Menjaga Harga Pangan

karikatur ilustrasi

Kebiasaan spekulasi harga bahan pangan menjelang bulan Ramadhan, mulai menunjukkan gelagat fluktuasi. Tambahan “biaya dapur” diperlukan manakala harga mulai merambat naik. Catatan inflasi bulan Maret dan April, berada pada kisaran 3,41%. Tidak tinggi namun lebih tinggi dibanding bulan Pebruari (3,18%). Patut diwaspadai, karena diperkirakan inflasi Mei mencapai 3,50%. Maka pemerintah seyogianya lebih menjamin distribusi logistik pangan.
Begitu pula TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah), mulai berkinerja lebih keras. Misalnya dengan menggelar pasar murah, serta mulai mengatur penyaluran zakat. Terutama pembagian zakat orang kaya di kampung, lazimnya dikoordinasikan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan aparat desa. Menghindari keributan dan perebutan, penyaluran zakat wajib dilaksanakan dengan tetap menjaga martabat kemanusiaan.
inflasi bulan Mei, dipastikan mengalami pertambahan. Laju inflasi dipimpin oleh kenaikan harga pangan sayur, dan ikan laut (hasil tangkapan nelayan), dan harga kelompok sandang. Sebenarnya, inflasi bisa “dimaklumi” sebagai penghormatan pada petani dan nelayan yang tetap bekerja keras pada bulan puasa. Sedangkan kenakan harga sandang disebabkan demand (permintaan) yang bertambah. Sehingga berlaku hukum dagang suplay and demand.
Kelompok sandang (termasuk perhiasan emas) memimpin laju inflasi dengan nilai 0,29%. Menjelang bulan Ramadhan (sepuluh hari lagi), harga telur dan daging ayam, serta gula, diperkirakan memimpin laju inflasi. TPID seyogianya telah meng-agendakan operasi pasar, dengan cakupan lokasi lebih luas. Juga diharapkan, pemerintah tidak latah menaikkan tarif (listrik) dan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Karena sejak awal tahun 2018, pemerintah telah tiga kali menaikkan harga BBM.
Administered price (tarif yang ditetapkan oleh pemerintah), biasanya menyebabkan multiplier effect. Hal itu terbukti dengan kenaikan kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, menjadi pendorong laju inflasi terttinggi kedua. Selama bulan April tercatat mencapai 0,19%. Sehingga pemerintah patut waspada terhadap kenaikan harga pulsa telepon seluler. Juga pembayaran secara e-commerce yang semakin memasyarakat.
Kenaikan harga pulsa, selalu tanpa pemberitahuan kepada konsumen. Karena pembelian menggunakan plafon terendah, dengan harga tidak naik. Tetap Rp 5.000,- dan Rp 10.000,- per-isi ulang. Bahkan masih diberi harga promosi nomor baru. Kenaikan harga pulsa akan terbukti, karena terasa cepat habis. Termasuk paket data internet semakin mengecil. Misalnya, yang semula 500 megabyte, menjadi 400 megabyte.
Pemerintah perlu mengatur harga pulsa telepon seluler (dan paket data internet), karena pangsanya meliputi 136 juta penduduk. Sebagian memiliki tiga hingga empat nomor, sehingga tercatat sekitar 320 juta pelanggan telepon seluler. Pengeluaran pulsa tiap penduduk ditaksir mencapai Rp 70 ribu per-bulan, melalui tiga sampai tujuh kali isi ulang.
Jika setiap orang isi ulang sebanyak 5 kali per-bulan, dengan kenaikan Rp 500,-. Maka diperoleh angka “kemahalan” sebesar Rp 2.500,- per-bulan terhadap 320 juta pelanggan. Total angkanya mencapai Rp 800 milyar per-bulan, atau Rp 9,6 trilyun setahun. Itu menjadi pengeluaran yang tidak terdeteksi. Secara nasional, pengeluaran beli pulsa diperkirakan mencapai Rp 22,4 trilyun per-bulan, atau Rp 268,8 trilyun se-tahun.
Kebiasaan kenaikan harga saat Ramadhan, bagai rutinitas wajib. Beberapa daerah mesti siaga dengan kenaikan IHK (Indeks Harga Konsumen), terutama yang jauh dari sentra pangan. Serta daerah dengan sistem distribusi bahan pangan yang bergantung pada cuaca di perairan. Inflasi bahan pangan, patut dikhawatirkan berdampak lebih serius. Yakni makin bertambahnya keluarga miskin.
Pemerintah (dan daerah) berkewajiban mem-fasilitasi distribusi bahan pangan. Diantaranya melalui kinerja Divre Bulog, dan Toko Tani Indonesia (TTI). Pengeluaran rumahtangga wajib dilindungi dari spekulasi.

——— 000 ———

Rate this article!
Menjaga Harga Pangan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: