Misteri Debat Green-flasi

Penggunaan energi ramah lingkungan bukan hanya menjadi isu (dan upaya) global. Melainkan juga menjadi topik hangat debat Calon Wakil Presidenj (Cawapres). Istilah “green-flasi,” tiba-tiba menjadi misteri. Ironisnya, Cawapres yang bertanya, dan Cawapres yang menjawab, sama-sama tidak memahami. Padahal saat ini seluruh dunia gigih mencegah “green-flasi,” dengan menghasilkan sumber energi yang ramah lingkungan, terbarukan, dan murah.

Cawapres 02 bertanya kepada Cawapres 03, dengan pernyataan pendek, “Bagaimana cara mengatasi greenflasi?” Pernyataan ditegur oleh moderator debat. Dianggap menyalahi peraturan, karena menggunakan istilah asing yang tidak popular. Juga bersifat menjebak. Seharusnya di-awali dengan penjelasan tentang “green-flasi.” Mendapat teguran, Cawapres 02 coba memberi penjelasan sangat singkat. Menandakan ke-tidak mengerti-an problematika “green-flasi.”

Jawaban Cawapres 03 cukup singkat pula, menyasar problem lingkungan hidup, berkait karbon. Kurang memadai. Ironis lagi, Cawapres yang bertanya memperoleh sentiment negatif paling besar (60%) pada media sosial Twitter. Sedangkan sentiment positifnya hanya 33%. Sebaliknya, Cawapres yang ditanya (Mahfud MD) memperoleh sentiment positif sangat tinggi (sampai 79%), sentiment negatifnya cuma 12%. Debat kedua Cawapres, menguntungkan Paslon 01, karena Muhaimin Iskandar memperoleh sentiment positif tertinggi (80%), dengan sentimen negatif cuma 6%.

Greenflasi berkait pada keadaan harga tinggi (inflasi bermakna mahal) proses pengolahan energi terbarukan. Sehingga harga energi yang terbarukan menjadi lebih mahal dibanding energi fosil. Misalnya bahan baku baterai (nikel, kobalt, dan mangan) untuk mobil Listrik masih sangat mahal. Menyebabkan produksi mobil yang ramah lingkungan, nasional dan global, menjadi tersendat. Walau sebenarnya Indonesia sangat kaya hasil tambang nikel, kobalt, dan mangan.

Jakarta bisa menjadi tempat “berkaca” penggunaan bahan energi ramah lingkungan. Terutama bahaya yang disebabkan kemacetan (kepadatan) lalulintas. Begitu pula dalam waktu bersamaan, sedang masif di-upayakan program LCGC (Low Cost Green Car). Khususnya berkait PP Nomor 41 Tahun 2013 Tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penualan atas Barang Mewah.

Sehingga pemerintah harus pula memproduksi kendaraan murah, di bawah Rp 200 juta. Sekaligus ramah lingkungan. Karena bermesin silinder kecil (di bwah 1.300 CC). Pe-masal-an produksi mobil CC kecil, akan memperbanyak golongan menengah ke bawah yang mampu membeli mobil. Sekaligus membuka lapangan kerja bidang otomotif, dari hulu ke hilir. Termasuk perbengkelan mobil. Namun mobil dengan konsep LCGC juga berkonsekuensi menambah kebutuhan bahan bakar.

Maka penggunaan bahan bakar non-fosil, semakin mendesak. Secara spesifik, kendaraan LCGC diperluas, menjadi ragam kendaraan yang mencakup low carbon emission, mobil listrik, dan hybrid biodiesel. Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2023, pemanfaatan biodiesel pasar domestik mencapai sudah melebihi target (12,2 juta kilo-liter). Serta program biodiesel telah menggunakan biodiesel 35%.

Transformasi energi sedang dikebut. Bahkan KTT G-20 (yang dipimpin Indonesia sebagai Presidensi G-20), mencanangkan Just Energy Transition Partnership (JETP). Program yang dipimpin Amerika Serikat (AS) berkomitmen meng-ongkosi percepatan transisi energi di Inonesia. Anggaran yang disanggupi sebesar US$ 20 miliar (setara Rp 311 triliun). Syaratnya, harus menghentikan energi kelistrikan (PLTU) berbasis batubara.

Indonesia sangat potensial mencegah green-flasi, karena memiliki beragam sumber energi terbarukan. Bahkan di beberapa daerah (gunung Patuha di Jawa Barat, dan Dieng di Jawa Tengah) telah terdapat PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi). Beroperasi sejak 40 tahun lalu. Di Jawa Timur juga akan segera dimulai. Berlokasi di Tahura R Soerjo, Mojokerto.

——— 000 ———

Rate this article!
Misteri Debat Green-flasi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: