Mengganti Ketua DPR-RI

kursiTidak mudah memilih Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di pergulatan pergulatan politik cukup panas. Sidang pemilihan Ketua parlemen Indonesia (saat itu) beberapa kali di-istirahatkan. Lewat tengah malam suasana makin ricuh, banyak anggota DPR yang berteriak-teriak dan menjungkir meja. Kericuhan di parlemen disebabkan seluruh anggota DPR terpecah dalam dua kubu besar. Serta “berperang” secara diametral.
Sejak dilantik (September 2014 lalu), parlemen terpecah menjadi dua kubu besar. KMP dan KIH, dalam posisi diametral. Awalnya dulu, faksi KIH (Kelompok Indonesia Hebat) hanya memiliki 207 kursi. Koalisi dari F-PDIP, F-PKB, F-Nasdem dan F-Hanura, atau sekitar 37%. Selebihnya ter-koalisi dalam faksi KMP (Kelompok Merah Putih), dibawahkan oleh Golkar sebagai fraksi terbesar. Posisi setelah Golkar (berdasar jumlah kursi di DPR) adalah Gerindra, Demokrat, dan PKS.
Kepemimpinan DPR-RI saat ini, merupakan usulan KMP. Namun seiring dinamika politik, peta kekuatan (kubu-kubu) di DPR telah berubah total. Kini kondisi berbalik, faksi KMP menjadi minoritas, tinggal Gerindra dan PKS. Serta fraksi Partai Demokrat, yang memilih posisi floating. Setelah PPP, Partai Golkar dan PAN juga telah menyatakan mendukung “faksi pemerintah” (dan memperoleh jatah memiliki anggota kabinet).
Kini posisi Ketua DPR-RI akan berganti untuk yang ketiga kali. Boleh jadi, mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov), akan kembali menduduki jabatannya. Dipastikan tidak perlu “ribut-ribut” lagi untuk menetapkan jabatan Ketua DPR. Hanya diperlukan kesepakatan. Sebab jabatan di DPR selalu diterima oleh “pemilik” asal. Bagai menjadi “jatah” parpol. Sehingga Ketua DPR, pasti diduduki oleh kader partai Golkar.
Namun kembalinya Setnov (menjadi Ketua DPR) tergolong fenomena politik. Ketua Umum partai Golkar, ini pernah menyatakan mundur dari Ketua DPR, karena isu “papa minta saham.” Terdapat foto-foto Setnov, bersama Donald Trump (sebagai Capres Amerika serikat). Pada akhir 2015 lalu, seluruh hakim MKD Majelis Kehormatan Dewan, di DPR) memutus bahwa Setnov bersalah. Yakni, pelanggaran etika atas pengaturan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk meminta saham PT Freeport Indonesia.
Sidang MKD DPR, sampai memperdengarkan rekaman percakapan yang dikirim oleh menteri anggota kabinet Indonesia Kerja. Sebelum putusan diketok, Setnov memilih mengajukan mengundurkan diri dari posisinya sebagai Ketua DPR RI. Berselang 9 bulan, MK (Mahkamah Konstitusi) menyatakan, bahwa rekaman tersebut ilegal. Keputusan MK berdasar pada UU Informasi dan Transaksi Elektronika tahun 2008.
Berdasar amar Ketetapan MK itu, fraksi partai Golkar di DPR meminta MKD merehabilitasi nama baik Setnov. MKD juga telah merevisi keputusannya (pada akhir tahun 2015, bahwa Setnov bersalah melanggar etika). Berdasarkan liku-liku upaya hukum itulah Setnov bakal diajukan lagi menjadi Ketua DPR. Ini untuk menepis anggapan, (bahwa Setnov naik lagi) karena Donald Trump sukses memenangkan pilpres di Amerika.
Seluruh rakyat mengharap parlemen (DPR-RI dan DPRD) segera mulai bekerja. Terutama menghadapi perubahan politik (dan ekonomi) global tahun 2017, dampak pilpres Amerika Serikat. Juga suasana politik dalam negeri yang “anomali.” Misalnya, tiba-tibu isu SARA (suku antar-ras dan agama) tersulut, hanya karena ekses kampanye pilkada.
Ekses pilkada Jakarta, sangat miris. Bahkan menjadi berita men-dunia. Padahal pilkada serentak di seluruh indonesia bukan hanya pada tahun 2017, melainkan juga pada tahun 2018. Lalu disusul pilpres (pemilihan presiden) pada tahun 2019. Potensi ricuh Jakarta bisa terjadi di daerah lain, serta terhubung-hubungkan dengan pilpres.
Kinerja parlemen juga sangat bergantung pada suasana politik pada tataran grass-root. Namun parlemen tidak boleh “ter-sandera” pada konflik.Tidak penting benar siapa memimpin DPR.

                                                                                                         ———— 000 ————-

Rate this article!
Mengganti Ketua DPR-RI,5 / 5 ( 1votes )
Tags: