Mengunjungi Rumah Adat Suku Tengger dengan Aktifitasnya

Rumah adat suku Tengger dengan kampung edelweisnya yang penuh dengan keindahan dan terlihat sangat asri. [Wiwit AP]

Dijadikan Mini Museum Budaya Suku Tengger, Ditanami 1.500 Bibit Edelweis
Kab Probolinggo, Bhirawa
Suku Tengger di Kabupaten Probolinggo, kaya akan warisan budaya. Salah satunya, rumah adat asli nenek moyang Suku Tengger. Untuk menemukannya, sangat mudah sekali. Yakni berada di Dusun Seruni, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Kini wisatawan tak perlu repot dan penasaran untuk mengetahui bentuk asli rumah warga Suku Tengger. Karena di Dusun Seruni itu, pengunjung bisa melihat langsung. Bangunan dari kayu, berukuran 9 X 10 meter. Dengan bentuk yang khas, rumah mayoritas berwarna coklat itu terasa lebih asri. Di sekeliling rumah, ada bunga edelweis.
Bunga abadi itu, sebelumnya tumbuh liar di sekitar Gunung Bromo. Namun karena banyak yang memetiknya sebagai oleh-oleh, masyarakat setempat kemudian membudidayakannya. Ada sekitar 1.500 bibit edelweis, yang ditanam di sekitar rumah adat itu.
Budidaya Edelweis itu diharapkan bisa mendongkrak ekonomi warga sekitar. Selama ini, bunga abadi itu digunakan sebagai souvenir. Setelah di budidaya, diharapkan tidak ada lagi warga setempat yang membuat souvenir dari bunga edelweis yang tumbuh liar di alam. “Rumah adat ini bisa menjadi museum, untuk mengetahui Suku Tengger,” terang Camat Sukapura, Yulius Christian, Kamis 17/1.
Dalam rumah adat itu, juga ada perabot dan interior Suku Tengger. Lengkap dengan tungku yang digunakan untuk memasak. Serta budaya warga tengger saat menerima tamu spesial. Lazim disebut tradisi “Gegeni Tengger”. Di dusun Seruni, di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Lokasinya berada di bawah Puncak Seruni Poin.
Bunga khas Bromo Tengger, Edelweis atau disebut bunga abadi, kini dibudidaya oleh sejumlah pecinta alam Gunung Bromo. Bunga yang terancam punah itu kini mulai dilestarikan. Sekelompok petani asli suku Tengger Bromo yang tergabung dalam Pokdarwis, dibantu Pemerintah Kabupaten Probolinggo untuk membudidayakan bunga tersebut. Sebanyak 1.500 bibit Edelweis ditanam di area rumah adat suku Tengger di lereng puncak Seruni poin.
Ketua Pokdarwis, Sugeng Djumadyono mengatakan, 1.500 bibit Edelweis itu dibudidayakan di lahan seluas setengah hektar. Tanaman Edelweis digunakan warga Tengger dalam upacara adat Suku Tengger seperti Agem-agem dalam perayaan Karo. “Ke depan, warga Tengger tidak lagi mengambil tanaman Edelweis dari alam bebas. Mereka bisa mengambil dari sini untuk keperluan adat,” tuturnya saat ditemui di Rumah Adat Tengger.
Sugeng menambahkan, tanaman edelweis sendiri merupakan kearifan lokal warga Suku Tengger Bromo. “Edelweis di sini jenisnya Anaphalis Javanica dan keberadaanya mulai langka, makanya dilestarikan,” tandasnya.
Lebih lanjut Camat Sukapura, Yulius Christian berharap, areal budidaya tanaman Edelweis ini bisa menjadi tempat pembelajaran bagi para siswa sekolah maupun masyarakat umum yang ingin belajar menanam edelweis dan mengenal budaya Suku Tengger. Apalagi jika datang saat pagi hari. Suasana sejuk pun membuat setiap pengunjung nyaman.
“Tentunya dengan adanya tempat ini, bisa jadi mini museum bagi wisatawan yang berkunjung. Selain mengenal tanaman khas Tengger, mereka juga tahu budaya Suku Tengger itu seperti apa,” kata Yulius.
Rumah adat Suku Tengger sendiri memiliki luas 10 x 9 meter persegi, di dalamnya terdapat berbagai peralatan sehari-sehari khas warga Suku Tengger serta Pawon Tengger, semua itu sebagai bentuk kelestarian budaya asli suku Tengger dan sebagai destinasi wisata kebudayaan Indonesia, paparnya.
Pada rumah adat Tengger yang asli, seluruh bahan yang menyusun rumah tersebut adalah kayu dan bambu, namun desain bentuk rumah adat masyarakat Tengger mulai dipengaruhi oleh arsitektur modern, sehingga yang dahulu atapnya terbuat dari bambu yang dibelah, kini atapnya sudah menggunakan genteng atau seng.
Ciri khas dari rumah adat Tengger yang dari dulu hingga sekarang masih terjaga adalah bagian depan rumahnya, yaitu terdapat balai-bali yang merupakan tempat duduk atau lebih mirip seperti dipan, yang diletakkan depan di depan rumah.
Di lereng Bromo, terdapat banyak rumah adat suku Tengger, rumah-rumah tersebut memiliki pola yang tidak beraturan. Rumah – rumah adat di desa Ranupane ini disusun secara bergerombol, saling berdekatan, anatar satu rumah dengan rumah yang lain hanya dipisahkan oleh jalur pejalan kaki yang sempit, pengaturan tatamasa bangunan yang seperti ini ialah untuk menghadapi serangan angin dan cuaca dingin yang ekstrim di lingkungan tersebut. Dengan pola tatamasa tersebut maka angin tidak bisa menerjang dan akan segera di blok oleh bangunan-bangunan rumah yang berkumpul tersebut, tambahnya. [Wiwit AP]

Tags: