu diharapkan dapat membantu pekerja yang kontraknya habis untuk mencari pekerjaan baru sehingga dana JHT bisa digunakan ketika masuk hari tua. Selain itu, syarat minimal masa kepesertaan untuk mencairkan manfaat JHT bagi peserta yang mengalami PHK adalah penting agar manfaat yang diterima peserta lebih besar. Pasalnya, BPJS Ketenagakerjaan akan menempatkan dana JHT yang dikumpulkan dalam instrumen investasi yang memberikan imbal hasil di atas rata-rata bunga deposito BI. Bisa saja mengembalikan syarat masa kepesertaan minimal 5 tahun bagi peserta yang mengalami PHK, ketentuan itu pernah berlaku dalam program JHT semasa dikelola PT Jamsostek. Mengingat UU SJSN dan UU BPJS tidak mengatur ketentuan itu maka Pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengadopsi ketentuan sebagaimana diatur Pasal 15 UU No. 3 Tahun 1992 itu. Jika Perppu itu sudah diterbitkan maka pemerintah harus merevisi PP No. 60 Tahun 2015 dan Permenaker No. 19 Tahun 2015.
Akhirnya, filosofi Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sebagai tabungan bagi pekerja saat memasuki usia pensiun, sangat penting untuk kesejahteraan para pekerja di masa tuanya. Masyarakat pekerja yang ada saat ini mungkin belum merasakan dampak jangka panjang yang nantinya sangat mungkin dihadapi. Seperti diketahui, Indonesia sedang menikmati bonus demografi, dimana mayoritas penduduk merupakan masyarakat dengan usia produktif. Pada tahun 2050, penduduk dengan usia lebih dari 65 tahun akan meningkat sebanyak 338,6%. Dengan tidak adanya persiapan hari tua yang baik, bukan tidak mungkin bonus demografi yang saat ini dinikmati bisa menjadi bencana di masa yang akan datang. Hari tua yang sejahtera harus dipersiapkan dengan matang, salah satunya dengan mengembalikan fungsi JHT sesuai dengan filosofinya.

                                                                                                       ————- *** ————–

Tags: