Menyorot MK Bolehkan Kampanye di Fasilitas Pendidikan

Panasnya tahun politik menjelang pemilihan presiden 2024 terus memantik gejolak dari hari ke hari. Termasuk yang saat ini menjadi perbincangan dan sorotan publik adalah soal atas diizinkannya peserta pemilu untuk berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye dan atas undangan pengelola. Hal ini tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023.

Sontak, putusan MK yang memperbolehkan peserta Pemilu berkampanye di fasilitas Pemerintah dan pendidikan, di sekolah dan kampus, sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye itupun mengundang sejumlah reaksi kekhawatiran praktisi pendidikan. Putusan MK bernomor 65/PUU-XXI/2023 suatu putusan yang sebelumnya menguji Pasal 280 ayat (1) huruf h, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait tentang larangan penggunaan fasilitas Pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk kampanye oleh pelaksana, peserta, dan tim kampanye. Kemudian seiring perubahan aturan tersebut, akhirnya dibolehkan kampanye di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah.

Itu artinya, melalui adanya putusan MK terbaru tersebut jika tercermati sebenarnya aturan yang berubah hanya khusus untuk tempat ibadah saja, yang kini dilarang total tanpa syarat lainnya. Sedangkan untuk kampanye menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan dibolehkan, sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye Pemilu. Tetapi aturan terbaru tersebut secara mutlak menyebut bahwa kampanye di fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan dibolehkan dengan syarat.

Namun, kendati demikian sejumlah syarat, perlu disertai petunjuk teknis dan peraturan dari KPU yang memadai sehingga kampanye tidak disalahgunakan. Selain itu, seharusnya kampanye di tempat pendidikan dibatasi pada jenjang Perguruan Tinggi dan SMA/SMK saja. Pasalnya, selama ini lembaga pendidikan dan fasilitas pemerintah dianggap sebagai ruang netral yang tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik elektoral, terutama dalam pemilihan umum.

Asri Kusuma Dewanti
Dosen FKIP Univ. Muhammadiyah Malang.

Tags: