Mengunjungi Pondok Pesantren Penggerak Perekonomian

Pustakawan Ahli Utama pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur Drs Sudjono, MM saat mengunjungi Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqo (UW) Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. [Wahyu Kuncoro SN]

Kembangkan Potensi Produk Agribis, Layak Jadi Rujukan OPOP
Kota Surabaya, Bhirawa
Memiliki beraneka ragam produk agribisnis, beberapa pondok pesantren di Jatim ini layak rujukan dalam program One Pesantren One Product (OPOP) yang diusung Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Pondok pesantren itu diantaranya Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqo (UW) Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang dan Pondok Modern Sumber Daya At Taqwa Nganjuk.
Konsep One Pesantren One Product (OPOP) yang merupakan manifestasi dari janji Gubernur Khofifah Indar Parawanasa – Emil Elestio Dardak –yang terangkum dalam Nawa Bhakti Satya khususnya pada Bhakti ke-7 yakni Jawa Timur Berdaya– untuk mengangkat potensi yang berserak yang ada di bumi Jawa Timur.
Kehadiran ribuan pondok pesantren di Jawa Timur diyakini bukan hanya memberikan pengayoman psikologis bagi keragaman masyarakat Jatim, namun sesungguhnya juga memiliki potensi ekonomi yang luar biasa bila dikembangkan.
“Pondok pesantren sangat bisa menjadi penggerak ekonomi masyarakat sekitarnya,” kata Pustakawan Ahli Utama pada Dinas Perpustakaan dan Provinsi Jawa Timur Drs Sudjono MM saat berkunjung ke Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqo (UW) Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.
Pesantren yang memiliki jenjang pendidikan dari mulai dari Taman Pendidikan Kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi berupa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), saat ini bersama santrinya mengembangkan sejumlah komoditas tanaman agribisnis diantara buah Kelengkeng, Jambu Kristal, Ketela Rambat, hingga Jeruk.
“Pesantren ini sangat tepat dijadikan rujukan Pesantren lain di Jatim yang kini tengah mengembangkan program OPOP-nya ibu Gubernur,” kata Sudjono yang secara khusus datang ke pondok untuk menularkan virus literasi bagi kalangan santri dan santriwatinya. Selain Pesantren UW, Sudjono juga menyempatkan untuk melihat Pesantren Pomosda Nganjuk. Pesantren Pomosda merupakan salah satu pesantren modern tertua di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1880 M yang didirikan oleh KH. Hasan Ulama, yang berlokasi di Tanjunganom, Nganjuk.
Pesantren Pomosda Nganjuk memiliki pendidikan formal yang terdiri dari SMP, SMA, dan STT dan pendidikan Informal: Kepesantrenan, Madrasah Diniyah, dan TKQ/TPQ. Secara fisik mungkin sama, para santri bersekolah dalam sistem pendidikan formal, setiap pagi berangkat dan akan kembali saat waktu bersekolah setelah usai.
“Di Pomosda ini santri dibekali berbagai macam ketrampilan dalam program Vokasional Skill, seperti komputer, administrasi, pertanian, otomotif, tata boga, mading, paduan suara, drum band, berbagai macam olah raga dan lain sebagainya,” kata Sudjono. Dan hasilnya Pomosda mampu mencetak santri yang bukan saja kuat pemahaman agamanya tetapi juga memiliki ketrampilan di bidang pertanian yang mumpuni.
“Selain menghasilkan produk pertanian, Pomosda juga menghasilkan berbagai jenis pupuk dan penyubur lahan pertanian,” jelas Sudjono.
Menurut Sudjono, kampanye literasi yang dilakukan khususnya ke pondok-pondok tersebut dilakukan karena pertimbangan diantaranya melihat potensi sumber daya manusia di ponpes yang selama ini belum banyak disentuh. Padahal, lanjut Sudjono bila potensi SDM Santri pondok ini dikembangkan akan ikut memberdayakan masyarakat pondok dan sekitarnya. Lebih lanjut menurut mantan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur ini, kampanye literasi di Pesantren UW ini bertujuan untuk meningkatkan minat literasi kepada generasi millennials, kalangan santri di pesantren baik literasi baca maupun tulis.
“Selain bekal ilmu keagamaan, para santri nanti juga akan menjadi motor penggerak ekonomi ketika sudah keluar dari pondok dan berbaur dengan masyarakat,” harapnya.
Menurut Sudjono, berdasarkan data dari Perpustakaan Nasional 2017, frekuensi baca orang Indonesia rata – rata hanya tiga sampai lima kali per minggu. Jumlah buku yang dibaca hanya lima sampai 9 buku pertahun.
Kemudian, berdasarkan studi dari Central Conncecticut State University, Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara untuk minat literasi. Data ini juga diperkuat dengan studi dari UNESCO, menunjukan minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,01% atau 1:10.000. Ini menunjukan rendahnya minat literasi baca masyarakat Indonesia.
“Kampanye literasi dengan memperkaya sumber bacaan di kalangan pesantren ini terus kami galakkan, karena minat baca dan tulis kaum santri cukup tinggi. Sebab mereka memiliki budaya membaca kitab kuning,” terangnya.
Kepala SMA Primaganda, Hj Khumaidah mengatakan, kewirausahan atau entrepreneurship menjadi kajian yang tidak bisa dilepaskan oleh santri UW. Kewirausahaan merupakan proses mengidentifikasi, mengembangkan, dan membawa visi ke dalam kehidupan.
“Tiap orang yang hendak berwirausaha harus memiliki visi, visi itu bisa berupa ide inovatif, peluang, cara yang lebih daik dalam melakukan sesuatu,” terangnya. Bila semua visi itu dijalankan, hasilnya adalah sebuah usaha baru. Agribisnis dengan sejumlah komoditas tanaman buah itu hingga menjadi usaha mandiri pesantren yang terus dikembangkan. [Wahyu Kuncoro SN]

Tags: