Dorong Mekanisme Penyelesaian Konflik Agraria yang Ideal

Konflik agraria di Indonesia dari tahun ke tahun terus bertambah. Penyelesaian atas kasus tersebut masih belum optimal. Salah satu penyebabnya karena belum ada mekanisme penyelesaian konflik agraria yang ideal. Oleh sebab itu, penyelesaian konflik agraria ini perlu menjadi fokus perhatian yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia. Terlebih, menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah kasus konflik agraria pada 2023 meningkat dibanding 2022.

Sepanjang 2023 ada 241 kasus konflik agraria. Konflik tersebut melibatkan area seluas 638,2 ribu hektare, serta berdampak pada 135,6 ribu kepala keluarga (KK). Jika dilihat dari luas areanya, konflik agraria paling besar pada 2023 terkait sektor infrastruktur, seperti proyek pembangunan jalan, pembangkit listrik, dan Ibu Kota Nusantara (IKN). Selebihnya, KPA mencatat, kasus konflik agraria pada 2023 banyak terkait sektor usaha perkebunan (108 kasus), bisnis properti (44 kasus), pertambangan (32 kasus), dan proyek infrastruktur (30 kasus). Ada pula letusan konflik terkait sektor kehutanan (17 kasus), pesisir dan pulau kecil (5 kasus), serta fasilitas militer (5 kasus),(Kompas,20/1/2024).

Terus meningkatnya konflik agraria menandakan bahwa pelaksanaan agenda reforma agraria yang telah dijanjikan selama kurang lebih satu dasawarsa ini tidak berjalan. Untuk itu, saatnya pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) perlu terus berupaya keras menyelesaikan konflik agraria yang melibatkan berbagai pihak. Salah satunya perlu adanya koordinasi lintas sektor serta dapat dilaksanakan melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai wadah untuk berdialog dan mempertemukan berbagai pihak lintas sektor, mulai dari pejabat kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, hingga CSO/NGO.

Selain itu, salah satu pencegahan sengketa dan konflik pertanahan perlu dilakukan melalui penertiban administrasi ditingkat desa maupun kecamatan yang juga membutuhkan koordinasi lintas sektor yang erat, mulai dari aspek tertib administrasi hingga adanya indikasi konflik dan sengketa guna mempermudah koordinasi, mengumpulkan data informasi, bernegosiasi, dan mediasi sehingga aspirasi dan tantangan dari berbagai pihak dapat terserap untuk menemukan solusi dan rekomendasi kebijakan yang sistemik dan berkelanjutan.

Berlinda Galuh P. W
Dosen PPKn Univ. Muhammadiyah Malang.

Tags: