Menunggu KPK “Jilid” IV

Save KPKMasih ada waktu 15 hari lagi untuk memilih komisioner (pimpinan) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Meski sudah mepet waktu, seyogianya kelima komisioner dipilih secara cermat. Selain bebas dari ke-cacat-an hukum pada masa lalu, pimpinan KPK mestilah diketahui dedikasinya. Terutama “emosional-nya” dalam hal pemberantasan korupsi, termasuk pencegahan tipikor lebih sistemik. Tanpa “emosi,” korupsi akan terus menggelinding bagai bola salju.
Komisioner KPK akan berakhir masa jabatannya pada pertengahan Desember 2015. Mempersiapkan KPK “jilid” keempat, pemerintah telah menyerahkan 10 nama calon komisioner. Seluruh calon merupakan hasil penjaringan oleh tim sembilan “srikandi.” Seluruhnya perempuan. Namun hampir seluruh masyarakat yakin, inilah pansel terbaik (paing netral) yang pernah dibentuk untuk merekrut calon komisioner KPK.
Namun hampir seluruh masyarakat yakin, inilah pansel terbaik yang pernah dibentuk untuk merekrut calon komisioner KPK. Kelebihannya bukan sekedar altar gender, melainkan komposisi keahlian yang dimiliki anggota pansel sangat beragam. Sehingga tidak mudah lolos menjadi penegak hukum super body?! Termasuk tidak adanya unsur korps Kejaksaan yang lolos pada seleksi akhir (10 nama). Konon, personel kejaksaan yang diajukan, memiliki peringkat dibawah 10 nama terpilih.
Ke-tiada-an unsur korps Kejaksaan, juga menjadi perbincangan pada Komisi III DPR-RI. Hal itu dikaitkan dengan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, khususnya pasal  21 ayat (4). Norma pasal tersebut menyatakan, bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Dengan frasa “penuntut umum,” diartikan sebagai korps ke-jaksa-an. Maka, Komisi III DPR-RI harus mencermati risalah UU 30 taun 2002, pada awal pembentukannya.
Namun mencermati normat pasal 21 ayat (4), tidak serta-merta diartikan sebagai korps kejaksaan (maupun kepolisian). Pasal tersebut, seharusnya dipahami sebagai status tupoksi (tugas pokok dan fungsi) komisioner KPK. Yakni, sebagai penyidik dan penuntut umum. Norma ayat (4), berkait dengan ayat (3) yang menyatakan, bahwa status pimpinan KPK sebagai pejabat negara. Meski jabatannya bersifat ad-hock (hanya selama 4 tahunan), selama itu pula komisioner KPK adalah pejabat negara.
Rekrutmen KPK merupakan tahap awal kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi. Manakala rekrutmen-nya baik, maka terbuka kemungkinan menghasilkan komisioner yang baik. Namun manakala rekrutmen menanggung beban “titipan,” niscaya akan menjadikan kinerja KPK berdasarkan “order.” Pada periode terdahulu, sering dikeluhkan adanya indikasi tebang pilih. Bagai memilih pekerjaan berdasar “order.” Siapa harus ditebang lebih awal? Bergantung pada order.
Berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002, pasal 30 ayat (8) angka ke-2, presiden memilih 10 nama dari daftar bakal calon komisioner yang diserahkan oleh Pansel. Selambat-lambatnya 14 hari. Selanjutnya ke-10 nama bakal calon komisioner diserahkan (oleh presiden) untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR-RI (Komisi III).
Saat ini, giliran DPR untuk menentukan lima dari 10 nama yang diajukan pemerintah (hasil pansel). Pada pasal 30 ayat (10), dinyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan … dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia.”
Pembentukan KPK, merupakan amanat ketetapan MPR-RI Nomor Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Lebih lagi, Indonesia sudah meratifikasi konvensi dunia untuk anti-korupsi, United Nations Convention Against Corruption, tahun 2003. Seluruh dunia men-dendam sengit terhadap korupsi.
Tetapi memberantas korupsi tak mungkin hanya dilakukan oleh KPK maupun oleh Kejaksaan. Dengan hukuman terberat (mati) sekalipun. Harus ada “gropyokan” memberantas korupsi, mulai dari keluarga wajib dibiasakan anti-korupsi.

                                                                                                                   ———– 000 ———–

Rate this article!
Tags: