Mengembalikan Dunia Anak yang Tertukar

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Anggota Dewan Pendidikan Kota Surabaya; Dosen di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Sunan Giri (Unsuri), Surabaya 

Kisah mengharu biru yang dialami Virda Okky Dwi Novianti siswi kelas 3 SDN Banyuurip Surabaya menarik untuk disimak. Anak yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Gang Dolly –yang dikenal sebagai kompleks lokalisasi di Surabaya yang terbesar di Asia– dipaksa melupakan dunianya (baca : dunia anak-anak) karena harus berjuang untuk menghidupi dirinya agar tetap sekolah. Ketika dua orangtuanya tidak lagi bisa mengasuhnya –sang ayah masuk penjara tersandung kasus narkoba, sementara sang ibu dalam kondisi sakit berat– membuat Virda harus melupakan apa itu makna kehangatan keluarga, Bhirawa (1/8/2018).
Untuk bisa melanjutkan hidup dan sekolahnya, Virda kadang menyanyi dari panggung ke panggung dangdut demi mendapat uang saweran yang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Lantas kepada siapa Virda meminta pertanggungjawaban atas nasibnya yang terlantar karena lahan yang biasanya menjadi tempat kerja sang ayah (baca : Gang Dolly) ditutup?. Haruskah Virda yang tidak pernah memilih untuk dilahirkan di tengah lokalisasi tersebut menanggung sendirian derita hidupnya?
Bahwa dibalik banyaknya pujian yang dialamatkan kepada Pemkot Surabaya karena berhasil mengakhiri praktik prostitusi di Gang Dolly ternyata masih menyisakan persoalan lain. Cerita manis tentang keberhasilan menutup lokalisasi Gang Dolly seolah menutup duka dan derita anak-anak yang harus ikut terlantar akibat tutupnya Gang Dolly tersebut.
Sementara jauh dari kisah kehidupan yang terjadi di sekitar bekas lokasilisasi Gang Dolly Surabaya, polisi di Ibukota Jakarta mengamankan puluhan pekerja seks komersial (PSK) terkait praktik prostitusi di Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Ironisnya lima di antaranya masih anak-anak di bawah umur. Praktik prostitusi yang juga menjajakan anak di bawah umur tersebut ternyata telah berlangsung selama dua tahun ini, Kompas (8/8/2018).
Dua cerita di atas, sesungguhnya bukanlah persoalan yang baru kita baca, namun cerita yang sudah terlalu sering kita dengar dan saksikan. Banyak anak-anak yang dipaksa melupakan statusnya sebagai anak-anak karena dituntut melanjutkan hidup. Tekanan dan himpitan kebutuhan ekonomi yang membekapnya memaksa sang anak menjalani kehidupan bak orang dewasa. Memasuki dunia kerja atau bahkan memasuki dunia terlarang dengan menjadi PSK jelas bukan karena pilihan hidupnya. Keluguan karena umurnya yang masih belia ditambah tuntutan dan himpitan ekonomi membuatnya terjebak dan terseret dalam dunia hitam. Dunia anak-anak yang sesungguhnya harus dinikmati anak-anak seusia mereka direnggut paksa oleh kehidupan. Dunia orang dewasa pun dijalaninya di kala jiwa dan fisiknya masih anak-anak.
Bahwa apa yang digambarkan di atas menunjukkan betapa banyak anak-anak yang harus berperan sebagai orang dewasa di sekitar kita. Implikasi dari situasi itu bukan saja dirinya harus dipaksa menjadi dewasa, tetapi juga fase kehidupan sebagai anak-anak yang penuh riang dan gembira menjadi tidak didapatkannya lagi.
Di luar itu, faktor yang memaksa seorang anak harus tergelincir ke dunia orang dewasa acap justru ‘difasilitasi’ orang tua sendiri. Artinya, justru para orangtua mereka sendirilah yang merenggut dunia anak-anak yang seharus mereka nikmati. Bisa jadi orangtua melakukannya tanpa pernah menyadarinya bahwa apa yang dilakukannya tersebut sesungguhnya adalah membawa sang anak melampaui batas dunianya.
Para anak dengan difasilitasi para orangtua menemukan keasyikan di dunia baru seperti: play station, game online, lagu-lagu k-pop yang hits, dan film TV yang menayangkan kisah orang dewasa dan tidak patut untuk menjadi teladan bagi anak-anak. Anak-anakpun ikut-ikutan disibukkan dengan permainan baru ala orang dewasa dengan Blackberry Messenger (BBM), facebook (FB), twitter, dan sebagainya. Semua fasilitas yang disediakan para orangtua tersebut tentu baik ketika dilakukan dengan kontrol dan pengawasan yang baik. Namun ketika semua dilakukan tanpa kontrol dan cenderung membiarkan sang anak menikmati dunia barunya tersebut membuat perlahan sang anakpun mulai melupakan dunianya, yakni dunia anak-anak.
Tanggung Jawab Keluarga
Terlepas dari semakin mudahnya akses informasi manusia dalam memperoleh pengetahuan. Kita sebaiknya para orangtua bersikap selektif agar anak-anak tidak kehilangan jati dirinya sebagai anak-anak yang identik dengan aktivitas bermain. Sehingga harus ada sekat yang tegas tentang ruang mana saja yang boleh dimasuki oleh mereka (baca: anak-anak), agar ada filter terkait hal-hal atau berita yang boleh dan tidak boleh diakses oleh anak-anak.
Hal tersebut dimaksudkan supaya anak-anak tidak terpapar dampak negatif dari melesatnya teknologi informasi, seperti; radikalisme, konten-konten video porno, dan sebagainya. Dengan kata lain, perilaku anak tidak dipengaruhi oleh kebebasan yang diajarkan dalam dunia maya, sehingga anak-anak berkembang dan tumbuh menjadi anak yang memiliki kepribadian yang baik. Benar bahwa kreativitas memerlukan kemerdekaan. Namun, kemerdekaan disini bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Perlu ada kebiasaan untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk menentukan sendiri pilihannya, arah dari pilihan tersebut serta resiko apapun yang bakal terjadi dari pilihan tersebut. Persoalannya, anak kurang dididik untuk mengungkapkan dan mengenali dirinya. Anak lebih banyak dikendalikan daripada dimerdekakan. Sebab kemerdekaan itu besar resikonya dan dibutuhkan kesediaan untuk mungkin’diberontak’ oleh anaknya. Salah satu buktinya, polling yang pernah dilakukan oleh salah satu media tentang keinginan orangtua terhadap anaknya, hampir 70 % orangtua menginginkan anaknya rajin, sopan dan patuh dan hanya segelintir orangtua yang menginginkan anaknya cerdas dan kreatif.
Peran Sekolah
Faktor berikutnya penyebab anak-anak kehilangan kreativitas dan dunianya adalah pendidikan formal dalam hal ini sekolah ataupun universitas. Sekolah yang idealnya menawarkan kegembiraan dan dunia petualangan yang bikin penasaran dalam banyak hal tidak lebih baik dari pola pendidikan orangtua kebanyakan.
Di sekolah para anak didik acap terlalu disetting dan diformat sesuai dengan kehendak dan keinginan sekolah. Ketika memasuki halaman sekolah, anak-anak sebagai individu hilang secara autentik. Yang ada adalah penyeragaman yang menepis kekhasan manusia sebagai makhluk unik yang tak bisa dibandingkan dengan manusia lain diluar dirinya. Proses pendidikan semacam ini menurut Chaedar Alwasih (1993;23) hanya berfungsi untuk ‘membunuh’ kreativitas siswa, karena lebih mengedepankan verbalisme. Verbalisme merupakaan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual.
Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, hubungan antara guru dengan murid sangat hirearkis dan bersifat vertikal; bahwa guru bicara, menjelaskan dan memberi contoh sementara murid menjadi pendengar saja. Tidak banyak yang sadar bahwa dengan model pendidikan yang menjadikan murid semata-mata sebagai obyek adalah bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap anak. Pendidikan gaya bank menghalalkan dipakainya kekerasan untuk menertibkan dan mengendalikan para murid. Murid dibelenggu dan ditekan untuk mematuhi apapun perintah dan anjuran pendidik. Kesadaran individu dikikis habis dan mengggantinya dengan kesadaran kolektif yang seragam. Parahnya, nilai kemanusiaan anak itupun direlevankan dengan nilai raport, semakin tinggi nilai raport maka akan semakin naik pula kemuliaan dan harga diri anak didik, orangtua dan gurunya. Korban dari sistem ini adalah eksistensi individu yang pada dasarnya memiliki kebebasan.
Proses pendidikan yang seharusnya, sebagaimana makna sejatinya yakni membebaskan potensi kemanusiaan yang ada dalam diri setiap individu belumlah terwujud. Yang ada justru pendidikan yang hanya menghasilkan airmata (Shindunata,2000). Kita dapat saksikan bagaimana dunia anak-anak yang sekarang, waktu yang seharusnya diisi dengan permainan dan kegembiraan dipaksa untuk belajar, menghapal, memahami dan mengerti berbagai paket pengetahuan. Dunia anak yang semestinya penuh tawa dan canda berubah menjadi dunia yang serius dan menegangkan. Yah, dunia anak-anak kita memang telah tertukar.
Wallahu’alam Bhis-shawwab
———– *** ————

Tags: