Mengunjungi Sejarah Musala Tertua di Situbondo

Salah satu warga Situbondo dan aktivis LSM Wirabumi Irwan Rakhday melihat musala tertua di Desa Kayu Mas, Kecamatan Panji. [sawawi]

Berusia 150 Tahun, Pernah Ditawar Kolektor hingga 100 Juta
Kabupaten Situbondo, Bhirawa
Situbondo memiliki segudang sejarah dalam peradaban manusia. Salah satu yang kini tengah viral di masyarakat adalah musala di Desa Kayu Putih, Kecamatan Panji. Konon, musala ini adalah musala tertua di Kota Santri. Dulunya, musala ini menjadi pusat syiar Islam. Tak heran jika banyak ornamen dan ukiran kayu antik yang diburu sejumlah kolektor.
Musala kuno dengan umur ratusan tahun itu tetap berdiri kokoh hingga kini. Berdasarkan keterangan warga setempat, musala itu merupakan yang tertua di Kabupaten Situbondo. Ciri ciri musala tersebut masuk katagori kuno cukup beralasan. Karena diberbagai pilar musala masih tampak kuat meski sebagian dinding yang terbuat dari kayu mulai keropos.
Supriyanto, warga Desa Trebungan, Kecamatan Mangaran, mengatakan, musala dengan panjang 7,5 meter dan lebar 5 meter tesebut sejatinya milik H Ismail. Musala itu selain berbahan jati, juga sebagian terdiri dari kayu sukun. Seingat Supriyanto, musala itu dibuat pada 1655 Masehi di Probolinggo. Selanjutnya kayu-kayu musala itu dibawa ke Situbondo oleh Mbah Tahir sekitar tahun 1800-an. “Berarti usia musholla itu lebih dari 150 tahun. Katanya musala tersebut diangkut perahu dari Probolinggo ke Desa Kayu Putih ini,” tuturnya.
Masih kata Supriyanto, Mbah Tahir merupakan sahabat Kiai Syamsul Arifin pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Banyuputih, Situbondo. Mbah Tahir juga dikenal sebagai guru ngaji yang alim. Selain akrab dengan Kiai Syamsul juga akrab dengan kiai kampung desa setempat. Bahkan tak jarang keduanya berbeda pendapat. Selisih usianya pun agak tipis. “Tetapi tak tahu persisnya berapa perbedaan usia keduanya,” papar pria yang mengaku lahir tahun 1963 itu.
Anwar Sanusi, putra salah satu murid Mbah Tahir, mengatakan, berdasarkan cerita ayahnya, Sahwa, selain sebagai seorang guru ngaji Mbah Tahir juga guru kanuragan (ilmu dalam). Kata dia, musala itu awalnya berada di Kampung Nangka. Kemudian tahun 1970, dibeli oleh H Ismail Sobri kepada keturunan Mbah Tahir. “Baru beberapa waktu kemudian musala itu dipindahkan ke sini. Hingga sekarang, musala ini tetap dimanfaatkan dengan baik oleh ustadz setempat,” jelasnya.
Sementara itu pemilik musala, ustad Ahmad Fadlillah menerangkan, dulunya salah seorang kolektor barang antik pernah merayu dirinya untuk membeli musala tersebut. Sang kolektor mengaku tertarik karena ornamun yang ada memiliki nilai sejarah kuno yang kuat. Namun dengan tegas pria yang karib disapa Ustadz Ahmad itu menolak. Sebab katanya, musala itu merupakan warisan sejarah Situbondo. “Saya menolak dengan halus meski ada yang berminat,” ungkapnya.
Bahkan, lanju Ustadz Ahmad, beberapa kolektor lain ada yang minat mau menukar dengan sebuah mobil seharga 100 juta. Namun saat itu dirinya menolak karena merasa berat melepas musala yang banyak memiliki nilai sejarah kuno tersebut. “Sampai saat ini saya masih menolaknya,” terang putera H Ismail itu.
Terpisah, Irwan Rakhday, pegiat LSM Wirabhumi yang ikut mendatangi musala mengatakan, perwakilan Bidang Kebudayaan Dispendikbud Situbondo ikut mengamini klaim tersebut. Bahkan, tutur Irwan, saat itu dari Bidang Kebudayaan Dipendikbud Situbondo itu juga mengamini keberadan musala tersebut sebagai musala tertua di Kota Bumi Salawat Nariyah Situbondo. “Dari ciri cirinya, musholla yang ada di Desa Kayu Putih itu masuk sebagai salah satu sejarah kuno di Kota Santri,” pungkasnya. [sawawi]

Tags: