Menyulap Tanah Bengkok jadi Surga Investasi Pedagang dan Petani

Taman Ghanjaran yang berada di Ketapanrame, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto kini menjadi destinasi favorit bagi keluarga.

Geliat Desa Ketapanrame Kembangkan Ekonomi Kerakyatan Lewat Pariwisata (Bagian I)
Kabupaten Mojokerto, Bhirawa
Geliat sektor pariwisata kian bergairah di Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Berbagai pilihan destinasi terus bertambah sebagai tujuan rekreasi keluarga, komunitas atau sebatas mampir ngopi menikmati view Gunung Penanggungan atau Welirang. Taman Ghanjaran salah satunya, sebuah destinasi wisata yang lahir dari tangan dingin Kepala Desa Ketapanrame, lewat pemanfaatan tanah bengkok yang lama tak produktif.
Senja menyambut malam minggu yang sudah ditunggu-tunggu. Setelah lelah sepekan dengan rutinitas pekerjaan, saatnya menginjak pedal gas dan memilih tujuan healing bersama keluarga. Pilihannya saat ini adalah Taman Ghanjaran. Destinasi wisata yang sudah tiga tahun terakhir dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMdes) Ketapanrame, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto.
Malam minggu pertama di Bulan September masih terasa begitu ceria, (3/9). Mungkin karena tanggal muda. Sepanjang perjalanan, laju kendaraan menuju Trawas tampak lebih ramai dari hari-hari biasa. Hingga di pintu gerbang Taman Ghanjaran, petugas parkir memberi kode dengan menyilangkan kedua tangannya. Tanda bahwa tempat parkir kendaraan roda empat telah penuh. Pengunjung pun dialihkan untuk memarkir mobil di terminal yang terletak persis di seberang Taman Ghanjaran.
Destinasi ini begitu menarik hingga menjadi magnet bagi pengunjung dari berbagai daerah. Salah satu kelebihannya adalah tak ada biaya untuk tiket masuk. Kemudian terdapat berbagai pilihan wahana permainan menarik untuk dicoba. Mulai dari kereta jalan, bianglala, playground, skywave, carrousel, cinema 9 dimensi, bom-bom car, swinger, pontang – panting, skybike dan kolam renang. Namun, untuk wahana ini pengunjung memang harus membeli tiket terlebih dahulu. Harganya cukup terjangkau, mulai dari Rp 5 ribu hingga yang paling mahal Rp 20 ribu.
Kepala Desa Ketapanrame Zainal Arifin bercerita, butuh waktu yang cukup panjang dan energi yang besar untuk menyiapkan destinasi wisata ini. Apalagi untuk level pemerintahan desa yang anggarannya sangat terbatas.
“Taman Ghanjaran ini berdiri di atas tanah bengkok atau Tanah Kas Desa (TKD) seluas 3 hektare. Awalnya hanya disewakan untuk kegiatan pertanian dan hasil sewanya dimasukkan dalam APBDes untuk tambahan penghasilan kepala desa dan perangkat desa,” jelas Arifin.
Seiring waktu berjalan, nilai ekonomi yang diperoleh dari pengelolaan pertanian tersebut begitu kecil. Ini karena mata pencahariaan utama masyarakat Desa Ketapanrame adalah pedagang, sehingga bertani hanya dijadikan sebagai sampingan. Di sisi lain, biaya produksi untuk pertanian juga cukup tinggi dan tak sebanding dengan hasilnya.
“Jadi secara kemampuan bertaninya kurang dan faktor tanah juga berpengaruh. Kandungan airnya yang terlalu banyak membuat padi itu tubuh sangat baik pada batangnya tetapi bulirnya sedikit sehingga hasil panen di bawah rata-rata,” jelas Arifin.
Karena itu, nila tawar untuk sewa lahan pertanian di tanah bengkok ini sangat murah. Satu tahun hanya sekitar Rp 4 juta. “Tapi semurah-murahnya sewa lahan pun dulu kita berikan. Karena perangkat desa memang tidak diperbolehkan mengelola sawah sendiri agar tetap fokus melayani masyarakat,” jelas dia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pihaknya pun berinisiatif untuk mengembangkan destinasi wisata. Namun Arifin sadar, untuk mewujudkan destinasi wisata bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan sejak 2015, dia telah mempersiapkan perencanaan wisata tersebut dengan harapan akanada investor yang akan tertarik. Namun, hingga tiga tahun berjalan tak kunjung ada investor yang masuk.
“Ternyata tidak mudah mencari investor, apalagi dengan nilai investasi yang besar.Sempat ada satu investor yang ingin masuk tapi akhirnya batal tidak sampai terealisasi,” ujar Arifin yang telah menjabat kepala desa selama tiga periode tersebut.
Gagal mendapat investor, Arifin pun mencoba mengusulkan rencana pengembangan desa wisata ke Pemerintah Kabupaten Mojokerto. Potensi itu pun mendapat respon positif karena Pemkab Mojokerto tengah merancang Segi Tiga Emas wisata yang meliputi Kecamatan Trowulan, Kecamatan Pacet dan Kecamatan Trawas.Melalui usulan tersebut, Pemkab Mojokerto mengucurkan Bantuan Keuangan (BK) sebesar Rp 5 miliar. “Rencana kebutuhan awalnya Rp 25 miliar tapi bantuannya turun Rp 5 miliar. Harapannya konsep awal agar dapat berjalan secara bertahap,” jelas Arifin.
Dengan BK tersebut, pembangunan Taman Ghanjaran mulai berjalan dengan pembangunan pagar, pengerasan lahan, pavingisasi, penanaman pohon untuk tamandan pembangunan pujasera. “Setelah rampung kita resmikan hanya berupa taman dan pujasera.Saat itu masih sekitar 16 stan penjual kuliner,” ujarnya.
Saat awal dibuka, animo pedagang dari masyarakat setempat mulai tampak menggeliat. Bahkan lokasi yang semestinya untuk taman dan parkir digunakan berjualan. Akhirnya yang tampak justru seperti pasar kaget atau pasar senggol yang kumuh.
“Dari tingginya animo itu, kita akhirnya berupaya memperluas lokasi pujasera. Namun, tetap tidak dapat mengakomodir seluruh pedagang,” jelas pria kelahiran 10 Juni 1972 tersebut.
Dari situ, muncullah ide untuk mengajak masyarakat desa Ketapanrame untuk berinvestasi. Baik mereka yang semula bertani maupun pedagang kaki lima yang tidak mendapatkan lapak berjualan. Situasi ini cukup menguntungkan bagi pengembangan Taman Ghanjaran.Sebab, pemerintah desa juga membutuhkan dukungan modal untuk membangun wahana permainan.
“Akhirnya, pemerintah desa menghitung saham yang akan dijual ke masyarakat untuk berinvestasi. Ketemulah itung-itungan harga saham itu Rp 1 juta per lembar,” sambungnya.
Tawaran itu pun disambut positif masyarakat Desa Ketapanrame. Bahkan beberapa ada yang ingin membeli hingga seratus lembar. Namun, pihaknya membatasi maksimal bisa membeli 10 lembar saham per keluarga agar terjadi pemerataan. Dari penjualan saham tersebut, tercatat sebanyak 440 KK turut membeli dengan total saham yang terjual sebanyak 3.800 lembar atau senilai Rp 3,8 miliar.
“Kita batasi agar saham itu tidak diborong oleh salah satu orang saja. Karena sejak awal munculnya inisiatif menjual saham ini untuk mengakomodir masyarakat agar dapat merasakan manfaat dari Taman Ghanjaran,” ujar dia.
Bersyukur, setelah dua tahun dana investasi itu diputar sejak akhir 2019, pada akhir 2021 lalu sudah mencapai Break Event Point (BEP). Padahal saat itu situasi pandemi Covid-19 sedang begitu berat.Bahkan selama dua tahun beroperasi, Taman Ghanjaran sempat tutup selama 10 bulan.
“Alhamdulillah, dua tahun sudah bisa BEP.Sementara, kontrak yang berjalan dari pembelian saham ini berjalan hingga 15 tahun.Jadi yang 13 tahun ini investor akan terus menikmati hasilnya,” tandasnya. [Adit Hananta Utama]

Tags: