Meresepsi Berita Prostitusi Artis

Oleh :
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Pemberitaan prostitusi yang melibatkan artis masih terus mengisi isi media cetak, elekronik, online, dan media sosial. Pemberitaan terkait kasus asusila ini seakan tidak ada habisnya. Banyak media menilai berita prostitusi artis sebagai berita yang seksi, seseksi artis pelakunnya. Memaknai (meresepsi) berita prostitusi artis yang ditampilkan media berada dalam kenyataan bahwa pemberitaan sudah terlalu berlebihan. Porsi pemberitaan, sudut penyajian berita (angle), judul berita, ilustrasi foto, footage, caption, dan narasi sudah sangat berlebihan.
Terkait pemberitaan prostitusi daring yang menyeret artis dengan inisial VA misalnya. Coba tonton televisi, baca laman berita online, halaman koran, dan beragam platform media sosial (medsos). Tiap hari hampir bisa dipastikan ada berita terkait kasus VA ini. Memang peristiwa prostitusi artis ini pengusutannya masih terus berlangsung hingga saat ini, tetapi bukan berarti pemberitaanya harus dengan porsi yang besar dan angle yang lebih menyudutkan perempuan, sementara sang laki-laki sebagai pemesan tidak banyak diungkap.
Apa mungkin gara-gara perempuan itu seksi, hingga mempunyai nilai berita (news values) yang lebih besar dibanding laki-laki. Kalau pertimbangannya itu tentu pemberitaan media menjadi tidak adil. Terjadinya prostitusi, apakah itu online atau offline, melibatkan artis atau orang biasa adalah hasil perbuatan keduabelah pihak. Prostitusi terjadi karena adanya permintaan (demand) dan suplai, Dalam hukum ekonomi, suplay and demand ini selalu berjalan beriringan.
Over Expose
Pemberitaan prostitusi yang berlebihan (over expose) bisa kita temukan di televisi, media online, dan medsos. Sesuai kaidah dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) bahwa seseorang yang belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan maka wajahnya harus dikaburkan (blur) dan penyebutan namanya dengan inisial. Wajah yang masih diduga pelaku tidak tepat ditampilkan sangat jelas, bahkan dengan ukuran gambar (camera framing) yang besar (close up). Cara penyajian berita seperti ini jelas semakin menambah beban bagi sang terduga atau korban.
Over expose pemberitaan prostitusi artis ini juga nampak dari penonjolan dari sisi perempuannya. Struktur pemberitaan prostitusi masih menempatkan perempuan dengan porsi yang dominan daripada laki-laki. Perspektif patriaki bahwa laki-laki sebagai pemegang kekuasaan hingga hal-hal yang berbau negatif pada laki-laki harus dibungkus rapat. Pemberitaan prostitusi lebih banyak mengekspos perempuan. Kebanyakan media tanah air masih belum berpihak pada kaum hawa.
Dalam pemberitaan kasus VA, yang banyak diungkap media lebih pada aktivitas sang artis, foto-fotonya, hubungan dengan pacar-pacar terdahulunya, dan kaitan dengan keluarganya. Porsi pemberitaan yang mengungkap jaringan prostitusi idealnya jauh lebih penting ketimbang mengekspos fisik sang artis. Karena gambar-gambar seksi sang artis yang ditampilkan media justru dapat membangkitkan imajinasi laki-laki.
Dalam kasus prostitusi yang melibatkan VA dengan dugaan bayaran 80 juta rupiah memang punya nilai berita tinggi. Namun frase “80 juta” yang banyak muncul dalam judul-judul berita justru menjadi bahan candaan yang seksis dan mengarah pada perendahan terhadap perempuan. Beberapa media telah menggunakan diksi lewat judul-judul berita yang bombastis, juga lewat tampilan visual dengan angle perempuan yang erotis.
Masalah prostitusi online yang menjerat artis memang bukan hanya soal news values semata. Tetapi yang perlu diingat bahwa media massa punya fungsi sebagai kontrol sosial. Pemberitaan media juga harus mempertimbangkan efek dari berita yang dibuat. Jangan sampai dari berita prostitusi yang dibuat justru akan menjadi persolan baru terutama bagi korban dan keluarga korban. Termasuk juga jangan sampai pemberitaan prostitusi justru bisa menjadi semacam tutorial sehingga orang bisa meniru praktik prostitusi seperti yang diberitakan.
Sudutkan Perempuan
Pemberitaan prostitusi cenderung mengeksploitasi perempuan dan lebih menempatkan perempuan sebagai obyek. Ketika ada praktik prostitusi yang diungkap media lebih fokus pada sosok perempuan. Idealnya model pembingkaian berita kasus prostitusi lebih mengungkap jaringan prostitusi dan kasus hukumnya, bukan sosok sang perempuan sebagai sebuah obyek prostitusi. Pembingkaian berita prostitusi lebih dominan dengan frame laki-laki, hingga yang banyak muncul dalam pemberitaan adalah sang perempuan.
Berita terkait prostitusi lebih banyak menjadi berita tidak bermutu (low taste content). Untuk kalangan tertentu, berita kualitas rendah ini terkadang memang laku. Tidak jarang penonton, pembaca, dan pendengar ketika mengonsumsi media karena untuk mencari hiburan dan menghilangkan lelah setelah berkerja. Karena itu banyak media yang menyajikan berita dengan menyajikan sosok perempuan sebagai strategi pemikat konsumen media. Ini menjadi hal yang lumrah, karena secara kodrati perempuan punya daya pikat yang tinggi.
Namun persoalannya over expose pada perempuan dalam kasus pemberitaan prostitusi akan memosisikan perempuan sebagai pihak yang salah. Tidak banyak media yang menyajikan fakta yang mengekspos laki-laki. Mungkin kalau si laki-laki yang banyak diberi porsi lantas daya pikat orang mengonsumsi berita tersebut menjadi rendah. Inilah salah satu kenyataan bahwa jurnalisme prostitusi masih menghamba pada kepentingan pasar dan kapital sebagai konsekuensi dari pers industri.
Kritik terhadap pemberitaan media yang lebih menempatkan perempuan sebagai obyek telah dikemukakan sejumlah pihak. Komnas perempuan melalui komisionernya, Mariana Amiruddin menyatakan bahwa pihaknya mendapatkan sejumlah pengaduan dari masyarakat tentang maraknya pemberitaan prostitusi online yang melibatkan artis. Komnas perempuan menyatakan sikap agar pihak media tidak mengesploitasi perempuan yang dilacurkan, termasuk artis.
Payung hukum yang bisa menjerat pengguna jasa prostitusi juga menjadi sangat penting dan mendesak diberlakukan. Selama ini untuk menjerat pengguna jasa prostitusi sulit dilakukan karena belum ada dasar hukumnya. Untuk itu, seperti diberitakan beberapa media, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Melalui UU P-KS ini bisa digunakan untuk menjerat pengguna jasa prostitusi.
Urusan prostitusi sejatinya adalah masalah sosial. Prostitusi bukan hanya urusan sosok perempuan semata. Sang perempuan hanyalah sebagian saja yang masuk dalam jaringan bisnis prostitusi online ini. Pemberitaan media terkait prostitusi hendaknya mengedepankan dampak dari pemberitaan yang dibuat bukan hanya alasan demi mengejar rating, hit, jumlah pembaca, penonton, dan pendengar semata.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: